Mohon tunggu...
Sam Edy Yuswanto
Sam Edy Yuswanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Hobi membaca dan menulis

Mukim di Kebumen. Karya tulisnya tersebar di berbagai media cetak dan online, lokal hingga nasional seperti Kompas Anak, Republika, Jawa Pos, Koran Jakarta, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Banyumas, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Merapi, Minggu Pagi, Lampung Post, Analisa, Bangka Pos, Kartini, Nova, dll.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masyarakat Urban dalam Pandangan Seno Gumira Ajidarma

27 Juli 2016   15:29 Diperbarui: 27 Juli 2016   16:07 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia Jakarta adalah dunia mobil dan kemacetan. Pertumbuhan Jakarta melahirkan mobil-mobil dan orang bermobil. Hasilnya, sebuah dunia yang macet oleh pertumbuhannya sendiri. Manusia dan mobil dalam sintetis kemacetan ternyata melahirkan semesta yang unik. Secara teoretis, waktu dalam kehidupan manusia Jakarta terbagi dua; di rumah dan di tempat kerja. 

Hal ini lantas melahirkan dikotomi stereotip tentang tarik ulur antara keluarga dan karier. Waktu yang 24 jam itu ternyata masih terbagi lagi menjadi tiga; waktu di rumah, waktu di kantor, dan waktu dalam perjalanan yang bagi sebagian manusia Jakarta, hal itu berarti berada di dalam mobil. Ya, saat ini mobil memang bukan sekadar sarana transportasi. Mobil adalah Dunia Ketiga (setelah rumah dan tempat kerja). Di Dunia Ketiga tersebut segala hal yang biasa terjadi di rumah dan tempat kerja dapat dilangsungkan; berkeluarga, bekerja bahkan bercinta (hal 21-23).

Sejak tahun ’50-an, Jakarta sudah menjadi kota yang mengasingkan manusia. Keterasingan atau alienasi merupakan wacana yang tumbuh bersama lahirnya sebuah kota, tempat manusia tak dihubungkan oleh kesatuan adat, apalagi darah, seperti dalam masyarakat tradisional dalam pola kekerabatan di kampung, melainkan oleh kesatuan kepentingan. 

Di negara seperti Indonesia, yang apa boleh buat harus disebut miskin, Jakarta menjadi tumpuan kepentingan bernama survival.Orang datang ke Jakarta untuk menyambung dan mempertahankan hidup, dalam arti kiasan maupun sebenarnya, bukan karena cinta kepada Jakarta.

Kepentingan survivalini membuat orang Jakarta berkompetisi. Keakraban mengalami reduksi. Maka, manusia pun hidup dalam keterasingan. Jakarta, sejak masih bernama Jayakarta di abad ke-16, memang terbentuk dalam lintas kosmopolitan, sehingga terus-menerus berubah. Mula-mula perlahan, tapi kemudian menjadi sangat cepat-sehingga cukup membingungkan, dan menyebabkan diri merasa terasing (hal 33-36).

Jakarta tanpa Indonesia artinya tahu rasa: tiada lagi hutan dan ladang minyak yang mendukung gaya hidup orang kota, yang tohselama ini tidak tahu dan tidak peduli kehidupan di pedalaman. Sebuah cara berpikir sederhana bisa dimengerti, jika Tembagapura mengalirkan sungai dolar kepada para pemodalnya, mengapa tiada berdampak kepada kualitas hidup manusia Amungme? Jika Apokayan tiada lagi berhutan, mengapa suku Dayak Kenyah masih perlu eksodus berpuluh tahun guna mencari pendidikan?

Kira-kira, ke manakah sumber gas alam di Aceh pergi? Ke mana triliunan barel minyak menuju? Nyatanya, sumber kekayaan di lautan tidak berpengaruh kepada kehidupan nelayan, dan tidak ada alasan lagi untuk menunggu. Setiap wilayah memiliki alasan yang dapat diterima untuk mempertimbangkan kemungkinan melepaskan diri, dan biarlah Jakarta dengan segenap kegemerlapannya berjuang sendiri (hal 97).

Jakarta, dalam konteks Indonesia sekarang, ibarat sebuah dunia di mana orang-orangnya asyik dengan diri sendiri. Ini berarti, bagi Jakarta di masa depan, Jakarta tanpa Indonesia mungkin saja menjadi kenyataan karena tidak adanya kesadaran baru dalam etika hidup bersama; atau, jika Jakarta ingin tetap mendapat dukungan ekonomis-politis dari daerah, maka harus memposisikan diri untuk melayani segenap kebutuhan daerah. Bila tidak, warga Jakarta harus meninggalkan gaya hidup orang kaya, seperti menunggu dalam mobil dengan mesin dihidupkan karena perlu AC—soalnya bensin yang ada lebih baik dijual ke Jepang (hal 98-99).

Di Jakarta, ojek termasuk barang mewah. Ojek bukan sepenuhnya terempati sebagai sarana transportasi kelas bawah, melainkan justru sebagai sarana transportasi mangkus dan sangkil, cepat dan tepat, tajam dan menusuk, yang sangat dibutuhkan oleh ke-serba-cepat-an metropolitan. Ojek bisa melejit di gang-gang sempit, melenggok di jalan terjal berlubang, membawa eksekutif muda berdasi menerobos kemacetan kota kosmopolitan pada jam-jam macet.

Ojek adalah bukti kreativitas dalam usaha survivalkelas bawah dalam tingkat kemakmuran ekonomi seadanya yang bisa diperjuangkan negara, baik dari masa pemerintahan Orde Baru hingga Reformasi. Bahwa di satu pihak ojek dibutuhkan oleh Jakarta, adalah bukti terbatasnya jangkauan pemikiran pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota; di lain pihak bahwa manusia terpaksa menjadi tukang ojek sebagai alternatif satu-satunya, adalah bukti terbatasnya lapangan kerja dalam struktur yang mampu disediakan pemerintah negeri ini (hal 188-189).

Buku berisi sekumpulan esai bernas Seno Gumira Ajidarma ini mengisahkan seputar masyarakat urban dan kota metropolitan. Tentang kaum modern yang tertipu dan terkungkung oleh ‘kemodernannya’ dan lain sebagainya.

***

  • Judul Buku : Tiada Ojek di Paris
  • Penulis : Seno Gumira Ajidarma
  • Penerbit : Mizan
  • Cetakan : II, Mei 2015
  • Tebal : 450 halaman
  • ISBN : 978-979-433-846-9

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun