Mohon tunggu...
SALWA ANDRIANI
SALWA ANDRIANI Mohon Tunggu... Lainnya - Hubungan International FISIP Universitas Tanjungpura

Mahasiwa Hubungan Internasional FISIP Universitas Tanjungpura. Tertarik terhadap sejarah dunia dan budaya-budaya asing

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketegangan Iran-As Merambat, Ancaman Perang atau Jalan Diplomasi?

16 Mei 2024   00:11 Diperbarui: 16 Mei 2024   00:18 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(source: nairobiwire.com)

Dalam sebulan terakhir, kita menyaksikan serangkaian aksi yang semakin memicu kekhawatiran seperti Iran menembak jatuh drone pengintai milik AS di kawasan perairan Selat Hormuz. 

Belum lama berselang, terjadi serangan rudal yang menghantam fasilitas minyak Arab Saudi yang kemudian dituduhkan kepada Iran oleh pemerintahan Trump meski pihak Tehran membantah keras tuduhan tersebut. 

Eskalasi kemudian berlanjut ketika pesawat pengintai AS ditembak jatuh di wilayah perbatasan Iran yang nyaris memicu balasan serangan militer besar-besaran dari Angkatan Udara AS yang sudah dipersiapkan.

Belum lagi serangkaian insiden penembakan dan pembajakan kapal tanker di perairan Teluk yang juga disebut-sebut sebagai upaya Iran membalas sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh AS sejak keputusan kontroversial Trump untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir pada 2018 lalu. 

Tensi memuncak setelah Presiden Trump pada akhirnya membatalkan rencana serangan balasan dengan alasan tidak proporsional karena dapat memicu korban jiwa dalam jumlah besar. 

Namun sikap tegas AS tetap diperlihatkan dengan mengirim ribuan pasukan tambahan dan persenjataan ke kawasan Teluk, membangun narasi permusuhan yang kian meningkat seiring memanasnya suhu konflik. 

Iran bantah tuduhan As Serang kapal Tanker (Source: Medcom.id)
Iran bantah tuduhan As Serang kapal Tanker (Source: Medcom.id)

Dari sisi Iran, negara itu didorong bergerak ofensif dengan menunjukkan aksi-aksi penggertak sebagai reaksi dari tekanan ekonomi akibat sanksi minyak AS pasca-keluarnya Washington dari kesepakatan nuklir pada 2018 lalu. 

Kebijakan tekanan maksimum yang diterapkan Washington untuk mencekik ekonomi Iran memang terbukti telah membuat Tehran tak punya banyak pilihan selain menunjukkan aksitangannya untuk menggertak balik dan membalas dengan berbagai cara.

Sikap asertif dan berani mati Iran dalam menghadapi tekanan AS ini didukung oleh kepercayaan mereka sebagai kekuatan adidaya di kawasan Teluk serta pengaruh kuat faksi konservatif di tubuh pemerintahan yang senantiasa menentang upaya diplomasi dengan pihak asing. 

Faksi konservatif yang menguasai banyak sektor kekuasaan di Iran inilah yang mendukung dan mengedepankan pendekatan tindakan ofensif untuk membenruk wibawa dan daya tahan Iran dalam menghadapi tekanan AS.

Di kubu AS, rezim Trump berusaha merevisi kebijakan luar negerinya menjadi lebih konfrontatif terhadap Iran. Pemerintahan Trump secara terbuka menuduh Iran sebagai negara yang mendestabilisasi kawasan dan mengancam kepentingan utama AS serta negara-negara sekutu dekatnya seperti Arab Saudi dan Israel.

Washington terus mendakwa Iran secara aktif mendukung kelompok-kelompok militan bersenjata di Irak, Yaman, Lebanon, dan Gaza yang kerap menyerang dan mengusik kepentingan AS serta negara-negara Arab bersahabat. 

Selain itu AS juga sama sekali tidak yakin bahwa program pengembangan nuklir Iran sepenuhnya hanya untuk tujuan damai seperti yang selalu diklaim oleh pemerintah di Tehran.

Esensinya, AS di bawah kepemimpinan Trump cenderung melihat Iran sebagai negara pendukung terorisme dan disruptif yang mengancam stabilitas kawasan, sementara Iran melihat AS sebagai negara penduduk adidaya di wilayah mereka. Benturan kepentingan inilah yang memicu ketegangan dan saling menggertak antara kedua negara yang berujung pada meningkatnya ancaman pecahnya perang terbuka.

Namun ancaman perang tentu saja bukan satu-satunya jalan keluar yang tersedia untuk menyelesaikan krisis ini. Paradoksnya, baik AS maupun Iran sama-sama tidak siap dan tampaknya tidak berniat untuk terlibat dalam perang terbuka dalam jangka panjang.

Bagi Iran, negara ini sudah pasti tidak cukup kuat untuk menghadapi kekuatan militer AS yang jauh lebih hebat baik dari segi persenjataan modern, kekuatan udara, kemampuan logistik, maupun mesin ekonomi yang mumpuni. 

Iran mungkin masih dapat mempersulit gerakan-gerakan AS di awal konflik dengan melibatkan kelompok-kelompok proksi dan milisi yang mereka backing di kawasan. Namun dalam konflik bersenjata berkepanjangan skala besar, Iran bakal kesulitan bertahan menghadapi kekuatan militer AS yang masif.

Di lain pihak, Trump dan para pembantu kepresidensiannya juga tahu betul bahwa terlibat perang dengan Iran akan menjadi malapetaka politik bagi agenda pemilihan ulang kepresidenan tahun depan bagi Trump sendiri yang tengah mengarungi masa-masa kampanye yang krusial. 

Penduduk Amerika secara umum sudah lelah dan jenuh dengan pengerahan pasukan di luar negeri setelah kekacauan perang di Irak dan Afghanistan yang telah menghabiskan banyak sekali sumber daya dan anggaran negara dalam beberapa dekade terakhir.

Yang akan terjadi dalam skenario terburuk, kemungkinan besar hanyalah pertempuran terbatas dan kecil yang memicu aksi pembalasan dari masing-masing pihak. Namun rasanya sulit terjadi perang terbuka dalam skala besar dalam waktu dekat ini, mengingat konsekuensi luar biasa yang akan ditanggung baik oleh AS maupun Iran jika benar-benar terseret dalam konflik militer berkepanjangan.

Situasi semacam ini yang masih menyisakan ketegangan namun belum sepenuhnya membahayakan, sesungguhnya masih membuka ruang bagi diplomasi untuk meredakan ketegangan dan mengatasi konflik di antara kedua negara. Yang dibutuhkan adalah kesadaran dari para pemimpin di Tehran dan Washington untuk menghentikan saling menggertak dan mengembalikan kepercayaan dalam proses perundingan dan negosiasi.

Iran di satu sisi mesti menunjukkan itikad baiknya dengan kembali menaati aturan-aturan dalam kesepakatan nuklir sebelumnya sebagai langkah baik untuk mengurangi ketegangan dan membangun kepercayaan dengan pihak Barat. 

Sedangkan AS di sisi lain juga harus mencabut sebagian besar sanksi ekonomi yang selama ini membelit Iran agar ada ruang untuk dapat menempatkan diri di meja negosiasi.

Mengingat kekhawatiran AS atas pengaruh dan aktivitas militer Iran di kawasan seperti di Irak, Suriah, Yaman dan Lebanon, maka solusi sementara perlu dicapai seperti Iran membatasi perannya di negara-negara tersebut atau mengurangi dukungannya kepada kelompok-kelompok milisi yang beroperasi di wilayah itu.

Yang pasti diplomasi tidak akan bisa berjalan dan mencapai hasil apapun jika kedua pihak masih tetap saling mengunci dalam posisi ofensif dan terus melanjutkan siklus saling menggertak dan ancaman militer. Kedua belah pihak perlu menghentikan aksi-aksi provokasi yang berpotensi memicu eskalasi lebih lanjut dan segera mengupayakan penyelenggaraan kembali perundingan damai dengan persyaratan baru.

Komunitas Internasional tentu diharapkan mengambil peran lebih besar dalam mendorong tercapainya solusi damai serta menjauhkan kedua negara dari ambang perang terbuka yang pasti hanya akan memperparah ketidakstabilan di kawasan Teluk Persia yang sudah bergejolak selama beberapa dekade terakhir.

PBB, Uni Eropa, serta negara-negara sekutu dekat seperti Rusia dan China patut turun tangan dan mengambil langkah-langkah diplomatik konkret untuk mencegah terjadinya konflik besar skala penuh di kawasan strategis Teluk Persia yang kaya akan cadangan energi dunia.

Yang perlu disadari baik oleh AS maupun Iran, perang terbuka hanya akan menimbulkan penderitaan luar biasa di kedua negara tanpa ada pihak yang benar-benar akan keluar sebagai pemenang. Kerugian ekonomi, korban jiwa, dan kerusakan infrastruktur akibat konflik bersenjata besar bisa memakan waktu puluhan tahun untuk memulihkannya. 

Sudah saatnya akal sehat mengatasi sikap konfrontatif dan keinginan untuk menyelesaikan masalah hanya dengan kekuatan senjata. Kepentingan nasional keduanya tetap bisa dikejar melalui diplomasi yang dilandasi niat baik dan saling mengedepankan solusi win-win solution ketimbang saling mengancam dengan tindakan militer yang hanya akan menciptakan kekalahan untuk semua pihak.

Saat ini memang tengah terjadi kompetisi besar perebutan pengaruh di kawasan Timur Tengah yang melibatkan banyak kubu dan kepentingan. Namun perang terbuka bukanlah jalan keluar yang bisa diterima untuk menyelesaikan perselisihan antar negara. 

Sudah terlalu banyak konflik dan pertumpahan darah yang terjadi di wilayah ini. Perang hanya akan menambah derita dan penderitaan baru yang seharusnya bisa dicegah.

Hubungan antara Iran dan Amerika Serikat sejak 1979 (source: theguardian.com)
Hubungan antara Iran dan Amerika Serikat sejak 1979 (source: theguardian.com)

Semoga kedua negara mampu mengendalikan ego masing-masing dan mau menempuh jalan diplomasi demi perdamaian kawasan. Dunia saat ini sedang menghadapi cukup banyak masalah pelik, kita tidak mau menambah krisis baru yang sepenuhnya dapat dihindari dengan negosiasi dan kesepakatan yang saling menguntungkan. Perdamaian dan stabilitas lebih berharga daripada kemenangan sesaat dengan mengandalkan kekuatan senjata yang tak berkesudahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun