Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian RI Arianti Anaya mewakili Pemerintah menyampaikan bahwa larangan penggunaan minyak ganja ataupun ganja untuk tujuan medis belum dapat dilakukan di Indonesia.
“Dengan demikian, kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya pada saat ini. Meskipun saat ini di Amerika salah satu kandungan, yaitu Kanabidiol dapat memberi efek anti epilepsi dan sudah di approve oleh FBI pada tanggal 28 Juni 2018 dengan nama epidiolex, yaitu gabapentin, asam valproat, dan sebagainya,” urai Arianti.
Masyarakat pun ikut bersimpati sekaligus khawatir terhadap kasus ini. Pasalnya, beberapa tahun lalu ada kasus yang serupa. Fidelis, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat di tangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) karena menanam 39 batang pohon ganja (cannabis sativa) pada 19 Februari 2017 lalu, yang saat itu tengah merawat istrinya, Yeni Riawati.
Sang istri didiagnosa menderita syringomyelia atau tumbuhnya kista berisi cairan (syrinx) di dalam tulang belakang.
Tepat 32 hari setelah Fidelis ditangkap oleh BNN Kabupaten Sanggau, sang istri meninggal dunia. Fidelis dituntut lima bulan penjara dan denda Rp 800 juta subsider satu bulan kurungan. Dia dinilai jaksa terbukti bersalah melanggar pasal 111 ayat 1 UU Narkotika.
Masyarakat khawatir, dan teringat kembali karena kasus Pika.
“Jadi keinget lagi sama yg di Kalimantan. Suaminya ditahan krn nanem ganja, pdhl ganjanya itu untuk pengobatan istrinya. Suaminya ditahan, istrinya meninggal. Sedih bgt.” komentar @luwakwhitexofee di dalam utas @andienaisyah.