1. Untuk menentukan kesalahan subjektif atau unsur kesalahan yang ada pada pelaku tindak pidana. Mens rea merupakan salah satu unsur yang harus dibuktikan oleh pihak penuntut dalam proses pidana untuk menunjukkan bahwa pelaku memiliki kesengajaan atau niat jahat dalam melakukan tindakan melanggar hukum. Bukti mens rea sangat penting dalammenetapkan tanggung jawab pidana seseorang, karena dapat membedakan antara tindakan yang disengaja dan tindakan yang tidak disengaja.Â
2. mens rea yang terbukti dapat digunakan untuk meringankan pertanggungjawaban pidana pelaku. Seseorang yang melakukan tindakan kriminal dalam keadaan terpaksa atau terancam mati, dan niat jahatnya terbukti tidak ada, maka pengadilan dapat mempertimbangkan hal tersebut dalam memutuskan hukuman yang lebih ringan.Â
3. mens rea juga dapat berfungsi sebagai dasar untuk menetapkan pertanggungjawaban pidana yang lebih berat. Tergantung pada tingkat kesengajaan dan kejahatan yang terlibat dalam suatu tindakan. Oleh karena itu, meskipun mens rea dapat digunakan untuk menentukan kesalahan subjektif, meringankan atau memberatkan pertanggungjawaban pidana, hal ini tidak berlaku dalam semua kasus, dan keputusan akhir tetap ditentukan oleh pengadilan berdasarkan berbagai faktor lainnya.Â
Bagaimana hubungan actus reus dan mens rea dalam kasus korupsi ?
 Jika di ambil dalam hubungan Teori Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi Timah yang melibatkan banyak pelaku dengan kerugian 270 Triliun Dalam dunia hukum pidana, dua unsur utama yang menentukan apakah seseorang bisa dihukum adalah Actus Reus dan Mens Rea. Konsep ini pertama kali diajukan oleh Edward Coke, yang menyatakan bahwa seseorang dapat dihukum hanya jika terbukti melakukan perbuatan yang melanggar hukum (actus reus) dengan niat atau kesadaran untuk melakukannya (mens rea). Kedua elemen ini tidak dapat dipisahkan, karena hukum tidak hanya mengukur perbuatan yang terjadi, tetapi juga maksud di balik perbuatan tersebut. Dalam konteks kasus korupsi, seperti yang terjadi pada proyek Korupsi Timah, kedua unsur ini menjadi sangat relevan dalam menilai apakah para terdakwa memang layak dihukum dan sejauh mana mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka. kasus korupsi timah berawal dari tiga direksi PT Timah Tbk yang diduga menyadari penghasilan bijih timah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan swasta lain. Hal itu karena maraknya penambang liar di wilayah IUP PT Timah Tbk yang berada di Provinsi Bangka Belitung. Ketiga direktur PT Timah Tbk tersebut, yaitu Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama 2016-2021, Emil Ermindra Direktur Keuangan 2017-2018, dan Alwin Akbar Direktur Operasional tahun 2017, 2018, dan 2021. Mengetahui menjamurnya penambang ilegal, bukannya menindak, mereka justru mengajak untuk bekerja sama. Para direksi itu menawarkan membeli hasil penambang ilegal dengan tarif di atas harga standar yang telah ditetapkan PT Timah Tbk. Kejagung menangkap TT sebagai tersangka pertama atas dugaan obstruction of justice lantaran berupaya menghalangi penyidik saat hendak melakukan penggeledahan pada Januari 2024. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi menyebut, TT menyembunyikan beberapa dokumen yang dibutuhkan, sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan kesaksian palsu, dan diduga kuat menghilangkan barang bukti elektonik. Penangkapan tersangka terus berlanjut. Hingga awal Maret, Kejagung berhasil menangkap sebanyak 14 orang setelah memeriksa 130 saksi. Tiga di antaranya termasuk mantan direksi PT Timah Tbk.
Mens Rea merujuk pada niat atau kesadaran pelaku saat melakukan perbuatan tersebut. Dalam konteks hukum pidana, seseorang hanya dapat dihukum jika terbukti tidak hanya melakukan perbuatan yang melanggar hukum (actus reus), tetapi juga dengan sengaja melakukannya, atau setidaknya dengan kesadaran bahwa perbuatan tersebut adalah ilegal dan merugikan orang lain. Dengan kata lain, mens rea menilai apakah pelaku memiliki niat jahat atau kesengajaan dalam melakukan tindakan tersebut. Dalam konteks maksud tersebut di duga Harvey Moeis ditangkap keesokan harinya usai Kejagung menemukan adanya keterlibatan Harvey dalam kasus korupsi timah. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi mengatakan, posisi Harvey dalam kasus ini merupakan perwakilan dari PT Refined Bangka Tim (RBT). Â Harvey bersama Mochtar Riza Pahlevi Tabrasi sepakat mengakomodasi pertambangan ilegal dengan cara menutupinya melalui sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah.
Actus Reus merujuk pada perbuatan fisik atau tindakan yang dilakukan oleh pelaku, yang melanggar hukum. Dalam kasus korupsi Timah di Bangka Belitung, actus reus mencakup serangkaian tindakan ilegal timah yang dilakukan oleh para terdakwa dan sangat merugikan negara dan lingkungan, seperti penggelapan dana, penyalahgunaan wewenang, dan manipulasi kontrak. Tindakan-tindakan ini secara jelas melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, terutama dalam hal pengelolaan lingkungan yang ilegal dan penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi.
"Pertanggungjawaban pidana" (Criminal Liability / Mens Rea) Berikut beberapa hukuman yang telah diberikan terkait kasus timah di Bangka Belitung: Bos Timah dituntut 16,5 tahun penjara karena merusak Hutan Lindung Pantai Bubus Bangka Empat tersangka penambangan timah ilegal di Manggar, Belitung Timur diancam hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 10 miliar, Ichwan Azwardi, pimpinan proyek pembangunan Washing Plant dan CSD di PT Timah, divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, Eks Pejabat Dinas ESDM Bangka Belitung dituntut 7 tahun penjara dalam perkara korupsi timah
Bagaimana Kerugian yang harus di tanggung?
Adapun kerugian yang harus di pertanggung jawankan seperti maksud actus reus beban kerugian yang harus ditanggung negara akibat kasus korupsi timah, yaitu sebesar Rp 300 triliun. Jumlah tersebut didapat dari kerugian atas kerja sama PT Timah Tbk dengan smelter swasta Rp 2,265 triliun, kerugian pembayaran biji timah Rp 26,649 triliun, dan kerugian lingkungan Rp 271,1 triliun. Adapun kerugian lingkungan, dihitung berdasarkan total luas galian yang mencapai 170.363.064 hektar di kawasan hutan dan nonkawasan hutan Bangka Belitung. Lebih lanjut, ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo merincikan total kerugian lingkungan akibat tambang timah meliputi kerugian ekologi Rp 157,83 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,27 miliar, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5,26 miliar. Sementara, kerugian lingkungan di nonkawasan hutan meliputi biaya lingkungan Rp 25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 6,62 miliar.