Mohon tunggu...
Salwa Bakhita
Salwa Bakhita Mohon Tunggu... -

seorang ibu yang sedang belajar menulis, tapi gak bisa-bisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan di Kala Senja

18 November 2014   11:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:32 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan di kala senja, mengingatkanku pada sebuah nama “Jingga disavana”. Selalu terbayang derai tawanya di bawah derasnya hujan.

“Aku sangat mencintai hujan di kala senja “ ucapmu saat itu

Aaah, Bagaimana kabarmu sekarang? Entahlah aku tak pernah tahu  semenjak aku pergi meninggalkan kota itu.

--

Kuterobos hujan di senja ini, terkadang aku teringat padanya di waktu seperti ini. Dia yang dulu selalu menemaniku menikmati hujan waktu di desa dulu. Menyusuri sawah, berlari-lari di lereng semeru. Aku selalu mengingatnya.

Entahlah dimana dia sekarang. “Fakhri adriansyah” nama itu seolah lenyap dari bumi ini. Kutanya pada teman-temannya  tidak ada yang tahu. Kutanyakan Pada saudara-saudaranya pun mereka menjawab tidak tahu. Entah mereka benar-benar tidak tahu ataukah hanya ingin menutupinya dariku.

10 tahun yang lalu, bapak meminta mas Fakhri untuk menjauhiku karena aku akan dijodohkan dengan man Bima, seorang sarjana pertanian yang kerap memberikan penyuluhan di desaku. Tidak lama kemudian, bapak mas Fakhri meninggal dunia karena terkena serangan jantung. Ibunya telah lama meninggal, semenjak mas Fakhri masih kanak-kanak. Semakin lengkaplah alasan dia untuk meninggalkan desa ini, meninggalkanku.

Satu minggu menjelang akad nikahku dengan mas Bima, datanglah seorang wanita yang mengaku di hamili oleh mas Bima. Dia teman sekampus mas Bima. Buyarlah seluruh persiapan pernikahanku dengan mas Bima. Bapak pontang panting memberitahukan pembatalan pernikahanku dengan mas Bima, karena undangan telah tersebar.

Ingin aku berteriak mengabarkan pada mas Fakhri tentang pembatalan pernikahanku, tapi keberadaannya pun aku tak tahu, hingga kini. Kucari di facebook, twitter dan media sosial lainnya, tetap aku tidak menemukannya. Banyak yang bernama Fakhri, tapi bukan mas Fakhriku.

--

Hatiku berdegub kencang, di seberang jalan kulihat sosok dia. Jingga,.. apakah itu benar dia? Untuk apa dia di kota ini, di wonosobo. Kota yang jauh dari kota kami, lumajang. Aaah, mungkin Cuma halunisasiku saja. Akhir-akhir ini aku kerap teringat padanya, karena curah hujan di wonosobo termasuk tinggi. Apalagi di musim penghujan seperti ini, hampir bisa di pastikan setiap senja hujan mengguyur kota kecil ini, yang sudah 10 tahun aku tinggali.

Kupacu mobil mungilku, aku ingin segera sampai di rumah. Ingin menikmati hujan dengan segelas kopi dan pisang goreng. Setumpuk pekerjaanku di akhir tahun ini membuatku penat. Akhir tahun, selalu membuat dadaku sesak. Di bulan desember 10 tahun yang lalu, aku meninggalkan desa kecilku di lereng semeru, di kala hujan, di waktu senja.

Aku tak ingin lagi mengusik kebahagiaannya. Dia telah menemukan jodoh yang tepat. Lebih baik aku menghilang dari hadapannya, dari dunianya. Kurajut duniaku sendiri di tempat asing yang jauh dari tempat tinggalku dulu. Ingin kumulai hidup tanpa dirinya. Tapi bayangannya selalu menghantuiku. Entah mengapa aku tak bisa menghapus memori tenang dia dari ingatanku.

--

Sudah 2 bulan ini keluargaku pindah ke kota ini, wonosobo. Kepindahan tugas yang mengantarkan kami sampai di kota ini. Kota yang sangat indah, “negeri di awan” kami menyebutnya untuk kota ini. Sepulang kerja, aku mampir toko buku untuk sekedar melihat-lihat, siapa tahu ada judul buku yang menari untuk menemaniku di akhir pekan nanti.

Deeeegh,… jantungku berdegub tak beraturan. Aku mengenalnya, yaa aku mengenal punggung itu, rambut itu, masih tetap sama, walaupun sudah 10 tahun kami tidak bersua.

“mas Fakhri…?” ucapku tak sadar

“yaaa…”jawabnya sambil membalikkan badan

Ternyata benar, itu mas Fakhri, dia ada disini. Kepalaku terasa semakin berat, entah karena terlalu bahagia, ataukah terlalu kaget. Entahlah

Di sudut kafe, kami bertukar cerita, tentang dia, tentang aku, tentang semuanya. Tanpa terasa, senja pun tiba. Kami sudahi pertemuan kali ini, dan berjanji akan bertemu lagi.

--

Jum’at sore selepas kerja, aku tak langsung pulang. Aku mau mampir ke toko buku. Hari ini aku merasa kurang bersemangat, lelah, capek semuanya bercampur baur menjadi satu. Barangkali dengan mencari buku yang menarik, bisa menghilangkan segala kepenatan ini.

Ternyata tak ada judul buku yang menarik perhatianku. ketika aku hendak memutuskan untuk pulang,

“mas Fakhri,..?” ucap seseorang di belakangku

“yaaa…” jawabku sambil berbalik badan

“Jingga…” ucapku terkaget

­Jingga ada disini, di kotaku, dihadapanku. Kulihat wajahnya yang pucat. Tubuhnya limbung, segera kutangkap tubuhnya, dan kupapah menuju kafe disebelah toko buku.

Jinggaku masih tetap sama, binar matanya, senyumnya,.. semua masih tampak sama, sama seperti kala aku meninggalkannya 10 tahun yang lalu. Hanya saja tubuhnya kini kian membesar. Sosok mungilnya dulu berubah menjadi sosok wanita dewasa. Kudengarkan segala cerita Jingga, tentang kegagalan pernikahannya dengan Bima sampai kepindahannya di wonosobo ini. Perasaan lega menyeruak. Mungkin inilah jalan indah yang telah Tuhan persiapkan untuk kami.

--

“Jingga, minum susunya dulu sayang” ucap  mas Awan, suamiku sambil menyodorkan segelas susu

“iya, sayang” jawabku

“jaga kehamilanmu, jaga anak kita. Jangan terlalu banyak pikiran” nasehat suamiku

Aku bahagia  dengan hidupku sekarang. dengan mas Awanku dan dengan bayi yang ada di dalam perutku ini. setahun yang lalu aku menikah dengan mas awan. setelah selama 9 tahun aku menunggu dan mencari mas Fakhri, akhirnya sosok mas Awan datang dan meluluhkan hatiku. mas Awan, sosok yang penyabar dan rendah hati. Aku bahagia telah memilihnya menjadi pendamping dan imam dalam hidupku.

Biarlah masa lalu cukup menjadi kenangan buat kami. rasa bersalah yang kupendam selama 10 tahun telah memudar. Mas Fakhri telah bahagia dengan keluarga kecilnya, dengan istri dan gadis mungilnya.

--

Takdir telah mempertemukan kami ketika kami telah mulai merajut hidup dengan keluarga kecil kami masing-masing. Aku telah menikah dengan fiza 2 tahun yang lalu, kami sudah di karuniai seorang gadis mungil berumur 8 bulan, Aurora Bakhita. Aku lega, Jingga telah menemukan kebahagiaannya, bukan bersama Bima. Aku mengenal Bima, dia bukan lelaki yang baik. Tapi waktu itu, aku tidak punya kekuatan untuk melawan Pak Subhan, bapaknya Jingga. Pak Subhan orang yang berpengaruh di desa kami, tak ada yang bisa membantah segala keinginannya.

Selama ini, aku selalu menyesali kebodohanku waktu itu. Menyesali kepergianku dari desa itu tanpa ada kekuatan untuk kembali, sekedar menengok desaku, menengok Jingga. Aku takut Jingga tidak bahagia dan di telantarkan oleh Bima. Tapi sekarang, aku lega, Jingga telah menemukan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun