Mohon tunggu...
Syamsiah
Syamsiah Mohon Tunggu... Insinyur - Trainer

Instruktur TIK Kemenaker RI Love Purple and Eat Purple \r\nwww.syamthing.blogspot.com, \r\nwww.syamhais.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kembali Membumikan (Ajaran) Islam

19 Agustus 2009   09:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:49 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dahulu, di masa kecilku, aku mengenal Islam sebagai agama yang sangat menyejukkan. Setiap hari setelah magrib, tiap orang langsung masuk ke dalam rumahnya untuk mengerjakan shalat magrib berjamaah yang kemudian langsung dilanjutkan dengan mengaji Qur'an bersama-sama. Kebanyakan orang saat itu tidak menonton televisi di waktu magrib meskipun acara televisi tetap berlangsung. Pelaksanaan kegiatan keagamaan pun mendapat liputan (baik secara langsung maupun tak langsung) dari satu-satunya stasiun televisi saat itu, yaitu TVRI. Memang, TVRI, sebagai satu-satunya stasiun televisi saat itu, hingga kini tetap konsisten menyajikan acara-acaranya yang mendidik. Namun akibat arus informasi yang ada, bangsa ini pun menginginkan memiliki televisi swasta sebagai aspirasi alternatif sebagaimana yang ada di negara-negar maju. Pada awalnya, kehadiran televisi swasta tidaklah memiliki efek yang sangat mengkhawatirkan seperti saat ini. Kini televisi swasta begitu merajai dunia pertelevisian kita, dan aku tidak lagi melihat suasana nan Islami (terutama dari waktu magrib hingga malam hari) dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada apakah gerangan?

Pasca era 1998, terdapat kebebasan pers. Hal ini sungguh sangatlah menyenangkan bagi sebagian insan pers yang dahulu selalu terpaksa membungkam daripada harus menanggung risiko dibredelnya media yang dimiliki. Namun sayang sungguh sayang, pers yang demikian bebas ini justru lebih banyak disalahgunakan daripada digunakan untuk menyalurkan aspirsi yang tersendat di masa lalu. Pers yang kini ada justru sangat memihak pada pihak tertentu di berbagai lini kehidupan. Entah pihak tertentu itu berupa partai, organisasi, atau golongan tertentu. Inilah yang mengkhawatirkan dan akhirnya tengah terjadi di alam pers kita. Keberpihakan pers pada sejumlah golongan tertentu yang membenci Islam sangatlah terlihat terutama dalam pemberitaan. Ketika pihak Islam dibantai habis-habisan, hanya sejumlah orang dengan akses informasi tertentu sajalah yang bisa mengetahuinya. Tetapi jika sebagian dari ummat Islam melakukan aksi balasan, maka dengan serta-merta media mempublikasinya secara besar-besaran. Seolah-olah ingin membuat kesan bahwa apa-apa yang buruk haruslah datang dari Islam, tapi jika kebaikan-kebaikan datang dari Islam, serta-merta segera ditutupi atau hanya berupa berita sekilas saja. Apapun yang dibawa oleh Islam, dengan serta merta, tanpa kajian secara mendalam terlebih dahulu, pasti akan ditolak secara mentah-mentah. Di sisi lain, kebebasan pers ini justru lebih banyak merusak moral bangsa dari pada memberikan pencerdasan. Hasilnya, ummat Islam pun jadi semakin jauh dari ajaran Islam yang dianutnya.

Di waktu ibadah yang krusial bagi ummat Islam, yaitu waktu magrib, bisa dipastikan bahwa yang ditayangkan oleh sebagian besar televisi swasta adalah acara televisi yang ber-rating tinggi. Begitu pula dengan tempat-tempat umum, biasanya musholla berada di baseman, setara dengan tempat parkir yang panas dan pengap. Dan biasanya, perkantoran hanya menyediakan ruang yang sangat kecil untuk melaksanakan ibadah shalat, padahal sebagian besar yang bekerja di sana adalah ummat Islam. Dan hotel-hotel di Indonesia pun jarang yang menyediakan ruang khusus untuk ibadah. Ini adalah salah satu cara untuk membuat ummat Islam minimal melalaikan ibadahnya, dan ini terjadi di negara yang jumlah ummat Islamnya terbesar di dunia.

Tidak dipungkiri bahwa semua ini adalah bagian dari keberhasilan misi politik yang dilakukan oleh oknuk-oknum yang tidak senang melihat Islam menjadi besar karena sulit dicari alasan untuk memerangi Indonesia secara langsung, maka cara yang digunakan pun berubah menjadi penghancuran moral bangsa. Oknum-oknum ini tersebar di mana-mana, bahkan bisa saja diri kita sendiri. Adalah hal yang sangat aneh, di negara yang mayoritas penduduknya Islam, tiap hukum Islam akan ditegakkan, selalu saja mengalami penolakan tanpa melalui kajian secara mendalam terlebih dahulu, tapi jika hukum tersebut berasal dari luar Islam, dengan serta-merta kita terbuka menerimanya. Bukankan ini adalah keanehan yang harus dipertanyakan dan juga harus segera ditemukan jawabannya?

Maka janganlah heran jika perlawanan yang mengatasnamakan Islam terjadi di mana-mana meskipun perlawanan-perlawanan tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Awalnya gerakan seperti ini muncul sebagai reaksi atas terjajahnya terus-menerus negara-negara Islam (Timur-Tengah) oleh pihak Israel dan Amerika Serikat di era '80-an. Pada saat itu gerakan seperti ini masih berupa perlawanan yang masih wajar. Namun dengan semakin lihainya pihak Israel melakukan penjajahan dengan model penghancuran moral bangsa Indonesia --di berbagai bidang-- yang semakin marak terjadi, juga timbulnya stigma tentang ajaran Islam, maka timbullah perlawanan underground yang mengatasnamakan Islam yang belakangan di sebut dengan teror. Ummat Islam sudah bosan dianiaya dan teraniaya. Akibat ada (bahkan banyak) pihak-pihak yang yang terus-menerus menganiaya Islam dan ummat Islam tidak diberi kesempatan untuk melakukan penjelasan secara mendalam terhadap ajaran-ajaran Islam yang selalu dideskreditkan, maka di lain pihak, timbullah pihak yang sangan membenci hal-hal yang menurut mereka sifatnya tidak Islami, yang belakangan disebut sebagai teroris. Hasilnnya, Islam menjadi agama yang tidak lagi seperti di era sepuluh tahun yang lalu, yang sangat menyejukkan dan bersahaja.

Pemahaman para teroris tentang Islam sebenarnya sangatlah minim. Mereka hanya mengandalkan semangat keislaman yang mereka miliki yang dimanfaatkan oleh sejumlah orang untuk melakukan perlawanan-perlawanan atas nama Islam. Namun hal ini tak dapat dihindari karena ummat Islam sudah bosan dianiaya dan teraniaya. Maka sudah seharusnya, jika ingin membasmi terorisme, maka basmi pula penyebab adanya orang-orang yang melakukan teror ini.

Di lain pihak, ummat Islam sebenarnya tidak perlu melakukan perlawanan terhadap sejumlah oknum yang anti Islam dengan aksi-aksi teror. Karena justru aksi-aksi teror ini hanya menunjukkan bahwa ummat Islam sama buruknya dengan mereka yang memebenci Islam tanpa sebab-sebab yang dapat dipertanggungjawabkan. Para pelaku teror menyatakan bahwa mereka akan tetap melakukan teror selama Amerika Serikat (Israel) terus-menerus memborbardir negara-negara Islam seperti Irak dan Palestina. Mereka tidak menyadari bahwa perlawanan yang boleh dilakukan hanyalah di tempat (negara) yang sama. Bukan di negara dengan kondisi kependudukannya baik-baik saja alias tidak ada perang dalam arti harfiah di dalamnya. Toh, misi apa pun yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang tak menyukai Islam haruslah dilawan dengan cara yang jauh lebih elegan. Bukan justru dengan teror, yang justru dengan itu hanyalah menurunkan martabat Islam di mata dunia. Islam kini sedang diuji, maka berikanlah nilai terbaik di dalamnya.

Banyak di antara kita yang terlalu jauh jika ingin mengamalkan ajaran Islam secara benar maka yang mereka jadikan acuan adalah hanyalah langsung pada era Nabi Saw dan para Sahabatnya. Tidak salah memang, namuan akan lebih bijak jika ummat Islam juga melihat para pendahulunya yang menyebarkan Islam di nusantara. Untuk tanah jawa, banyak di antara kita yang sudah tidak asing lagi dengan istilah "wali songo" karena dari merekalah Islam dapat menyebar dengan pesat di Indonesia. Islam di Indonesia tidak disebarkan langsung dari Rasulullah Saw, juga tidak dari para sahabat. Terlebih, kita bukanlah nabi yang memang urusan misi penyebaran agama berada di pundaknya. Inilah yang membedakan para nabi dan ummatnya. Rasulullah dan para sahabatnnya banyak yang menyebarkan ajaran Islam dengan jalan perang dan pendudukan daerah karena itu memang sudah menjadi tanggung jawab mereka. Namun patut dicatat, jalan perang yang ditempuh Rasulullah adalah kondisi di mana peperangan sudah tidak bisa dihindari lagi. Rasulullah memilih jalur perang --yang sebelumnya melalui perintah wahyu Allah-- setelah ummat Islam mengalami boikot dan teraniaya di negerinya sendiri beberapa tahun --seperti yang dialami bangsa Palestina--, dan peperangan yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya tidak sekestrim peperangan yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya. Saat itu ummat Islam sedang mengalami kesempitan yang tiada tara akan ruang dan waktu untuk hidup, sampai-sampai harus hijrah ke Madinah. Berbeda dengan kondisi sekarang --terutama di Indonesia--, di mana kesempatan ibadah terjamin. Perang yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat adalah perang yang bermartabat, karena mereka tidak akan membunuh orang-orang yang tak berdaya seperti anak-anak, kaum wanita, dan orang yang tidak bersenjata. Hal ini jelas berbeda dengan perlawanan yang dilakukan para pelaku teror yang jelas-jelas membunuh orang-orang yang tidak tersangkut-paut secara langsung dengan peperangan di Palestina dan Irak. Dengan kondisi seperti ini, maka sudah sepantasnyalah media cetak dan elektronik yang ada mampu memberikan informasi yang berimbang dan tidak memihak sehingga akar masalahnya dapat dipahami masyarakat luas.

Kita harus menilik kembali sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Mengapa Islam pada era mereka (wali songo) begitu mudahnya menyebar di Indonesia? Jawaban yang kita semua tau adalah bahwa saat itu Islam disebarkan dengan metode perdagangan dan pernikahan. Tapi saat itu pernikahan yang dilakukan pun tidak pernah dilakukan secara paksa. Selain dengan metode perdagangan dan pernikahan, ada metode lain yang digunakan yang justru dengan metode ini Islam begitu mengena di hati sebagian besar bangsa Indonesia saat itu, yaitu metode akhlak dan akulturasi budaya. Inilah metode penyebaran Islam terpenting yang justru tidak pernah di bahas di buku sejarah mana pun. Umumnya bangsa Indonesia dan para pelaku aksi teror khususnya lupa bahwa Rasulullah Saw diutus di muka bumi untuk menyempurnakan akhlak sebagaimana yang tercantum dalam salah satu Qur'an. Sedangkan aksi-aksi teror sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam. Islam model arab sering tidak sesuai dengan jiwa Indonesia karena budaya Indonesia berbeda dengan budaya Arab. Para wali songo seperti sunan kalijaga memahami hal ini, maka ia pun melakukan penyebaran Islam dengan metode akulturasi budaya dan salah satu metodenya yang terkenal adalah dengan menggunakan wayang golek. Salah satu peninggalan beliau yang cukup dikenal oleh masyarakat Jawa adalah kisah pewayangan Dewa Ruci (Dewa Ruh Suci, Ruh Al-Quds—ed.). Kisah tentang Bima yang bertemu dengan Dewa Ruci yang berwujud sama dengan dirinya menyimbolkan pertemuan manusia dengan jiwanya sendiri. Kisah Dewa Ruci merupakan satu simbol khazanah kesufian yang melihat bahwa tiap-tiap manusia harus bertemu dengan jiwanya sendiri untuk mengetahui laku sejati dalam hidupnya. Sayangnya saat ini banyak orang Jawa menggunakan pementasan wayang Dewa Ruci ini untuk ritual “ruwatan” tanpa mengetahui pesan sesungguhnya dari kisah tersebut. Inilah yang harus diubah dan dikembalikan ke asalnya. Begitu pula dengan sunan Bonang yang gemar mencipatakan lagu-lagu rakyat sebagai lahan dakwahnya. Salah satu tembangnya yang cukup populer sampai saat ini, terutama saat dinyantikan kembali oleh Opick, ‘Tombo Ati’ merupakan hasil karya sunan Bonang. Dengan metodenya metode yang seperti inilah ajaran Islam menjadi begitu mengena di jiwa sebagian besar bangsa Indonesia saat itu.

Apapun, sebenarnya bisa kita lakukan untuk mengebumikan kembali nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari --yang tidak  hanya menyangkut ibadah-- terutama melalui media pertelevisian karena televisi sangat berpengaruh terhadap kehidupan kebangsaan  kita. Dengan usaha seperti ini, maka ummat islam bisa menjadi dekat kembali dengan nilai-nilai keislaman serta mampu mengamalkannya secara benar. Sehingga stigma-stigma yang timbul di masyarakat tentang Islam akan terbantahkan dengan mudah. Dan apa pun yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai Islam, haruslah dilawan dengan cara yang elegan. Namun, bukankah dengan adanya beragam stigma tentang Islam dari pihak-pihak yang tidak menyukai Islam adalah pertanda bahwa Islam sungguh diperhatikan dan diperhitungkan dalam kehidupan dunia ini? Seperti kita melihat sosok yang diidolakan tiba-tiba membuat sebuah kesalahan yang sebenarnya sering dilakukan oleh orang biasa, namun karena ia adalah sosok idola, maka kesalahan kecil ini terlihat menjadi begitu besar di mata dunia. Dunia menginginkan sosok idola tersebut terlihat sempurna, padahal kesempurnaan hanyalah milik Tuhan, bukan milik orang-orang yang menganut ajarannya. Di sinilah salah satu letak kekeliruan pemahaman kebanyakan orang akan sosok idola, dan seperti itu pula dunia memperlakukan Islam

Maka sudah sepantasnya ummat Islam dan pihak-pihak yang tidak menyukai Islam menjadi besar sama-sama melakukan koreksi atas hubungan yang selama ini terasa kurang baik serta tidak saling menyalahkan. Bukankah hanya orang-orang yang berjiwa kerdil dan rendah yang cenderung menutupi kelebihan pihak yang dianggap lawannya? Dan juga bukankah hal-hal buruk hanyalah dilakukan oleh orang-orang yang berkarakter buruk. Maka siapa pun kita, tunjukkanlah kebesaran kita masing-masing !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun