Mohon tunggu...
Salvia Neysa Syakira
Salvia Neysa Syakira Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis amatir yang memiliki banyak ide yang harus dituangkan

Mahasiswa yang memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi dan banyak bertanya akan banyak hal di dekatnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pantaskah Wanita Menjadi Perwakilan Rakyat?

7 Desember 2022   22:33 Diperbarui: 7 Desember 2022   22:40 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wanita merupakan sosok yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat, selain kodratnya yaitu menjadi Ibu dari anak-anaknya, mereka juga dibutuhkan masyarakat untuk menjadi sosok pemimpin, dikarenakan kepekaannya dalam memahami perasaan, itulah yang menjadikan betapa pentingnya wanita dalam mewakili masyarakat.

Saat ini, stigma wanita sebagai pemimpin masih menjadi hal yang tabu, stigma itu masih beredar dan melingkupi pikiran para masyarakat di Indonesia. Padahal pemerintahan juga membutuhkan sosok wanita untuk memahami perasaan masyarakat dan peka terhadap hal-hal kecil yang mungkin dilewatkan oleh para pemimpin lainnya, khususnya pemimpin laki-laki. 

Patriarki masih menjadi budaya di Indonesia, wanita masih dinilai rendah untuk mendapatkan pendidikan tinggi, wanita hanya memiliki urusan di dapur, sumur dan, kasur. Tentu ini menjadi hambatan para wanita yang memiliki lingkungan sekitarnya yang berpikir seperti ini. Peran wanita dalam partisipasi politik dimaknai sebagai partisipasi politik yang menjadi awal untuk para wanita berproses serta mengkaji apa telah menjadi hambatan para wanita dalam kesehariannya.

Dalam keterwakilan ini, para wanita bebas untuk berpendapat dan menyampaikan aspirasinya dan membuat kebijakan yang sesuai dan efektif serta eksplisit sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Sampai saat ini sudah sangat beredar mengenai konsep gender equality di mana konsep ini menekankan mengenai kesetaraan gender yang memberikan semua hak kepada kedua gender dengan merata, tanpa melihat kebutuhan yang yang dibutuhkan dari masing-masing gender. Menurut saya ini kurang tepat, kenapa? Dikarenakan konsep ini hanya memperhatikan bahwa kedudukan mereka setara, tanpa melihat dengan detail apakah hak-hak yang telah diberikan memberikan kesetaraan dan kekuatan yang sama untuk diimplementasikan.

Memang seharusnya kedua gender diperlakukan dengan setara, diberikan hak-hak yang setara, tapi apakah dengan ini semua bisa menjadikan mereka nyaman untuk melakukan sesuatu? Menurut saya jawabannya adalah, tidak. Contohnya ialah para ibu yang sedang menyusui atau memiliki anak yang umurnya terbilang masih dini. Di infrastruktur publik, umumnya diberikan fasilitas khusus yaitu "Ruang Ibu dan Anak" agar mereka bisa dengan leluasa memberikan hak-hak yang biasa dibutuhkan untuk anak mereka. Bagaimana dengan laki-laki, kenapa tidak diberikan ruang khusus? Dikarenakan laki-laki tidak memiliki kebutuhan khusus mereka terhadap anak, maka tidak dibuatkan fasilitas khusus itu. Jadi konsep gender equality menurut saya kurang tepat untuk diimplementasikan. 

Sesuai dengan contoh yang telah saya jelaskan di atas, yang tepat seharusnya ialah gender equity, konsep ini memiliki definisi yang tepat yaitu memberikan hak yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan kedua gender agar mereka mendapatkan perasaan setara antarsesama gender.

Inilah yang menjadi catatan untuk kita semua dalam memahami kesetaraan gender, seharusnya mereka memahami bahwa kesetaraan gender bukanlah dengan memberikan hak yang setara, tetapi memberikan hak yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing gender agar terciptalah perasaan setara.

Dalam dunia politik, hal ini sangat berkesinambungan. Sebab, partisipasi politik perempuan di Indonesia masih kurang dalam memenuhi standar indeks demokrasi. Tercatat dalam website DPR RI, pada periode 2019-2024 per Januari 2021 hanya terdapat 123 jumlah perempuan di DPR RI atau sekitar 21,39 Persen. Sangat jauh dengan minimum presentase standar indeks demokrasi, yaitu 30%. Peran perempuan masih sangat terhambat dengan stigma-stigma yang menyudutkan perempuan untuk tidak terlalu terlibat lebih dalam berpolitik, perempuan masih dianggap sangat lemah oleh masyarakat karena kebutuhan-kebutuhan khusus mereka. 

Seharusnya dengan kebutuhan-kebutuhan khusus mereka itu bukan menjadikan mereka istimewa, tetapi menjadikan antarsesama gender itu setara. Pembedaan kebutuhan ini bukan untuk menumbuhkan stigma bahwa "Perempuan itu lemah, perempuan tak pantas untuk menjadi pemimpin". Itu semua salah. Kita sebagai masyarakat sangat membutuhkan perempuan, terlebih dalam partisipasi politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun