Pada tanggal 28/3/2023 Komunitas Gusdurian mengadakan kegiatan Cangkrukan Spesial Ramadhan di Vihara Karangdjati Yogyakarta dari jam 15.30 -- 19.30. Â Kegiatan tersebut dihadiri sekitar 40 tamu undangan dari komunitas yang berbeda-beda. Adapun rangkaian acaranya terdiri dari 3 sesi di antaranya; sesi diskusi, berbuka puasa, dan foto bersama.
Kegiatan yang bertujuan untuk memupuk tali silaturahim umat beragama ini menjadi kegiatan rutin yang diadakan oleh Komunitas Gusdurian setiap Ramadhan. Yang menarik dari kegiatan ini adalah ketika orang-orang dari latar belakang agama yang beragam duduk dan saling berdiskusi terkait Agama & Demokrasi, sesuai dengan tema kegiatan tersebut.
Ketika mengikuti kegiatan ini saya sangat terkesan dengan cara umat Buddha di Vihara Karangdjati dalam menyambut tamu yang hadir. Apalagi saat jam menunjukkan waktu berbuka, teman-teman dari agama Buddha menyuguhkan teh hangat juga buah kurma yang menjadi ciri khas berbuka umat Muslim timur tengah. Tentunya kami umat Muslim merasa dihargai dan dihormati. Selain itu, teman-teman dari agama lain Katolik misalnya mencicipi buah kurma. Bagi sebagian mereka ada yang kurang suka dengan buah kurma karena rasanya yang sedikit terlalu manis.Â
Walau demikian, kami tetap menikmati hidangan yang disajikan oleh teman-teman Buddha. Setelah melalui rangkaian acara tersebut, saya berkesempatan untuk berbincang dengan Ketua Vihara Karangdjati yaitu Bapak  Pdm. Totok Tejamanu, dimana saya bertanya beberapa hal mengenai agama Buddha seperti makna dari warna yang ada pada bendera agama tersebut. " Ada 5 warna pada bendera; Biru melambangkan bakti kita kepada agama Buddha, Kuning melambangkan kebijaksanaan, Merah melambangkan cinta kasih, Putih seperti yang kita ketahui sebagai kesucian, dan Jingga sebagai semangat umat Buddha". Jelas Pak Totok, panggilan akrabnya.
Bagaimana Rasanya Bisa Berkumpul dengan Kawan yang Beragam? Dan Apa Maknanya Bagi Kehidupan Anak Muda di Indonesia?
Berkumpul dengan teman-teman yang memiliki latar belakang yang beragam bukanlah hal yang "aneh" bagi saya. Mengingat dulu ketika kecil, saya lahir dan tumbuh di lingkungan yang multi religion membuat saya cukup terbuka dan menerima adanya perbedaan.Â
Menurut saya, dengan berkumpul dengan teman-teman yang berbeda akan membantu kita dalam belajar open minded dan critical thingking dalam melihat perbedaan itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Kak Ruwaidah yang menjadi pengisi acara pada sesi diskusi tersebut, ia mengatakan bahwa "momen berbuka puasa bersama di rumah ibadah warga agama yang berbeda agama dengan kita tentu saja memberikan kesan yang berbeda juga.Â
Kenapa demikian? Karena biasanya orang islam berbuka puasa di rumah dengan keluarga atau setidaknya di masjid. Bagi kami mahasiswa rantau sangat mengapresiasi inisiatif komunitas lintas iman yang menggagas buka puasa bersama di vihara. Pertama, kita tidak hanya menunaikan ibadah personal yaitu puasa tetapi juga menunaikan ibadah sosial yaitu mempererat persaudaran dengan orang yabg bebrbeda agama. dan yang kedua, kami orang islam bisa punya pengalaman melihat dan merasakan suasana vihara." Jelas Ruwaidah, salah satu narasumber Cangkrukan yang hadir mewakili Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia.
Kita dapat maknai bersama bahwa berkumpul dengan teman-teman yang memiliki latar belakang yang berbeda dapat membentuk karakter diri pada anak muda di Indonesia. Selain itu, kegiatan ini memberikan banyak dampak positif di antaranya;
Menumbuhkan serta mengembangkan nilai-nilai toleransi antar agama yang kian hari kian memudar.
- Belajar terbuka dan menerima perbedaan.
- Menjalin dan meperkuat ukhuwah antar umat agama.
- Optimis dalam merawat kebhinnekaan.
Apa yang Bisa Direfleksikan dari Sosok Gus Dur Melalui Momen tersebut?
Berdasarkan uraian di atas kita bisa melihat orang muda menghidupkan spirit Gus Dur. Jika kegiatan tersebut terus digiatkan dan melibatkan banyak orang, maka saya sangat optimis ke depannya anak muda akan memiliki mental yang sangat kuat serta kontrol diri dan emosi yang tidak akan mudah terprovokasi oleh kelompok tertentu. Sebab sejak dini remaja sudah belajar bagaimana bersikap terbuka dan menerima perbedaan yang ada. Gus Dur pernah mengatakan bahwa, "Memuliakan manusia, berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya."
Bahasan tentang Agama dan Demokrasi bukanlah sesuatu yang asing dan tabu bagi orang muda, menurut Jay Akhmad, narasumber dari Gusdurian, adalah sebuah keniscayaan bagi warga dan masyarakat Indonesia yang majemuk membahas tentang dua hal itu. Merujuk pada tulisan Gus Dur tentang Agama dan Demokrasi, menariknya Gus Dur selain menjelaskan secara rinci bagaimana perjuangan para agamawan tentang Demokratisasi melalui peran-peran mereka, Gus Dur juga mempertanyakan di akhir tulisannya apakah posisi Agama dan Demokrasi di Indonesia mampu move on dari posisinya yang abu-abu?
Ya, persoalan demokrasi di Indonesia memang masih akan melewati jalan panjang. Merujuk idealism Gus Dur, demokrasi adalah sebuah proses. Tidak banyak orang-orang di Indonesia yang memiliki komitmen yang kuat tentang praktik politik berdemokrasi. Semuanya masih teperangkap dalam praktik politik yang berorientasi pada kekuasaan, belum kepada kemaslahatan umat. Persoalan agama, kemiskinan, korupsi, dan kemanusiaan, masih berada di titik nadir. Kita masih membutuhkan lebih banyak suara untuk kesadaran berdemokrasi di Indonesia. Semua itu memang tidak mudah, tetapi jalan pendidikan berdemokrasi adalah salah satu upaya. Apatah lagi bila diupayakan oleh kelompok lintas iman. Basis gerakan lintas iman sangatlah strategis dalam urusan demokrasi, sebab isu kebebasan beragama, kesetaraan, dan kemanusiaan adalah topik-topik hangat yang terus didiskusikan dan dikembangkan oleh gerakan lintas iman. Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H