Rona wajahnya lega sekali. Pasti Tuanku terserang panik lagi, hingga meneguk seperti itu. Seperti orang berlari marathon.
Matahari masih bersembunyi, saat kami memasuki gerbang sekolah. Tidak biasanya tangan Tuanku terus menggenggam erat. Ada getaran halus yang sangat menyedihkan.
Tidak biasanya. Seharusnya aku kembali masuk ke tas dan bergelung malas di sana. Tuanku susah minum air putih. Dia hanya minum saat benar-benar "ingat" atau terserang panik.Â
Aku sering dilupakan. Hari ini sungguh luar biasa. Tuanku mengusapku lembut dan memeluk erat.
Seperti biasa, aku berdiri cantik di meja. Menatap wajah Tuanku yang tengah serius belajar. Beberapa kali dia akan menatapku dengan senyuman bahagia.
Tak ada yang berubah. Hari ini aku menemaninya dengan setia. Hanya satu kali Tuanku menyentuhku, lalu bangkit pergi di jam istirahat.
Tawa Tuanku berlari menghilang di balik pintu. Aku berdiri gagah di meja. Kulihat sekeliling begitu ramai. Seakan tidak terkendali. Tiba-tiba aku terpelanting jatuh, dan pecah.
Sakit sekali. Air mengalir deras, menggenang. Pecah dan basah. Rasanya seperti mimpi. Aku ingin bangun. Ada tangan meraihku dan meletakkan kembali, di mana aku tadi berdiri.
Dia bukan Tuanku. Senyuman itu merekah tanpa rasa bersalah. Dia kembali bersenda gurau tanpa rasa sedih. Air terus mengalir. Akupun kosong, dan merasa hampa.
Rasa dingin menyelimutiku, padahal kelas ini tidak ber-AC.
"Ke mana Tuanku pergi?" rintihku kesakitan.