Mohon tunggu...
Salwa Rahmania Rizky Aron
Salwa Rahmania Rizky Aron Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

hobi nonton film genre romance comedy karena hidup saya thriller action, sekian.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Pemindahan Ibu Kota Negara

21 Juli 2022   23:47 Diperbarui: 21 Juli 2022   23:54 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Sebagai pulau dengan jumlah penduduk paling banyak dari seluruh pulau-pulau besar yang ada di Indonesia, total jumlah penduduknya adalah 56,56%. Pulau Jawa memiliki sekitar 57% penduduk Indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang memiliki jumlah penduduk sangat rendah (<10%) kecuali Pulau Sumatera.

Sejak zaman VOC Jakarta adalah pusat perdagangan serta pemerintahan dan berlanjut hingga kemerdekaan Indonesia, kemudian pada 1961, status Jakarta diubah sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI). Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta pun ditetapkan melalui PP No. 2 Tahun 1961 juncto UU No. 2 PNPS 1961.

59 tahun telah berlalu semenjak pengesahan, penduduk Ibu Kota Indonesia ini telah mencapai 11.063.324 jiwa, jumlah ini sudah termasuk WNA sebanyak 4.380 jiwa. Sementara itu, luas DKI Jakarta adalah 662,33 km² menurut Keputusan Gubernur No 171 Tahun 2007. Berarti, kepadatan penduduk DKI Jakarta saat ini mencapai 16.704 jiwa kmm². Data ini berdasarkan Statistik Sektoral Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2020.

Dibandingkan dengan hasil sensus sebelumnya, jumlah penduduk DKI Jakarta terus meningkat. Salah satu penyebab kepadatan penduduk tersebut adalah tingginya tingkat migrasi penduduk dari daerah luar Jakarta menuju Jakarta dan sekitarnya.

Selain itu, masyarakat ibu kota masih sering memperoleh air bersih dengan cara menggali sumur tanah. Tingkat ketergantungan yang semakin tinggi membuat permukaan tanah dan kemiringan DKI Jakarta menurun sebesar 6 cm per tahunnya. Akibat dari hal ini, bencana alam seperti banjir sering terjadi.

Penyebab lain dari bencana alam banjir adalah sampah yang tidak terkendali. Semakin hari jumlah sampah semakin membuat ngeri apalagi jika tidak ada solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.

"7.800 ton yang masuk Bantargebang. Kalau tambah 10 persen yang terkelola dengan baik di sumber seperti pilah atau di bank sampah, maka total timbulan sampah lebih kurang 8.000 ton," kata Kepala Unit Tempat Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, saat berbincang dengan merdeka.com, Senin, 12 Agustus 2019.

Dikarenakan tidak adanya proses pemilahan oleh warga, sampah selalu dalam keadaan tercampur organik dan anorganik saat diangkut petugas. Hal itu disebabkan oleh masyarakat yang belum teredukasi secara baik dalam memilah sampah. Padahal, sampah yang bernilai ekonomis seperti sampah plastik dapat diolah kembali sebagai barang baru.

Ruang Terbuka Hijau pun masih sangat kurang kalaupun ada karena disediakan pihak swasta. Namun area tersebut tidak dapat digunakan secara bebas oleh publik, luasnya juga sering tak seberapa.

Sementara itu, dengan adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH) masalah polusi udara di ibukota akan berkurangdikarenakan RTH sebagai penyedia oksigen dan tempat tumbuh tanaman. Disamping itu, RTH juga dapat menjadi sarana rekreasi dan media belajar bagi masyarakat ibukota seperti Central Park di New York atau Hyde Park di London.

Permasalahan-permasalahan yang saya jelaskan di atas ini menjadi alasan mengapa ibukota harus dipindahkan. Ide pemindahan ibukota telah lama dikemukakan oleh Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto namun rencana ini tidak kunjung direalisasikan. Kemudian di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, gagasan ini muncul kembali sebagai solusi seiring dengan rumitnya penanggulangan masalah yang terjadi di Jakarta.

Sebagai langkah awal, pemerintah telah meluncurkan landasan hukum ibukota baru yaitu Rancangan Ibu Kota Negara (RUU IKN). Keputusan ini diambil pada rapat kabinet terbatas yang digelar di Kantor Presiden, Jakarta pada Senin, 29 April 2019 dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada Selasa, 18 Januari 2022.

Lokasi Yang dipilih sebagai ibukota baru terletak di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pemerintah juga telah mengumumkan nama calon ibu kota negara baru sebagai “Nusantara”.

Anggota Pansus RUU IKN dari Fraksi Nasdem, Willy Aditya telah mengkonfirmasi draf RUU IKN sebagai draf yang diresmikan menjadi UU. Salah satu yang diatur dalam draf tersebut ialah perihal kedudukan dan kekhususan, serta bentuk, susunan, kewenangan, dan urusan pemerintahan IKN. Namun pembahasan dan pengesahan RUU ini dianggap tergesa-gesa.

Berkaca pada UU Cipta Kerja, pembahasan RUU IKN juga dinilai mengabaikan masukan dari masyarakat. Hal ini menjadi tanda tanya dan menimbulkan kecurigaan terhadap DPR RI dan pemerintah.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Fermappi) mengatakan bahwa jika tujuan pemindahan ibukota negara adalah untuk kemajuan bangsa, maka sepatutnya tidak perlu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan minim partisipasi. Seharusnya pemerintah mengadakan sosialisasi dan ruang diskusi yang panjang dan dalam.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) juga mengatakan pembahasan dan pengesahan RUU IKN minim kajian sebab akan berdampak banyak bagi masyarakat dan lingkungan. Hasil studi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) IKN yang dilakukan WALHI menunjukkan tiga permasalahan mendasar bila IKN dipaksakan.

Di antaranya ancaman terhadap tata air dan risiko perubahan iklim, ancaman terhadap flora dan fauna, serta ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Penentuan lokasi juga dianggap tidak mempertimbangkan hasil uji lingkungan, ekonomi, dan politik. 

Karena di lokasi yang bakal menjadi ibu kota baru ini ada 90 lubang tambang dan lebih dari 160 konsesi. Wilayah ini juga memiliki persoalan hidrologi. (Sumber : Kompas.com)

Untuk itu sebelum mengesahkan RUU IKN tersebut pemerintah perlu melakukan banyak pertimbangan mulai dari lokasi yang strategis seperti apakah lahan bebas dari bencana alam, ketersediaannya sumber daya air dan dekat dengan kota eksisting yang sudah ada, 

Potensi konflik yang rendah serta memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan, pertimbangan dari segi politik, sosial ekonomi, lingkungan, dan juga pengembangan perkotaan.

Proyek pembangunan IKN Nusantara pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Presiden Joko Widodo mengungkapkan pemindahan ibu kota ini setidaknya akan menelan anggaran hingga Rp 501 triliun.

Perihal pendanaan pemindahan ibu kota negara telah diatur dalam Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN), yaitu pada pasal 24 ayat (1) bahwa pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara, serta penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus IKN Nusantara bisa berasal dari dua sumber, 

yakni: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan/atau Sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara, berdasarkan situs resmi IKN, ikn.go.id, skema pembiayaan pembangunan IKN Nusantara hingga 2024 akan lebih banyak dibebankan pada APBN yakni 53,3 persen. Sisanya, dana didapat dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta, dan BUMN sebesar 46,7 persen. Kemudian, pada 2024 dan seterusnya, pembiayaan IKN akan ditingkatkan melalui investasi KPBU dan swasta.

Dengan terurainya persoalan permasalahan di atas menurut anda apakah pemindahan ibu kota masih menjadi kebutuhan yang harus direalisasikan? Jika iya seperti yang kita tahu bahwa proyek ini dipastikan tidak akan selesai di era pemerintah Presiden Joko Widodo, lalu bagaimana nasibnya nanti? Dan jika tidak apakah Jakarta masih layak menjadi Ibu Kota Negara Indonesia?

Penulis : Salwa Rahmania Rizky Aron, mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

 Sebagai pulau dengan jumlah penduduk paling banyak dari seluruh pulau-pulau besar yang ada di Indonesia, total jumlah penduduknya adalah 56,56%. Pulau Jawa memiliki sekitar 57% penduduk Indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang memiliki jumlah penduduk sangat rendah (<10%) kecuali Pulau Sumatera.

Sejak zaman VOC Jakarta adalah pusat perdagangan serta pemerintahan dan berlanjut hingga kemerdekaan Indonesia, kemudian pada 1961, status Jakarta diubah sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI). Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta pun ditetapkan melalui PP No. 2 Tahun 1961 juncto UU No. 2 PNPS 1961.

59 tahun telah berlalu semenjak pengesahan, penduduk Ibu Kota Indonesia ini telah mencapai 11.063.324 jiwa, jumlah ini sudah termasuk WNA sebanyak 4.380 jiwa. Sementara itu, luas DKI Jakarta adalah 662,33 km² menurut Keputusan Gubernur No 171 Tahun 2007. Berarti, kepadatan penduduk DKI Jakarta saat ini mencapai 16.704 jiwa kmm². Data ini berdasarkan Statistik Sektoral Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2020.

Dibandingkan dengan hasil sensus sebelumnya, jumlah penduduk DKI Jakarta terus meningkat. Salah satu penyebab kepadatan penduduk tersebut adalah tingginya tingkat migrasi penduduk dari daerah luar Jakarta menuju Jakarta dan sekitarnya.

Selain itu, masyarakat ibu kota masih sering memperoleh air bersih dengan cara menggali sumur tanah. Tingkat ketergantungan yang semakin tinggi membuat permukaan tanah dan kemiringan DKI Jakarta menurun sebesar 6 cm per tahunnya. Akibat dari hal ini, bencana alam seperti banjir sering terjadi.

Penyebab lain dari bencana alam banjir adalah sampah yang tidak terkendali. Semakin hari jumlah sampah semakin membuat ngeri apalagi jika tidak ada solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.

"7.800 ton yang masuk Bantargebang. Kalau tambah 10 persen yang terkelola dengan baik di sumber seperti pilah atau di bank sampah, maka total timbulan sampah lebih kurang 8.000 ton," kata Kepala Unit Tempat Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, saat berbincang dengan merdeka.com, Senin, 12 Agustus 2019.

Dikarenakan tidak adanya proses pemilahan oleh warga, sampah selalu dalam keadaan tercampur organik dan anorganik saat diangkut petugas. Hal itu disebabkan oleh masyarakat yang belum teredukasi secara baik dalam memilah sampah. Padahal, sampah yang bernilai ekonomis seperti sampah plastik dapat diolah kembali sebagai barang baru.

Ruang Terbuka Hijau pun masih sangat kurang kalaupun ada karena disediakan pihak swasta. Namun area tersebut tidak dapat digunakan secara bebas oleh publik, luasnya juga sering tak seberapa.

Sementara itu, dengan adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH) masalah polusi udara di ibukota akan berkurangdikarenakan RTH sebagai penyedia oksigen dan tempat tumbuh tanaman. Disamping itu, RTH juga dapat menjadi sarana rekreasi dan media belajar bagi masyarakat ibukota seperti Central Park di New York atau Hyde Park di London.

Permasalahan-permasalahan yang saya jelaskan di atas ini menjadi alasan mengapa ibukota harus dipindahkan. Ide pemindahan ibukota telah lama dikemukakan oleh Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto namun rencana ini tidak kunjung direalisasikan. Kemudian di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, gagasan ini muncul kembali sebagai solusi seiring dengan rumitnya penanggulangan masalah yang terjadi di Jakarta.

Sebagai langkah awal, pemerintah telah meluncurkan landasan hukum ibukota baru yaitu Rancangan Ibu Kota Negara (RUU IKN). Keputusan ini diambil pada rapat kabinet terbatas yang digelar di Kantor Presiden, Jakarta pada Senin, 29 April 2019 dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada Selasa, 18 Januari 2022.

Lokasi Yang dipilih sebagai ibukota baru terletak di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pemerintah juga telah mengumumkan nama calon ibu kota negara baru sebagai “Nusantara”.

Anggota Pansus RUU IKN dari Fraksi Nasdem, Willy Aditya telah mengkonfirmasi draf RUU IKN sebagai draf yang diresmikan menjadi UU. Salah satu yang diatur dalam draf tersebut ialah perihal kedudukan dan kekhususan, serta bentuk, susunan, kewenangan, dan urusan pemerintahan IKN. Namun pembahasan dan pengesahan RUU ini dianggap tergesa-gesa.

Berkaca pada UU Cipta Kerja, pembahasan RUU IKN juga dinilai mengabaikan masukan dari masyarakat. Hal ini menjadi tanda tanya dan menimbulkan kecurigaan terhadap DPR RI dan pemerintah.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Fermappi) mengatakan bahwa jika tujuan pemindahan ibukota negara adalah untuk kemajuan bangsa, maka sepatutnya tidak perlu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan minim partisipasi. Seharusnya pemerintah mengadakan sosialisasi dan ruang diskusi yang panjang dan dalam.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) juga mengatakan pembahasan dan pengesahan RUU IKN minim kajian sebab akan berdampak banyak bagi masyarakat dan lingkungan. Hasil studi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) IKN yang dilakukan WALHI menunjukkan tiga permasalahan mendasar bila IKN dipaksakan.

Di antaranya ancaman terhadap tata air dan risiko perubahan iklim, ancaman terhadap flora dan fauna, serta ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Penentuan lokasi juga dianggap tidak mempertimbangkan hasil uji lingkungan, ekonomi, dan politik. 

Karena di lokasi yang bakal menjadi ibu kota baru ini ada 90 lubang tambang dan lebih dari 160 konsesi. Wilayah ini juga memiliki persoalan hidrologi. (Sumber : Kompas.com)

Untuk itu sebelum mengesahkan RUU IKN tersebut pemerintah perlu melakukan banyak pertimbangan mulai dari lokasi yang strategis seperti apakah lahan bebas dari bencana alam, ketersediaannya sumber daya air dan dekat dengan kota eksisting yang sudah ada, 

Potensi konflik yang rendah serta memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan, pertimbangan dari segi politik, sosial ekonomi, lingkungan, dan juga pengembangan perkotaan.

Proyek pembangunan IKN Nusantara pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Presiden Joko Widodo mengungkapkan pemindahan ibu kota ini setidaknya akan menelan anggaran hingga Rp 501 triliun.

Perihal pendanaan pemindahan ibu kota negara telah diatur dalam Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN), yaitu pada pasal 24 ayat (1) bahwa pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara, serta penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus IKN Nusantara bisa berasal dari dua sumber, yakni: 

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan/atau Sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara, berdasarkan situs resmi IKN, ikn.go.id, skema pembiayaan pembangunan IKN Nusantara hingga 2024 akan lebih banyak dibebankan pada APBN yakni 53,3 persen. Sisanya, dana didapat dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta, dan BUMN sebesar 46,7 persen. Kemudian, pada 2024 dan seterusnya, pembiayaan IKN akan ditingkatkan melalui investasi KPBU dan swasta.

Dengan terurainya persoalan permasalahan di atas menurut anda apakah pemindahan ibu kota masih menjadi kebutuhan yang harus direalisasikan? Jika iya seperti yang kita tahu bahwa proyek ini dipastikan tidak akan selesai di era pemerintah Presiden Joko Widodo, lalu bagaimana nasibnya nanti? Dan jika tidak apakah Jakarta masih layak menjadi Ibu Kota Negara Indonesia?

Penulis : Salwa Rahmania Rizky Aron, mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun