Digitalisme memang penuh dengan hal yang positif tapi tentu ada juga efek negatifnya, seperti yang paling sering dialami adalah ketagihan. Tidak sedikit ditemukan seorang masyarakat merasa hidupnya kosong jika satu hari saja tidak dapat mengakses internet. Parahnya lagi demi meningkatkan byte internetnya supaya tidak lelet, seseorang tersebut rela membayar harga yang lebih tinggi dibandingkan biaya hidupnya sehari-hari.
Seseorang yang ketagihan dengan internetnya, dia akan mengakses media sosial, berita, atau game sudah seperti aktivitas rutin yang lebih banyak daripada waktu ibadahnya. Bahkan setiap dia membuak media sosial, pasti akan selalu ada status yang dia tulis untuk memberitahu secara tidak langsung dia eksis.
Efek negatif dari merajalelanya internet adalah tersebarnya hoax dengan sangat pesat dan tak terbendung lagi. Bayangkan saja ada satu saja hoax yang tertulis, langsung direspon ratusan orang lainnya hanya dalam hitungan menit dan langsung tersebar begitu saja tanpa ada filter. Bayangkan saja hanya hitungan hari bahkan jam, hoax tersebut telah dibaca jutaan hingga milyaran orang di dunia. Boro-boro disaring, membandingkan berita yang dia dapat dengan berita lainnya saja tidak dilakukan maka tak ayal, hoax menjadi sesuatu yang tak tersingkirkan.
Dalam bermedia sosial, mayoritas penggunanya 'lupa' atau tidak sadar bahwa dia telah menyebar informasi yang sebenarnya adalah rahasia pribadi. Kejahatan sekarang bukan hanya terjadi di dunia nyata tapi juga di dunia maya, sudah tak terhitung pelecehan seksual yang terjadi di dunia maya.Â
Pengguna internet kurang 'membentengi' akun sosialnya agar tidak mudah dibobol. Kadang kala pembobolan bermotif game atau informasi, saat dibuka ternyata virus. Jadi jangan heran saat seseorang ternyata menyimpan video atau foto vulgarnya di hp atau komputernya ternyata bisa diakses oleh orang lain dan buruknya semua itu tersebar.
Media sosial membuat seseorang semakin jarang berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Chating yang dilakukan antara satu orang dengan orang lainnya bisa jadi mengandung dialog yang 'sunyi', tak ada tatapan muka hanya lontaran kata sehingga kita tidak bisa berinterkasi sosial dengan baik saat berjumpa secara langsung dengan orang yang bersangkutan. Sehingga rasa solidaritas, kepekaan, dan kepedulian seseorang semakin hari semakin tergerus.
Masyarakatpun kini tidak takut untuk mencibir orang lain karena dia bisa membuat akun palsu dan tak takut ketahuan. Padahal kalau kita lihat dari segi kemanusiaan, tidak ada orang yang di dunia ini yang mau terus dikritik padahal dia berusaha menjadi orang yang lebih baik.
Dalam mencegah kecanduan yang berlebihan terhadap era digitalisme, masyarakat harus flasback ke belakang disaaat dimana mereka masih bisa hidupa ataupun begitu banyak kebahagiaan lain yang bisa dicari walau tanpa ada internet. Kita tidak bisa sepenuhnya meninggalkan internet saat ini karena hal tersebut merupakan kekuatan terbesar yang ada di dunia.
Tapi tidak ada yang salah saat kita meninggalkan sejenak hp, lalu berpetualang di tempat-tempat yang tidak ada embel-embel sinyal disana. Begitu banyak keindahan yang ada di alam yang tidak hanya bisa di like atau di lihat dari layar kaca. Akan ada rasa yang berbeda saat seseorang melihat secara langsung keindahan yang telah diciptakan Tuhan yang tersebar ke segala macam penjuru di dunia ini.
Oleh : Salvatika Tri D.
Program Studi Ilmu Komunikasi