Mohon tunggu...
Salwa Putri Abdiarti
Salwa Putri Abdiarti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Belanda - Universitas Indonesia

Mahasiswi yang memiliki ketertarikan di bidang wisata, kuliner, dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kehidupan Masyarakat Belanda Saat Berada di Kamp Interniran Bandoeng

22 Juni 2022   00:18 Diperbarui: 22 Juni 2022   00:31 3619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Evakuasi warga Belanda dari Indonesia (Amigoe di Curacao Dagblad: 06-01-1958)

Tahukah anda bagaimana kehidupan masyarakat Belanda pada saat Jepang memasuki Hindia Belanda? Bagaimana nasib mereka? Apakah mereka bisa kembali ke Belanda? Tidak perlu khawatir, karena artikel ini akan menjawab semua pertanyaan tersebut. 

Selama pendudukan Jepang di Hindia Belanda (1942-1945) prajurit dan puluhan ribu warga sipil Eropa di tahan di kamp-kamp interniran. Jepang mengambil harta benda dan mempekerjakan mereka secara paksa didalam dan diluar Hindia Belanda. Hal ini dilakukan untuk membasmi pengaruh barat semaksimal mungkin di kawasan Asia  (Geillustreerde: 13).

Kamp Interniran tersebar di seluruh wilayah kekuasaan Jepang.  Menurut KBBI Internir adalah menempatkan orang atau kelompok orang seperti tawanan perang, pelarian, dan sebagainya di suatu tempat tinggal tertentu dan melarangnya meninggalkan tempat tersebut (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Di dalam kamp ini, kehidupan mereka sangat sengsara dan banyak yang terpisah dari keluarga mereka. Bandoeng menjadi rumah bagi sejumlah besar pejabat tinggi pemerintah di tingkat pemerintahan, termasuk gubernur jenderal, dan hampir seluruh komando tentara Belanda. Hal tersebut menyebabkan banyak sekali kamp pengasingan di Bandoeng yang berisikan masyarakat Belanda (Geillustreerde:116). Hal tersebutlah yang menjadi alasan kota Bandoeng sebagai pembahasan utama artikel ini.

Awal Mula Penahanan

Penahanan dimulai pada Maret 1942 dengan penangkapan tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan pemerintahan dan industri. Pada April 1942 dimulai penahanan massal bagi pria sipil Eropa dalam skala yang lebih besar dan dipenjarakan di kamp Sukamiskin dan Tjimahi Bandoeng. Penahanan massal perempuan dan anak-anak Eropa baru terjadi sejak November 1942, mereka dimasukkan ke kamp Bloemenwijk dan Tjihapit Bandoeng. Namun, beberapa dipindahkan ke Struiswijk Batavia. Tawanan pria dan wanita dipenjarakan secara terpisah (Geillustreerde: 116).

Awalnya pembagian kamp hanya terbagi menjadi 2, yaitu kamp wanita (berisikan wanita, anak laki-laki, dan anak perempuan), dan kamp pria. Namun, pada Juli 1944 Jepang membuat kebijakan baru yaitu memisahkan anak laki-laki dari kamp wanita (Vrouwen kampen) dan membuat kamp sendiri dengan sebutan "Jongen Kampen" atau kamp anak laki-laki. Letaknya ada yang masih di sekitar area kamp wanita dan ada yang dipindahkan ke luar daerah. Jongen Kampen terdiri dari anak laki-laki yang berusia 10 - 15 tahun, untuk umur 16 tahun dimasukan ke kamp pria (Mannen Kampen). Oleh karena itu banyak anak laki-laki yang dipisahkan dari ibu mereka, sehingga banyak keluarga yang terpisah dan tidak bertemu kembali (Geillustreerde: 20).

Kehidupan di dalam Kamp

Pada awal pendudukan Jepang, tawanan perang pribumi kadang-kadang dapat menyelinap keluar dari kamp pada malam hari. Namun, jika tertangkap akan dieksekusi oleh Jepang. Eksekusi ini harus disaksikan oleh tawanan perang lainnya sehingga memiliki dampak buruk bagi orang-orang yang masih berada di kamp terutama bagi yang mencoba untuk kabur. Ini menjadi alasan bahwa sangat sedikit upaya untuk melarikan diri dan tidak mudah bagi warga sipil Eropa untuk bersembunyi di luar kamp.

Jepang memanfaatkan banyak tawanan perang dengan mempekerjakan mereka. Pada awalnya pekerjaan terdiri dari tugas perbaikan dan pembersihan umum di luar kamp. Namun sejak Agustus 1942 dan seterusnya, penggunaan tawanan perang dalam skala besar adalah untuk melakukan pekerjaan industri, pertambangan dan pekerjaan konstruksi infrastruktur militer yang lebih besar terutama di luar pulau Jawa. Laki-laki dipaksa bekerja untuk membuat rel kereta api dan pelabuhan. Para wanita bekerja di kebun sayur dan harus menjahit pakaian untuk tentara Jepang.

Dalam segi kebutuhan makanan, pasokan makanan di kamp tidak ada setiap saat dan tidak ada di semua tempat, kualitas makanannya sangat rendah, kebersihan lingkungan sangat buruk dan tawanan perang selalu melakukan pekerjaan berat. Hal ini membuat para tawanan sangat rentan terhadap penyakit seperti disentri, penyakit kuning, malaria, demam tifoid, pneumonia, kekurangan gizi dan bahkan kolera sangat umum terjadi di kamp. Selain itu, mereka juga harus berhadapan dengan hama seperti tikus, kutu kepala, kutu badan, dan kutu busuk (Indische kamp archieven). 

Pada tahun 1944 kebijakan di dalam kamp dari administrasi sipil berubah menjadi kebijakan militer. Sejak saat itu penjaga kamp menuntut agar para interniran dan personel kamp pribumi membungkuk ketika orang Jepang lewat dan bahkan membungkuk ke mobil pembawa makanan yang lewat di depan mereka (Van Doorn 2012: 83). 

Sebagian kamp diurus oleh beberapa wanita Eropa yang dipekerjakan oleh tentara Jepang. Di setiap rumah diangkat seorang kepala sekolah yang tugasnya menjaga ketertiban, membagi makan, mendistribusikan dan menyampaikan pesan (Van Doorn 2012: 83). Para interniran diizinkan mengirim kartu pos kedalam kamp atau keluar kamp dengan sejumlah kata dalam bahasa Jepang, Melayu, atau Inggris. Namun, sebagian besar kartu pos tidak pernah tiba atau tiba sangat lama. Palang Merah Internasional melakukan beberapa upaya untuk mendapatkan surat atau telegram dari tahanan dan interniran kepada keluarga mereka di Belanda dan sebaliknya, tetapi surat ini juga sangat sulit untuk dikirim, dan kadang-kadang baru sampai setelah lebih dari satu tahun (Indische kamp archieven).

Lukisan berjudul  Kamer van een officierswoning te Tjimahi 1945 karya J.Boesveld (Arsip Museon Museum)
Lukisan berjudul  Kamer van een officierswoning te Tjimahi 1945 karya J.Boesveld (Arsip Museon Museum)

Para tawanan sering mengalami kejenuhan. Jika terdapat waktu luang mereka akan melukis, menulis buku harian, membuat puisi, dan melakukan aktivitas lainnya (Indische kamp archieven). Pada saat ini, barang-barang peninggalan mereka bisa dilihat di koleksi Museum Ilmu Pengetahuan dan Budaya Den Haag bernama Museon Museum. Gambar diatas adalah contoh arsip lukisan dari Museon Museum yang dilukis oleh J. Boesveld pada 24 Januari 1945 tentang keadaan kamp Tjimahi.

Evakuasi

Pada bulan Agustus 1945 tepatnya pada empat hari setelah Jepang menyerah, banyak orang yang melarikan diri dari kamp dan ada beberapa orang yang memilih untuk menetap di dalam kamp (Indische kamp archieven). Orang di luar kamp berada dalam posisi yang sangat rentan, rumah-rumah keluarga Belanda dikepung di waktu malam, dan para penghuninya dibantai dan tubuhnya dilempar di kali (Mari Bung, Rebut Kembali!). Sedangkan para interniran di kamp dilindungi oleh pasukan Jepang yang tersisa dan mendapatkan bantuan dari pasukan Inggris (Indische kamp archieven).

Indonesia menjanjikan bantuan penuh. Perdana Menteri Sjahrir menyatakan sekembalinya dari pertemuan pemimpin Indonesia di Djokjakarta bahwa pemerintahnya siap untuk membantu semua interniran Belanda yang ingin meninggalkan pedalaman Jawa untuk melarikan diri.  Dia menunjukkan bahwa kekhawatiran Inggris dan Belanda tentang kesehatan para tawanan telah mendorong keputusan untuk memprioritaskan pengangkutan para tawanan Belanda daripada tawanan Jepang. Para pemimpin tentara nasionalis Indonesia telah tiba di Batavia dari Djokjakarta untuk membahas bersama pemerintah Inggris tentang rincian evakuasi para interniran Belanda dan pengawal nasionalis lainnya (De Waarheid Volksdagblad: 9 Januari 1946). Namun dengan adanya perjuangan kemerdekaan yang pecah di pulau Jawa, sangat menghambat proses evakuasi orang-orang dari kamp. Setelah penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949, sebagian besar orang Indo-Eropa meninggalkan negara asal mereka dan proses tersebut juga masih sangat lama dan masih banyak kendala (Indische kamp archieven).

Evakuasi warga Belanda dari Indonesia (Amigoe di Curacao Dagblad: 06-01-1958)
Evakuasi warga Belanda dari Indonesia (Amigoe di Curacao Dagblad: 06-01-1958)

Gambar di atas adalah potret evakuasi Belanda dari Indonesia pada tahun 1958. Dengan menggunakan kapal-kapal besar, pemerintah Belanda berharap ribuan orang Belanda dipulangkan dari Indonesia. Di dalam foto: Sekelompok orang Belanda sedang menunggu keberangkatan di Pelabuhan Tandjong Priok (Amigoe di Curacao Dagblad: 06-01-1958).

Kehidupan setelah di evakuasi

Setelah berhasil di evakuasi, mereka kembali ke rumah keluarga atau kerabat mereka yang tinggal di Belanda. Walaupun banyak yang mengalami trauma, mereka tetap berusaha menjalani kehidupannya kembali. Pada tahun delapan puluhan, muncul ketertarikan baru pada masa lalu seseorang terutama yang pernah tinggal di kamp pengasingan. Hal ini menyebabkan pembentukan sejumlah besar asosiasi dan komunitas. 

Pada tanggal 2 November 1988, berdiri de Vereniging Kinderen uit de Japanse Bezetting en Bersiap 1941-1949 (KJBB). Perkumpulan itu ada untuk orang-orang yang memiliki ikatan dengan Hindia Belanda, terutama bagi mereka yang  pernah tinggal disana selama periode Bersiap dan juga yang memiliki garis keturunan Hindia Belanda tetapi tidak pernah berada disana. KJBB dan banyak organisasi Indonesia membentuk het Indisch Platform, yang berkonsultasi langsung dengan pemerintah. KJBB juga menjalin kontak dengan de Stichting Cogis, yang menangani masalah korban perang dan banyak kerjasama lainnya. Komunitas ini  berlokasi di Apollovlinder 19 1113 LL Diemen Noord . Di dalam KJBB terdapat banyak sekali kelompok kerja yang memiliki tugas yang berbeda, berikut beberapa kelompok kerjanya:

  • Buitenkampkinderen : Berfokus pada anak anak

  • Kongsi's : Membantu orang yang memiliki trauma

  • Politiek : Menyelidiki perubahan legislatif masyarakat Indo Belanda dan membantu mengajukan pensiun

  • Tweede generatie: Berfokus pada mereka yang lahir setelah 15 Agustus 1945 dan salah satu orang tuanya hidup di periode bersiap 

(Archieven.nl : No. 811).

Referensi:

Twentsch Dagblad Tubantia (1958, Maart 19). Evacuatie van buitenlanders.


Amigoe di Curaçao (1958, Januari 06) De evacuatie van Nederlanders uit Indonesië. Door het inschakelen van grote schepen hoopt de Nederlandse.    


De Waarheid Volksdagblad voor Nederland (1946, Januari 09) Nederlanders voorrang bij evacuatie Indonesiërs zeggen volledige hulp toe.


Nationaalarchief.nl : No.117. Japanse interneringskaarten, Surname: Adelhart Toorop


Indische kamp archieven. Types of camps. Amsterdam : Netherlands Institute for War Documentation (NIOD)


Archieven.nl : No. 811. Vereniging Kinderen uit de Japanse Bezetting en de Bersiap 1941-1949  


Aeckerlin, T., & Schoonenberg, R. (2006). De jaren van asal oesoel: Indische Nederlanders in de Japanse tijd. Amsterdam: KIT Publishers.


Brugmans, I.J. (1960). Nederlandsch - Indiee onder Japanse bezetting : gegevens en documenten over de jaren 1942 - 1945 / I. J. Brugmans. Franeker: Wever B.V


Broeshart , A.C.; Karnebeek, H.A. van; Warmer, Joh. A.G.. (1984). Java, 1942-1945 : kampschetsen uit: Kesilir, Banjoe Biroe, Tjikoedapateuh, 15e bat. in Bandoeng / getekend door Joh. A.G. Warmer ; voorzien van tekst door A.C. Broeshart en A.N. de Wit ; met een voorw. door H.A. van Karnebeek. Rijswijk: Elmar


Kadlečíková, Martina. (2018). “De representatie van het kampleven in Nederlands-Indische getuigenisliteratuur. Een vergelijking van De hel van Tjideng van Elise G. Lengkeek en Groeten uit Tjideng van Dicky Douw-Vos”. Bachelorscriptie. Filozofická fakulta. Masarykova University: Ceko.


Setiawan, Rully. (2011) Memudarnya Pengaruh Masyarakat Belanda di Jakarta Pada 1950-an. (Studi Kasus: Masalah Repatriasi). Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia: Depok.


Cribb, Robert (pengarang); Uswatul Chabibah (penyunting); Tim Masup Jakarta (penerjemah). (2010.). Para jago dan kaum revolusioner: Jakarta 1945-1949 / Robert Cribb ; penerjemah, Tim Masup Jakarta ; penyunting, Uswatul Chabibah ; penerjemah, Tim Masup Jakarta. Jakarta: Mashup Jakarta.


Saleh, R.H.A. 1928- penulis; Iswanti. (2000). "Mari Bung, rebut kembali!" / R.H.A. Saleh ; penyunting, Iswanti. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


Dulm, J. van. (2000). Geïllustreerde atlas van de Japanse kampen in Nederlands-Indië, 1942-1945. Purmerend: Asia Maior


Boesveld, J. (1945, Januari 24). Drawings from the Camps in the Occupied Dutch East Indies 1942-1945. Den Haag: Museon Museum.


Doorn, R.V. (2012). 'Verzwegen geschiedenis'.  


Raben, R. (Ed.). (2002, October). Representing the Japanese Occupation of Indonesia: Personal Testimonies and Public Images in Indonesia, Japan, and the Netherlands by Remco Raben. Journal of Southeast Asian Studies, 33(3), 576-577. Published by: Cambridge University Press. JSTOR https://www.jstor.org/stable/20072459


NOS Jeugdjournaal. (1945, June 23). Kamp Tjideng verlost van 'maanzieke' commandant. https://nos.nl/75jaarbevrijding/bericht/2338196-kamp-tjideng-verlost-van-maanzieke-commandant 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun