"Oooh!" gumam Cantika sedikit kecewa.
Namun, jawaban sang mama memang benar dan wajib dilakukan. Komunitas yang dirintisnya itu, tengah merintis dan bangun jaringan. Dia yang hanya anak yatim, sudah memutuskan untuk komitmen merintis suatu komunitas sosial.
Komunitas non profit, karena ingin berbagi praktik baik untuk masyarakat. Prinsipnya yang idealis, dan sering mendapatkan cemoohan orang julid.
"Orang miskin aja belagu, merintis komunitas literasi! Buat makan aja susah, pakai belagu, mikirin literasi untuk anak kalangan bawah!".
Begitu banyak celotehan yang nyaris membuatnya mundur. Dia memang melihat kenyataan di sekelilingnya. Rata-rata pegiat literasi cilik, berasal dari keluarga mampu. Mereka bersekolah juga, yang khusus anak-anak berprevilege, alias high class.
Cantika sering mendampingi sang mama, mengikuti workshop literasi. Dari sana banyak cerita ketertinggalannya anak-anak dari kalangan bawah.
Tentu saja tertinggal, karena anak-anak dari kalangan bawah, pastinya tak mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan baca buku-buku bermutu. Orang tua mereka akan lebih memilih membeli kebutuhan makan, daripada membeli buku.
Dari hal itu, Cantika ingin memulai praktik baik dari dirinya yang berasal dari kalangan bawah, anak yatim dengan seorang ibu, yang hanya seorang buruh serabutan.
Hingga gerakannya sering ditanggapi miring. Namun, hatinya bertekad kuat. Suatu praktik baik, tidak harus menunggu mapan, dewasa atau berkecukupan secara materi. Niatnya dalam berbagi praktik baik sangat kuat.
Komunitasnya berjalan dari dana pribadi, yang didapatkan dari hadiah lomba-lomba, atau 10% dari santunan, yang sering didapatkannya.
Cantika trus melakukannya selama bertahun-tahun, dan komunitasnya terus berkembang. Susah senang, jatuh bangun dan pahit manis selama menjadi pegiat literasi cilik, sudah dialami dan dinikmatinya dengan ikhlas.