PENDAHULUAN
Tradisi gunungan megono dan hasil bumi dalam perayaan Syawalan di Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya lokal yang kaya makna. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, makna budaya dari tradisi ini terancam tergerus oleh perubahan sosial akibat modernisasi dan globalisasi. Generasi muda lebih akrab dengan budaya populer global daripada tradisi lokal, yang berdampak pada berkurangnya partisipasi mereka dalam melestarikan tradisi tersebut. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mengenai keberlanjutan tradisi gunungan megono sebagai bentuk komunikasi simbolik dalam masyarakat serta bagaimana upaya menjaga relevansi tradisi ini di tengah perubahan zaman.
   Sebagai respons terhadap masalah tersebut, penting untuk melihat tradisi gunungan megono dan hasil bumi ini bukan hanya sebagai bagian dari perayaan lokal, tetapi sebagai sebuah ruang terjalinnya komunikasi budaya yang menyampaikan nilai-nilai sosial dan spiritual kepada masyarakat. Gunungan megono, yang disusun dari berbagai hasil bumi, memiliki nilai simbolik yang melambangkan kesuburan, kebersamaan, dan rasa syukur masyarakat Pekalongan. Selain itu, partisipasi kolektif dalam perayaan ini memperkuat ikatan sosial antarwarga. Dengan memahami dimensi simbolik dan sosial dari tradisi ini, kita dapat melihat bahwa gunungan megono memiliki potensi besar untuk terus relevan, bahkan sebagai alat pengajaran nilai-nilai budaya pada generasi muda.
   Keunikan tradisi gunungan megono juga terletak pada cara masyarakat Pekalongan memaknai dan mengolah sumber daya lokal untuk menciptakan karya budaya. Hasil bumi yang dipilih secara simbolis mewakili berkah alam yang dikumpulkan sebagai bentuk syukur. Tradisi ini tidak hanya berbeda dengan perayaan di daerah lain, tetapi juga menjadi bentuk identitas lokal yang dapat dibanggakan. Penggabungan antara hasil bumi dengan ritual keagamaan menunjukkan perpaduan budaya lokal dengan agama Islam yang telah beradaptasi secara harmonis dalam kehidupan masyarakat.
   Dalam mendekati isu ini, perspektif komunikasi budaya dapat digunakan untuk memahami bagaimana simbol-simbol tradisional dalam gunungan megono berperan dalam menyampaikan pesan dan menjaga warisan budaya. Pendekatan ini memungkinkan kita melihat bahwa tradisi bukan hanya tentang tradisi tahunan, tetapi juga tentang transfer nilai-nilai dan identitas kolektif. Argumentasi awal yang dibangun dalam penelitian ini adalah bahwa menjaga relevansi gunungan megono dalam perayaan Syawalan membutuhkan pemaknaan ulang tradisi ini melalui pelibatan generasi muda dan adaptasi terhadap konteks zaman. Strategi-strategi seperti ini akan membantu menjaga agar tradisi tersebut tidak hanya menjadi artefak budaya, tetapi tetap hidup dan berkembang di dalam masyarakat Pekalongan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Masalah Modernisasi dan Ancaman terhadap Tradisi Gunungan Megono
     Tradisi gunungan megono sebagai bagian dari perayaan Syawalan di Kabupaten Pekalongan kini berada di persimpangan antara pelestarian dan pengabaian. Modernisasi dan globalisasi membawa pengaruh besar terhadap gaya hidup masyarakat, terutama generasi muda yang cenderung mengadopsi budaya populer global yang berakibat pada tergerusnya moral serta pemikiran masyarakat. Akibatnya, partisipasi dalam tradisi lokal seperti gunungan megono mulai berkurang. Tradisi yang dulunya menjadi wadah kebersamaan masyarakat kini mulai kehilangan daya tariknya, hal ini tidak lagi dianggap relevan oleh sebagian generasi muda yang lebih memilih aktivitas modern daripada ritual tradisional. Jika dibiarkan, lambat laun tradisi ini dapat bertransformasi menjadi sekadar tontonan tahunan, sehingga budaya tersebut dapat kehilangan makna dan fungsi sosialnya sebagai media komunikasi budaya dan spiritual masyarakat.
     Namun, tradisi gunungan megono memiliki keunikan yang membuatnya berbeda dari tradisi serupa di daerah lain. Gunungan yang disusun dari hasil bumi seperti sayur-mayur, buah-buahan, dan beras megono bukan hanya sekadar simbol rasa syukur kepada Tuhan, tetapi juga melambangkan kesuburan dan kebersamaan masyarakat Pekalongan. Tradisi ini memadukan nilai-nilai lokal dengan ajaran Islam dalam bentuk yang harmonis, mencerminkan proses akulturasi budaya yang berlangsung selama berabad-abad. Partisipasi kolektif dalam penyusunan dan perayaan gunungan menunjukkan nilai gotong royong yang masih menjadi identitas masyarakat. Selain itu, gunungan megono juga menjadi ajang rekonstruksi identitas lokal, yang membedakan masyarakat Pekalongan dari daerah lainnya.
     Berdasarkan laporan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pekalongan (2022), partisipasi masyarakat dalam tradisi gunungan megono mengalami penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu penyebab utama adalah perubahan pola pikir masyarakat, terutama generasi muda, yang lebih terfokus pada aktivitas modern seperti hiburan digital dan gaya hidup urban. Hal ini terlihat dari survei yang dilakukan di beberapa desa, di mana hanya 30% generasi muda yang secara aktif terlibat dalam tradisi Syawalan, termasuk pembuatan gunungan megono. Sebaliknya, generasi tua masih mendominasi pelaksanaan tradisi ini, yang menimbulkan kekhawatiran akan kesinambungan budaya di masa depan. Fenomena ini menunjukkan bahwa tanpa inovasi atau adaptasi, tradisi seperti gunungan megono bisa kehilangan daya tariknya sebagai sarana mempererat hubungan sosial di masyarakat.
     Salah satu strategi pelestarian yang dapat dilakukan adalah melalui integrasi tradisi ini ke dalam pendidikan formal maupun informal. Misalnya, komunitas kreatif lokal juga dapat dilibatkan dalam mendesain ulang perayaan Syawalan agar lebih menarik bagi generasi muda tanpa kehilangan nilai-nilai tradisionalnya. Pemanfaatan media sosial dan teknologi digital juga menjadi langkah penting untuk mempromosikan tradisi ini ke khalayak yang lebih luas. Dengan memanfaatkan platform seperti Instagram, YouTube, atau TikTok, gunungan megono dapat dikemas dalam bentuk konten visual yang menarik, sehingga mampu menarik perhatian masyarakat modern yang lebih akrab dengan teknologi.  partisipasi aktif dari pemerintah daerah juga menjadi kunci keberhasilan pelestarian tradisi ini. Dukungan dalam bentuk pendanaan, pelatihan, serta pengembangan program budaya yang melibatkan masyarakat dapat mendorong tradisi gunungan megono tetap hidup dan relevan. Bahkan, menjadikan tradisi ini sebagai bagian dari agenda pariwisata budaya tahunan Pekalongan dapat memberikan dampak ekonomi yang positif, yang pada gilirannya memperkuat motivasi masyarakat untuk terus melestarikannya.
     Dari berbagai tantangan yang dihadapi tradisi gunungan megono, dapat diuraikan bahwa keberlangsungan tradisi ini sangat bergantung pada upaya adaptasi terhadap perubahan zaman. Modernisasi dan globalisasi memang membawa dampak signifikan terhadap pola pikir masyarakat, terutama generasi muda, yang cenderung meninggalkan tradisi lokal yang dianggap kuno. Namun, tradisi ini sebenarnya memiliki potensi besar untuk tetap relevan jika dilestarikan dengan cara yang tepat. Pemaknaan ulang gunungan megono sebagai simbol kebersamaan, rasa syukur, dan identitas lokal harus terus diperkenalkan kepada generasi muda melalui pendekatan yang lebih kreatif dan kontekstual.
KESIMPULAN
   Tradisi gunungan megono dalam perayaan Syawalan di Pekalongan merupakan simbol budaya yang kaya akan makna sosial, spiritual, dan identitas lokal. Temuan besar dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi ini menghadapi tantangan serius akibat modernisasi dan globalisasi, yang berdampak pada berkurangnya partisipasi generasi muda. Namun, temuan pendukung menunjukkan bahwa tradisi ini masih memiliki potensi besar untuk dilestarikan melalui penguatan makna simboliknya sebagai wujud kebersamaan dan rasa syukur masyarakat. Upaya pelibatan kolektif, pemanfaatan hasil bumi lokal, serta nilai-nilai religius yang terkandung dalam gunungan megono menjadi kekuatan utama yang dapat digunakan untuk menjaga relevansi tradisi ini. Meskipun partisipasi generasi muda rendah, strategi inovatif seperti integrasi ke dalam pendidikan, promosi digital, dan pelibatan komunitas kreatif dapat menjadi langkah efektif untuk melibatkan mereka.
     Secara teoretis, penelitian ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan komunikasi budaya dalam memahami dan melestarikan tradisi lokal sebagai sarana transfer nilai dan identitas kolektif. Namun, penelitian ini memiliki limitasi pada cakupan geografis dan demografis yang sempit, sehingga diperlukan kajian lanjutan dengan sampel yang lebih luas. Rekomendasi teoritis adalah mengembangkan model pelestarian tradisi berbasis adaptasi kontekstual yang relevan dengan generasi muda. Secara praktis, pemerintah dan masyarakat lokal disarankan untuk mengadopsi strategi digitalisasi dan menjadikan gunungan megono sebagai bagian dari agenda pariwisata budaya yang berkelanjutan. Dengan langkah-langkah tersebut, tradisi ini dapat terus hidup sebagai warisan budaya yang tidak hanya menjadi simbol lokal, tetapi juga aset nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H