Setiap perempuan memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan serta pekerjaan yang setara dengan laki-laki. Pernyataan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Salah satu bentuk upaya kesetaraan adalah hak perempuan di dunia kerja. Namun, di tengah upaya mewujudkan kesetaraan ini, perempuan seringkali dihadapkan pada dilema antara karier dan keluarga, yang menciptakan beban tambahan. Meskipun semakin banyak perempuan yang memasuki dunia kerja, pengelompokan peran tradisional yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga masih mendominasi ekspektasi sosial.Â
Peran ganda merupakan partisipasi perempuan menyangkut 2 aspek peran yaitu tradisi atau domestik dan transisi. Peran domestik adalah peran sebagai orang tua, pasangan, pengelola rumah tangga. Sedangkan peran transisi mencakup peran sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat, serta pembangunan manusia. Dalam peran transisinya, perempuan turut berperan aktif sebagai tenaga kerja yang berkontribusi pada kegiatan ekonomi. Keterlibatan ini disesuaikan dengan keterampilan, tingkat pendidikan yang dimiliki, serta peluang kerja yang tersedia di masyarakat. (Sukesi, 1991).
Dilema peran ganda sering menjadi tantangan bagi perempuan yang berkarier. Mereka kerap dihadapkan pada pilihan antara meraih kesuksesan profesional dengan tetap melajang atau menikah dan fokus menjadi ibu rumah tangga. Namun, inti dari masalah peran ganda ini bukan terletak pada perannya semata, melainkan pada konflik yang muncul, yang dapat memicu tekanan dalam lingkungan keluarga maupun dunia kerja.
Di Indonesia, lebih banyak perempuan yang bekerja di sektor informal dibandingkan laki-laki. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan BPS pada tahun 2021, sebanyak 66,36% perempuan bekerja di sektor informal, sementara hanya 33,64% berada di sektor formal. Sebaliknya, proporsi pekerja laki-laki lebih seimbang, dengan 53,68% bekerja di sektor informal dan 46,32% di sektor formal. Selain itu, perempuan cenderung lebih sering bekerja di posisi dengan kualifikasi rendah, upah per jam yang lebih kecil, dan banyak yang menjadi pekerja keluarga tanpa bayaran. Â
Pada tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa 49,53% perempuan Indonesia menjadi tenaga kerja profesional, mengalami peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya. Namun, peningkatan ini juga diiringi dengan kompleksitas peran yang mereka jalankan. Ketika perempuan bekerja, mereka tidak hanya bertanggung jawab atas tugas profesional tetapi juga diharapkan untuk tetap memikul beban tanggung jawab rumah tangga. Tekanan untuk menyeimbangkan keduanya menciptakan kondisi yang dikenal sebagai dual role conflict, di mana tuntutan dari peran keluarga dan pekerjaan sering kali berbenturan. Konflik ini sangat terlihat pada ibu bekerja yang memiliki bayi baru lahir, yang menghadapi tantangan tambahan dalam menjaga keseimbangan antara peran pengasuh dan pekerja.
Dalam konteks ini, tekanan yang dialami oleh perempuan bekerja memiliki dampak yang signifikan, baik secara mental maupun fisik. Konflik peran ini menyebabkan stres yang kronis, yang dapat mempengaruhi kesehatan mental perempuan, bahkan meningkatkan risiko kelelahan dan burnout. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam BMC Women's Health mengungkapkan bahwa sekitar 33% perempuan yang menghadapi konflik peran mengalami tingkat stres yang cukup tinggi, yang berujung pada masalah kesehatan dan menurunnya produktivitas. Stres ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu, tetapi juga pada lingkungan kerja dan keluarga mereka, menciptakan lingkaran masalah yang lebih luas.
Lalu, mengapa kondisi ini terus terjadi meskipun sudah ada kemajuan dalam partisipasi perempuan di dunia kerja? Satu di antara faktor utamanya adalah norma gender yang tetap kuat dalam masyarakat. Perempuan masih diharapkan untuk memainkan peran utama dalam tugas-tugas rumah tangga, meskipun mereka juga berkarier di luar rumah. Norma-norma ini, ditambah dengan kurangnya dukungan struktural dari lingkungan kerja, seperti kebijakan cuti yang memadai atau fleksibilitas waktu kerja, menjadi satu di antara penyebab utama terjadinya dual role conflict. Dukungan sosial dan kebijakan yang tidak memadai, terutama dalam hal penanganan masalah kesehatan mental dan pengasuhan anak, memperburuk situasi ini.
Solusi untuk masalah ini harus datang dari berbagai aspek, mulai dari peningkatan fleksibilitas di tempat kerja hingga perlindungan sosial yang lebih baik. Kebijakan seperti cuti melahirkan yang lebih panjang, fasilitas penitipan anak di tempat kerja, serta program dukungan kesehatan mental bagi ibu bekerja sangat dibutuhkan. Organisasi seperti International Labour Organization (ILO) telah menekankan pentingnya menyediakan dukungan bagi perempuan bekerja melalui kebijakan yang ramah keluarga, yang memungkinkan mereka untuk menyeimbangkan peran ganda tanpa mengorbankan kesehatan atau karier mereka. Dengan mengidentifikasi penyebab utama konflik peran, perumusan kebijakan yang lebih komprehensif dalam mendukung perempuan bekerja, khususnya bagi mereka yang menghadapi beban ganda sebagai ibu baru. Harapannya perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam pekerjaannya, tanpa harus mengorbankan kesejahteraan mereka sendiri, serta produktivitas dan derajat kesehatan mental juga tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (2023) Tenaga Kerja Perempuan Profesional di Indonesia. Available at: https://searchengine.web.bps.go.id/search?mfd=0000&q=Tenaga+Kerja+Perempuan+Profesional+di+Indonesia&content=all&page=1&title=0&from=all&to=all&sort=relevansi (Accessed: 25 September 2024).
Cavagnis, L., Russo, C., Danioni, F., and Barni, D. (2023) 'Promoting women's well-being: A systematic review of protective factors for work--family conflict', International Journal of Environmental Research and Public Health, 20(21), p. 6992. Available at: https://doi.org/10.3390/ijerph20216992 (Accessed: 25 September 2024).