Fenomena hoaks yang terjadi dalam kontestasi politik Indonesia, pertama-tama mesti dilihat dalam pemahaman tentang konteks. Konteks di sini merupakan ruang keseharian hidup manusia.[1] Menurut Armada Riyanto konteks tersebut memiliki berbagai perspektif dan dimensi.[2] Perspektif atas ruang tersebut dapat dilihat sebagai berikut:Â
- Ruang resionalitas: Bagi Armada Ruang ini terkait dengan sistem pemahaman terhadap realitas. Di dalam ruang tersebut manusia memiliki sistem berpikir yang khas. Ruang tersebut mencakup individu dan komunal. Ruang ini merupakan konteks hidup manusia. Ruang ini menjadi wilayah di mana akal budi manusia tumbuh dan berkembang dalam keterpautan dengan pemandangan akan realitas[3]. Ruang rasionalitas yang dijabarkan oleh Armada ini bersifat teritoris. Rasionalitas teritoris tersebut dimulai dari subjek dan berkembang dalam relasinya dengan subjek lain di sekitarnya dan dengan realitas lain yang melingkupinya.
- Ruang subjektivitas: Ruang ini terkait dengan pengalaman eksistensial manusia. Pengalam-pengalaman yang dialami manusia dalam kesehariaannya menjadi milik realitas hidupnya. Pengalaman-pengalam tersebut merupakan bagian dan miliknya. Pengalaman di sini menjadi ruang hidup manusia.
- Ruang Kultural-Religius: Ruang kultural-religius ini berkaitan dengan sistem antar budaya, mitos dan agama. Sistem tersebut merupakan kompleksitas pengalaman subjektif dan objektif.[4] Budaya di sini menjadi merupakan cara berpikir komunitas manusia. Di sini budaya menjadi hasil kreasi subjek dalam relasinya dengan subjek yang lain. Realsi tersebut bukan hanya menghasilakan budaya tetapi juga mitos dan agama. Bagi Armada agama di sini dapat tampil sebagai referensi hukum dengan segala frame nilai-nilai pasti mengenai kehidupan.[5]
- Ruang "LifeWorld": Pemahaman tentang lifeworld ini, dilihat oleh Armada dalam terang filsafat Hussrel. "lifeworld" ini memiliki dua karakteristik yakni subjektif dan objektif. Ia berkarakter subjektif sejauh ia menjadi sebuah horison, orientasi, wacana dan inspirasi. "Lifeworld" berkarakter objektif sejauh ia mengatakan pengetahuan tentang hidup manusia.[6]
- Ruang "Hit et Nunc": Ruang ini bersifat temporal dan spasial. Hal ini meyatakan bahwa hidup manusia memiliki konteks kekinian. Ruang ini menjadi situasi sehari-hari hidup manusia. Di dalamnya terjadi bergam fenomena.
- Ruang Kulural-Etis: Ruang ini berkaitan dengan nilai-nilai kearifan dan kebijasanaan yang menjadi milik manusia yang tinggal bersama. Kearifan tersebut menjadi roh dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia. Â Â Â
Fenomena hoaks yang menjadi wacana bangsa beberapa waktu ini, memainkan isu-isu berkaitan dengan konteks hidup manusia. Konteks yang dikemukankan dalam fenomena tersebut terutama berkaitan dengan ruang kultural-religius. Ruang ini merupakan area yang sangat sensitif bagi seseorang atau sekelompok orang.
Terlebih lagi bagi setiap orang Indonesia yang hidup dalam kemajemukan. Tidak sedikit contoh pertikaian yang timbul akibat permainan isu kultural-religius. Kasus Ahok dapat menjadi contoh termutakhir bagaimana ruang kulturak-rekigius dijadikan alat kontrol sosial. Hal tersebut dilakukan dalam rangkan untuk mengukuhkan kendali politik.
Â
Kasus ini memainkan dua hal yakni wacana-teks dan subjek-kelompok. Fenomena hoax di sini pertama-tama menyembunyikan realitas. Keseluruhan konteks dari teks dan wacana yang disampaikan tidak menampilkan keseluruhan kebenaran yang terkandung dalam satu wacana atau teks. Bahkan seluruh kebenaran suatu fenomen yang diberitakan tidak dinyatakan seluruhnya.
Â
Teks atau wacana menurut Armada merupakan tindakan mengkomunikasikan realitas.[7] Teks atau wacana yang disampaikan berusaha menggambarkan secara real realitas yang terjadi. Meskipun demikian teks tidak dapat menghadirkan secara utuh konteks yang dimiliki suatu realitas. Disinilah keterbatasan teks atau wacana yang dimanfaatkan oleh para penyebar hoax.Â
Â
Teks atau wacana yang dipalsukan tersebut, akan menghasilkan beragam tanggapan dari massa pembaca atau pendengar. Mereka akan memahaminya sesuai dengan rasionalitas yang terbentuk dalam konteks hidupnya. Pemahaman mereka tentang teks atau wacanapun tidak mendalam. Armada menjelaskan bahwa setiap pemahaman mengenai teks menjadi jargon.[8] Â Di sini teks dipahami menurut konteks yang dimiliki massa yang membacanya.Â
Â
Armada melanjutkan bahwa dalam pembacaan tersebut subjek yang membaca tidak lagi memiliki rasionalitas personal[9]. Apalagi jika teks tersebut menyinggung salah satu ruang hidup bersamanya. Teks tersebut ditanggapi dalam rasionalitas massa.Â
Â
Rasionalitas massa ini menurut Armada banyak ditentukan oleh opini pemimpin. Opini tersebut kemudian dijadikan sebagai ideologi massa. Di hadapan opini pemimpin ini, subjek kehilangan rasionalitasnya untuk menilai teks dan wacana yang disampaikan oleh pemimpin. Mereka kemudian berada dalam kendali otoritas yang memiliki kuasa penuh atas massa. Kuasa yang telah diperoleh tersebut dapat digunakan untuk mengendalikan massa.
Â
Fenomena Hoax yang belakangan banyak ditebarkan di media online merupakan senjata untuk memicu gerakan massa. Peristiwa tersebut pernah terjadi dalam gerakan 212 menjelang pilgub DKI Jakarta. Ahok menjadi sasaran massa pada saat itu. Peristiwa tersebut membuat ia gagal untuk menjadi gubernur DKI.
Â
Opini massa yang dikendalikan oleh pemimpin menutup mata massa terhadap wacana atau teks. Mereka tidak lagi melihat teks atau wacana berdasarkan konteks teks atau wacana tersebut dibuat. Proses rasional di sini tidak dilakukan. Armada menyebutkan bahwa rasionalitas subjek telah terhenti.[10] Â
Â
Keterbatasan tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh. Mereka memiliki segala modal bahasa untuk menggiring masyarakat. Pemikiran para pemimpin menjadi representasi dari rasionalitas massa.[11] Kendali tersebut kemudian digunakan untuk mensukseskan maksud politis dibalik opini yang disampaikannya. Fenomena hoax di sini mejadi pemicu untuk memunculkan gerakan massa. Hal ini kemudian menjadi suatu bentuk mobilisasi massa bukan hanya untuk kepuasan massa yang terkendali tersebut. Tetapi lebih daripada itu mobilisasi massa tersebut dilakukan untuk kepentingan politik pemimpin. Hal inilah yang tidak dilihat oleh massa. Atau meskipun mereka menyadarinya, tetapi mereka mengabaikan realitas tersebut.Â
Â
Kesadaran yang diabaikan subjek dalam massa tersebut, dipicu oleh sentimen terhadap kelompok atau massa tempat ia berada. Dalam hal ini yang dikorbankan adalah rasionalitas subjektif. Penilaian atas apa yang baik bagi keutuhan dan kemajuan bangsa diabaikan. Massa di sini dimobilisasi untuk mewujudkan keinginan tersebunyi pemimpin. McLuhan menerangkan bahwa gambaran di atas jelas meelukiskan subjek dalam massa yang kehilangan wujud atau kehilangan pribadi. Sentimentalitas menjadi sikap dasar setiap subjek yang tergabung dalam satu kelompok massa. Ketika ada hal yang menyinggung konteks kelompok tersebut, tindakan demonstrasi diambil atau yang paling ekstrim anarkisme dapat menjadi solusi.
Â
Rasionalitas massa yang sentimentil ini, membuat massa hanya ingin mendengar gagasan-gagasan yang mendukung wacana atau teks yang disampaikan pemimpinnya. Perbedaan pandangan di sini tidak dapat diterima. Opini berbeda dipandang sebagai sesuatu yang salah. Kebenaran bagi mereka telah terpatenkan dalam kata-kata pemimpin. Â Akibatnya relasi komunikatif tidak dimungkinkan.
Â
Dalam konteks tersebut, perdebatan seputar persoalan hoax hanya menjadi seperti bunyi tong yang kosong, tanpa pengaruh dan insight baru bagi para pendengar. Manusia yang terikat dengan suatu kelompok massa tertentu, telah terpatenkan dalam suatu opini kebenaran pemimpin massa tersebut. dalam kasus ini opini pemimpin telah menjadi semacam ideologi yang dianut oleh massa.
Â
Realitas massa tanpa rasionalitas subjektif, tidak lagi memiliki kebebasan untuk menilai apa yang disampaikan oleh pemimpin. Fenomena tersebut membuat mereka tampil sebagai robot yang digerakkan untuk memenuhi kepentingan orang tertentu. Pemimpin atau pengendali tersebut cukup menyampaikan beberapa kata maka mereka akan menjalankannya.
Â
Kegiatan politik yang sedang bangsa ini jalankan bukanlah politik diskursif. Kritik inilah yang diungkapkan oleh Habermas seperti dikutip Armada. Politik demokrasi tak bisa dibayangkan jika tidak berupa sebuah aktivitas diskursif.[12] Sebab yang dimainkan saat ini adalah politik massa. Belakangan ini juga terdengan isu bahwa salah satu paslon pilpres akan menjalan people power menuntut KPU. Jelas bahwa dalam hal ini, salah satu paslon tidak hendak mencari kebenaran, tetapi lebih menuntut kehendaknya sendiri untuk menang. Massa dijadikan alat untuk merebut kekuasaan. Jelas bahwa demokrasi tidak akan berjalan berdasarkan rasionalitas massa, tetapi lebih karena sentimen oleh karena opini yang dimunculkan pemimpin.Â
Â
Apa yang sedang dimainkan oleh para elit politik yang menuntut kemenangan tersebut dapat menimbulkan kehancuran.[13] Lagi Armada mengutip Pierre Bourdieu bahwa bahasa adalah alat propaganda. Mereka mengemukakan bahasa-bahasa yang penuh kecurigaan terhadap KPU. Isu-isu kecurangan dimunculkan untuk memicu reaksi massa. Armada melanjutkan bahwa hal inilah yang diabaikan oleh para politikus.[14] Menurutnya bahasa bukan sekedar alat komunikasi tetapi lebih merupakan alat propaganda dan wacana.[15]
Â
Jadi fenomena hoax dicetuskan terutama untuk menimbulkan reaksi massa. Reaksi massa tersebut kemudian digunakan oleh para pemimpin untuk mengendalikan massa. Massa digunakan bukan untuk mencari kebenaran dalam diskusi. Massa dimanfaatkan untuk mewujudkan kehendaknya sendiri. Oleh karena itu mereka sedemikian rupa mengungkapkan bahasa-bahasa yang berbau hasutan dalam setiap wacana yang mereka sampaikan. Keterbatasan subjek dalam suatu kelompok untuk mengetahui kebenaran menjadi batasan dalam kelompok tersebut. Ideologi yang sedemikian dijunjung menghalangi subjek dalam kelompok massa untuk berpikir secara rasional untuk memahami konteks hic et nunc yang sedang ia alami.
Â
Kenyataan tersebut menyatakan bahwa massa telah menjadi korban ideologi pemimpin. Ideologi yang disampaikan pemimpin diterima begitu saja tanpa dikritisi. Rasionalitas massa dalam konteks ini dibunuh. Mereka tidak lagi berpikir sacara komunal untuk menerima atau menolak ideologi tersebut. Kesempatan ini dapat digunakan untuk menentukan tindakkan yang harus diambil massa.Â
Â
Jika demikian situasi yang sedang dialami oleh bangsa ini, kemudia massa seperti apa yang mesti diwujudkan di tanah air ini. Armada menebutkan bahwa massa mesti menampilkan suatu gerakan bersama demi suatu maksud perdamaian. Massa mestinya menjadi cetusan kebersamaan dan keprihatinan.[16]
Â
Kebersamaan dan keprihatinan mesti lahir dari rasionalitas subjektif. Rasionalitas tersebut kemudian dikomunikasikan dengan yang lain. Dengan cara tersebut politik dapat terwujud sebagai diskursus yang indah. Politik bangsa ini akan dijalankan dengan rasionalitas yang relasional. Bukan dengan sentimentalitas massa yang irasional.
Â
Dalam konteks ini pemimpin akan memainkan perannya untuk mewujudkan kesejahteraan. Kepentingan umum pasti akan diutamakan. Massa hadir sebagai yang terlibat bukan sebagai alat, tetapi lebih sebagai bagian yang terlibat dalam pembangunan bangsa. Meski berada dalam keberagaman, kesatuan dapat diwujudkan oleh karena relasi berdasarkan resionalitas. Namun bagi Armada persoalan subjektivitas tetap menjadi persoalan massa. Hal ini disebabkan bahwa massa lebih digerakkan oleh seorang pemimpin atau bergerak berdasarkan teks tertentu.
Â
Realitas ini merupakan kelemahan massa. Pemimpin menjadi penentu kemana arah atau gerak massa. Untuk itu dalam hal ini, pemimpin yang berpedoman pada kebenaran sangatlah penting. Karena realitas massa yang bergantung pada pemimpin, maka pemimpin di sini mesti memiliki kemampuan untuk mendidik massa agar tidak jatuh dalam irasionalitas yang seringkali mejerat massa.
 Berhadapan dengan berita haox yang belakangan sering diungkapkan, tampak jelas bahwa bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin yang berpedoman pada kebenaran. Pemimpin yang memanfaatkan hoax sebagai alat kontrol massa mesti diabaikan. Pemimpin demikian bukan mendidik masyarakat tetapi membodohi masyarakat.
 Â
[1] Armada Riyanto, "Filsafat Relasionalitas: Aku, Teks, Liyan, Konteks" Yogyakarta: Kanisius, 2018, hlm. 7.
 Â
[2] Ibid.
 Â
[3] Ibid.
 Â
[4] Ibid., hlm. 9.
 Â
[5] Ibid., hlm. 11.
 Â
[6] Ibid., hlm. 12.
 Â
[7] Ibid., hlm. 60.
 Â
[8] Ibid., hlm. 78.
 Â
[9] Ibid.
 Â
[10] Bdk. Ibid., hlm. 79.Â
 Â
[11] Ibid., hlm. 78.
 Â
[12] Armada Riyanto., Op.Cit., hlm. 67.Â
 Â
[13] Ibid., hlm. 64.
 Â
[14] Ibid.
 Â
[15] Ibid.
 Â
[16] Armada Riyanto, "Berfilsafat Politik", hlm. 79.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H