Di tengah gejolak politik yang tak henti-hentinya mengguncang dunia, para pemimpin masa depan Indonesia yaitu Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto berkumpul di Graha Sabha Pramana UGM (19/09/2023) untuk berbicara tentang gagasan politik yang unik, tak terduga, dan sangat signifikan dalam politika masa kini. Dalam forum yang penuh semangat kemarin, pemuda dan pemudi dari dua generasi yang sering disebut sebagai "Generasi Z" dan "Milenial" hadir untuk berbagi gagasan, pandangan, serta pengalaman mereka mengenai politik. Ada sebuah perubahan mendalam yang terus menggebrak panggung politik Generasi Z dan Milenial yang tampil di tengah sorotan. Mereka adalah pionir dalam politika era baru yang dirangsang oleh teknologi, identitas, dan komunikasi daring. Dengan kepribadian, opini yang terdiversifikasi, dan media sosial sebagai senjata utama, generasi muda ini sedang meretakkan tembok politik konvensional.Â
Melalui pembahasan kali ini, kita akan menilik ke dalam perilaku politik secara psikologis yang digerakkan oleh Gen Z dan Milenial, membedah perilaku mereka yang mungkin membingungkan bagi generasi sebelumnya, dan merenungi dampaknya yang tak terhindarkan dengan membuka tirai politika era baru yang tengah berkembang pesat.
Before Discussion, Mari Memahami Bagaimana Politik dalam Pandangan Psikologi
Politik dalam ranah psikologi melibatkan analisis tentang bagaimana individu dan kelompok manusia berinteraksi, membuat keputusan, serta terlibat dalam proses politik. Hal ini mencakup pemahaman tentang bagaimana faktor-faktor psikologis seperti nilai-nilai, persepsi, emosi, dan motivasi mempengaruhi sikap, keyakinan, dan perilaku politik. Psikologi politik berusaha menjelaskan mengapa orang memilih pemimpin tertentu, mengambil posisi politik tertentu, dan berpartisipasi dalam sistem politik. Faktor politik memegang peranan sentral dalam pemilihan pemilih. Pemilih biasanya memilih kandidat atau partai yang mempunyai pandangan dan agenda politik yang selaras dengan nilai dan kepentingannya. Misalnya, pemilih yang  peduli terhadap isu lingkungan hidup kemungkinan besar akan  memilih kandidat yang menekankan kebijakan pro lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam perilaku pemilu, politik menuntut pemilih untuk memahami isu-isu penting politik dan mampu mengevaluasi sikap kandidat dan partai politik terhadap isu-isu tersebut.
Dalam kajian tentang hubungan antara kepribadian dan perilaku politik, terdapat berbagai teori yang membantu kita memahami bagaimana karakteristik kepribadian individu dapat memengaruhi cara mereka berpartisipasi dalam aktivitas politik dan mengambil keputusan politik. Teori kepribadian Big Five mengidentifikasi lima dimensi utama kepribadian, yaitu neurotisisme, stabilitas emosi, keterbukaan, keintiman, dan kehati-hatian. Teori ini telah digunakan untuk menjelaskan bagaimana ciri-ciri kepribadian ini memengaruhi perilaku politik. Misalnya, individu dengan tingkat neurotisisme yang tinggi cenderung lebih cemas dan emosinya tidak stabil, sehingga mereka mungkin lebih mendukung kebijakan yang memberikan keamanan dan stabilitas keuangan.Â
Adapun teori mengenai kepribadian yang otoriter dengan preferensi politik yang mendukung otoritarianisme dan kontrol yang ketat. Orang dengan kepribadian otoriter cenderung mendukung pemerintahan yang kuat dan tindakan tegas dalam politik. Mereka mungkin lebih suka otoritas yang memberlakukan aturan yang kaku dan menekankan disiplin. Kemudian jika ditinjau secara kognitif dan emosional yang membedakan individu berdasarkan bagaimana mereka mengolah informasi politik, dengan individu kognitif lebih cenderung mencari pemahaman yang mendalam, sementara individu emosional lebih dipengaruhi oleh pesan-pesan yang menarik emosinya.Â
Terakhir, teori identifikasi politik menyoroti peran identitas politik dalam membentuk perilaku politik individu, di mana identitas politik dapat menjadi bagian integral dari identitas kepribadian seseorang. Namun, penting untuk diingat bahwa faktor-faktor lain seperti latar belakang sosial, pengalaman hidup, dan konteks politik juga memainkan peran penting dalam membentuk perilaku politik individu, dan pengaruh kepribadian dapat bervariasi di antara individu, menjadikan hubungan antara kepribadian dan perilaku politik sebagai bidang yang kompleks dan menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Lalu, Apa yang Membuat Perbedaan Warna antara Perilaku Politik Gen-Z dan Milenial?
Generasi Z atau iGen adalah kelompok individu yang lahir di era pertengahan 1990-an hingga pertengahan 2000-an. Mereka tumbuh dalam era digital yang terkoneksi penuh dengan akses internet dan media sosial. Kepribadian Gen Z mencakup independensi, keterampilan teknologi, dan inklusivitas tinggi. Mereka aktif dalam aktivisme sosial, tetapi juga terpengaruh oleh dampak media sosial. Di sisi lain Generasi Milenial atau Gen Y yang terlahir antara awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Mereka dikenal sebagai individu mandiri, kreatif, dan ambisius. Milenial menganut nilai inklusivitas, kesadaran lingkungan, dan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Mereka juga memainkan peran kunci dalam perubahan budaya, kemajuan teknologi, dan perkembangan pasar kerja.
Generasi Z yang dikenal sebagai digital natives, tumbuh dalam era teknologi digital yang berkembang pesat. Mereka lebih terhubung secara online dan memiliki akses mudah ke berita dan informasi politik. Aktivisme sosial, terutama di sektor lingkungan dan isu-isu sosial, telah menjadi ciri khas Generasi Z. Mereka sering mencari pemimpin politik yang mendukung nilai-nilai sosial yang mereka pegang, seperti keberagaman dan keadilan sosial. Dengan tingginya keragaman dalam kelompok ini, representasi yang inklusif dalam politik sangat penting.Â
Di sisi lain, Generasi Milenial mengalami transisi awal ke era internet dan masih terpengaruh oleh media tradisional. Pengalaman ekonomi mereka dipengaruhi oleh resesi dan fluktuasi ekonomi, yang mempengaruhi pandangan politik mereka, terutama dalam isu ekonomi dan kesejahteraan sosial. Generasi Milenial memiliki cenderung peduli pada isu-isu identitas dan keadilan sosial, seperti hak perempuan dan isu-isu rasial. Mereka cenderung mencari pemimpin yang memperjuangkan isu-isu ini dalam platform politik mereka. Meskipun beberapa individu dari generasi ini telah aktif dalam politik, tingkat partisipasi pemilih di antara mereka bervariasi. Perbedaan antara Generasi Z dan Milenial mencerminkan pengaruh lingkungan sosial, ekonomi, dan perkembangan teknologi dalam membentuk pandangan politik pemilih muda saat ini.
Opini dan Media Sosial Menjadi Faktor dalam Memilih
Opini publik terkait politik adalah fenomena yang dapat dianalisis melalui lensa psikologi. Konsep-konsep psikologis seperti stereotip memainkan peran dalam cara orang menilai politisi atau partai politik. Teori kognisi sosial membantu menjelaskan bagaimana informasi politik diproses dan bagaimana persepsi politik terbentuk. Selain itu, efek pemrosesan informasi selektif menunjukkan kecenderungan individu untuk mencari informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri, yang dapat menguatkan opini politik yang ada. Pengaruh grup sosial juga signifikan, karena norma-norma sosial dalam kelompok-kelompok tertentu dapat mempengaruhi sikap politik.Â
Di Indonesia, banyak para tokoh politik yang menggunakan media sosial sebagai alat komunikasi dengan masyarakat atau pemilih. Dalam melakukan komunikasi ini pun terdapat respons positif dan respon negatif yang diterima oleh tokoh politik tersebut. Ada masyarakat yang menganggap bahwa cara berkomunikasi tokoh politik tersebut informatif, menyenangkan dan menghibur sehingga dapat menambah pengikut atau pemilih tersebut. Namun, di sisi lain ada pula masyarakat yang justru mengkritik tokoh politik tersebut karena dianggap sedang pencitraan dan apa yang dilakukan tokoh politik tersebut hanya mengotori halaman sosial media mereka. Pemilih adalah seluruh pihak yang dipengaruhi dan diyakinkan supaya mendukung dan memberikan pilihannya kepada calon-calon yang terkait.
Antara kedua generasi ini, terdapat perbedaan prioritas isu yang signifikan. Sebagai contoh, Generasi Z mungkin lebih mengutamakan isu-isu seperti perubahan iklim dan ketidaksetaraan sosial, sedangkan Milenial cenderung lebih memusatkan perhatian pada permasalahan seperti perekonomian, alih fungsi lahan, dan kesempatan kerja. Pengalaman ekonomi pribadi juga memiliki potensi untuk mempengaruhi pandangan pemilih. Milenial mungkin lebih terpukul oleh dampak krisis ekonomi global tahun 2008 dan beban utang mahasiswa yang tinggi, sedangkan Generasi Z mungkin mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi COVID-19, yang bisa mempengaruhi cara mereka melihat kebijakan ekonomi dan jaringan keselamatan sosial.Â
Generasi Z sering dikenal karena keterlibatan sosial yang tinggi, terutama melalui media sosial, dengan kecenderungan untuk aktif berbagi pandangan politik mereka dan mendukung kampanye yang dianggap mereka penting. Sementara itu, Milenial juga aktif dalam ranah digital, meskipun mereka mungkin mengusung pendekatan yang sedikit berbeda. Peran media sosial dalam membentuk pandangan politik keduanya menjadi sangat signifikan, karena mereka sering kali terpapar pada berita dan pandangan yang sesuai dengan preferensi politik mereka melalui platform-platform ini, yang dapat mempengaruhi cara mereka membentuk opini politik mereka.
Jika menggali lebih dalam ke dalam "Politica Era: Menilik Kepribadian, Opini, dan Medsos, Bagaimana Perilaku Politik antara Gen Z & Milenial?", kita menemukan kompleksitas lanskap politik yang terus berubah. Perbedaan prioritas isu, pengalaman ekonomi, dan media sosial yang aktif semakin memperkaya diskusi ini. Dengan Generasi Z dan Milenial yang terus mewujudkan potensi kolaboratif mereka melalui platform media sosial dan berpartisipasi dalam isu-isu yang mereka anggap penting, kita harus mengakui bahwa masa depan politik akan lebih bervariasi dan terhubung daripada sebelumnya.
Mengejar solusi untuk tantangan-tantangan yang dihadapi oleh kedua generasi ini, sangat penting untuk tetap memahami bahwa perbedaan dalam opini politik adalah refleksi dari keragaman pemikiran yang kaya di dalam masyarakat kita. Menghormati perbedaan ini sambil terus berkomunikasi dan berkolaborasi akan membantu membangun fondasi yang lebih kuat untuk perubahan dan kemajuan bersama. Semoga pemahaman yang lebih baik tentang perilaku politik antara Generasi Z dan Milenial akan membantu kita semua lebih siap menghadapi masa depan politik yang dinamis ini. Dengan pengetahuan ini, kita dapat memajukan demokrasi dan menciptakan perubahan positif dalam masyarakat kita yang semakin terhubung secara digital.
Article by: Salsabilla Nuranisa Wahyudi, Staff BPPK ILMPI Wilayah IV.
Referensi:
Alfuruqy, M. Z. (2019). Perilaku politik generasi milenial: sebuah studi perilaku memilih (voting behavior) political behavior of the millennial generation a voting behavior study. Jurnal Psikologi Jambi, 04(01), 10--15. https://doi.org/10.22437/jpj.v4i1.8780
Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial jilid 1 edisi kesepuluh. Erlangga
Basuki, U. (2020). Parpol, pemilu, dan demokrasi: Dinamika partai politik dalam system pemilihan umum di Indonesia perspektif demokrasi. Kosmik Hukum, 20(2), 84. https://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/KOSMIK/article/view/8321.Â
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik. Gramedia Pustaka Utama.
Faisal, M. (2021). Buku saku psikologi politik. Penerbit Buku Kompas.
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2021). Perilaku organisasi. Penerbit Salemba.
Sarwono, S. W. (2019). Psikologi sosial edisi 2. Salemba Humanika.
Steg, L., Buunk, P. A., & Rothengatter, T. (2008). Applied social psychology: Understanding and managing social problems. Cambridge University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H