Mohon tunggu...
Syamsiah
Syamsiah Mohon Tunggu... Insinyur - Trainer

Instruktur TIK Kemenaker RI Love Purple and Eat Purple \r\nwww.syamthing.blogspot.com, \r\nwww.syamhais.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membangun Personal Branding yang Mempesona, Bukan Manipulatif

8 April 2014   17:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Personal branding dibentuk melalui proses terus-menerus dan berkesinambungan. Branding yang terbentuk dari rekam jejak akan jauh lebih kuat dan lebih mengena ketimbang branding manipulatif dari media.

Personal branding terdiri atas dua kata yaitu personal yang berarti perseorangan, dan branding yang berarti cap atau citra diri. Jadi personal branding dapat dikatakan sebagai citra diri seseorang.

Personal branding merupakan hal yang sangat alamiah karena manusia memiliki kecenderungan untuk menonjolkan dirinya. Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. DR. Din Syamsudin dalam acara peluncuran dan bedah buku “Personal Branding” Kunci Kesuksesan Berkipran di Dunia Politik karya Dewi Haroen di Function Room Toko Buku Gramedia Matraman, Minggu, 6 April 2014.

Mengganti nama merupakan salah satu teknik dalam personal branding. Dalam kehidupan sehari-hari, personal branding kita terbentuk dari sikap kita sehari-hari dan kesan orang sekitar tentang diri kita. Sering kali, sebaik apapun kita, tetap saja ada omongan negatif tentang diri kita. Ini berarti kita belum berhasil melakukan personal branding diri kita.

Personal branding yang berhasil adalah jika orang-orang sudah bercerita tentang orang tertentu dengan narasi yang baik,” jelas Prof. DR. Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia.

1396928323809523102
1396928323809523102

Media memiliki peranan penting dalam pembentukan personal branding seseorang. Apalagi kini hampir seluruh media dikuasai oleh partai/aliansi politik tertentu. Namun hal ini dapat diimbangi dengan media yang netral atau media yang beraliansi dengan lawan politiknya.

Namun, seiring dengan pesatnya informasi, maka rekayasa personal branding di media aliansi tokoh tertentu dapat dibendung dengan makin banyaknya sumber informasi independen. Artinya, media boleh beramai-ramai beriklan dan bahkan bercerita secara informatif atau naratif tentang tokoh tertentu, tapi tetap publik/masyarakat punya penilaian tersendiri.

“Untuk membendung ‘tipuan’ media, kita bisa mengenali siapa sebenarnya seseorang melalui karakternya”, jelas Prof. Hamdi Muluk. Selain itu, branding juga bisa dilihat melalui karya dan prestasi.

1396928583742214439
1396928583742214439

Dewi Haroen, pengarang buku “Personal Branding”, seorang Psikolog dan Staf Pengajar di Trisakti School of Management sekaligus pendiri AMALIA Psychology Consulting  & Training Center mengungkapkan dalam bukunya tentang kunci kesuksesan berkipran di dunia politik melalui personal branding.

Menurutnya, personal branding ini tidak bisa instan, mesti melalui proses terus-menerus yang berkesinambungan. Jadi, branding seseorang terbentuk dari rekam jejaknya. Banyak orang yang dicitrakan sangat positif oleh media, tapi memiliki cacat dalam rekam jejaknya. Branding yang terbentuk dari rekam jejak akan jauh lebih kuat dan lebih mengena pada masyarakat ketimbang branding manipulatif dari media.

Sedikitnya ada tiga cara dalam membangun personal branding yang mempesona tapi bukan manipulatif. Pertama, jadilah diri kita sendiri. Dengan menjadi diri sendiri orang sekitar lantas dapat benar-benar mengenali jati diri kita yang seungguhnya. Kedua, kenali diri kita. Dengan mengenali diri kita masing-masing, kita jadi tau apa kelebihan dan kekurangan kita. Dan ketiga, terus kembangkan seluruh kelebihan dan potensi diri kita. Potensi diri kita inilah yang menjadi brand yang dipasarkan,

Dalam hal berpolitik, kata Prof. Hamdi Muluk, partai politik mestilah berideologi. “Tanpa ideologi, politik menjadi hal yang dangkal dan semu karena semuanya diukur dari hasil, bukan proses”, jelasnya memaparkan.

1396929204242868535
1396929204242868535

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun