Gunung Tambora merupakan gunung berapi kerucut aktif dengan ketinggian awal sekitar 4.300 mdpl. Terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Gunung ini terletak di dua kabupaten yaitu kabupaten Dompu yang mencakup lereng bagian barat dan selatan dan kabupaten Bima yang mencakup lereng bagian timur dan utara.
Pada tahun 1815 Tambora meletus, dan menjadi letusan pertama dan yang terakhir kalinya. Setelah memuntahkan isi perutnya, Tambora kehilangan setengah dari bagian tubuhnya hingga menyisakan ketinggian pada 2.851 mdpl. Letusan Tambora merupakan salah satu peristiwa alam terdahsyat di dunia.
Rangkaian letusan berlangsung dalam waktu lama. Kekuatan letusan bahkan sepuluh kali lebih kuat dari ledakan bom atom di Hiroshima, Jepang kala Perang Dunia II.
Tambora terletak pada posisi geografis 8o 15' lintang Selatan dan 118o 00' bujur Timur. Tingginya di atas muka laut 2.851 meter. Tambora masuk dalam tipe gunung api Strato dengan kalderanya bergaris tengah 6 km dan dalamnya 600-700 meter. Bagian dasar kaldera sebelah barat laut lebih tinggi dari yang lain, yang tertinggi sebelah utara ditutupi oleh rerumputan dan semak belukar.
Di bagian terendah sebelah timur terdapat danau berukuran 800 x 200 meter, dalamnya 15 meter. Doro Afi To'i (Gunung Api Kecil) yang terdapat pada dasar kaldera sebelah barat daya kawahnya berdiameter 100 meter, tinggi dindingnya 60 meter.
Lava yang keluar dari sini berbentuk lidah mengalir ke arah timur laut sepanjang 350 meter. Dekat dinding kaldera sebelah selatan terlihat sisa kawah sekunder lainnya. Bukit kecil pada dasar kaldera mungkin kubah lava yang ditutupi pasir.
Pennekoek van Rheden membagi kegiatan Gunung Tambora dalam tiga fase. Pertama, kegiatan dengan aliran lava yang keluar dari kawah pusat pada puncaknya.
Fase kegiatan ini membentuk gunung api perisai atau aspit. Tingginya 1800 meter, volumenya 600 km3. Kedua, ketinggian lebih banyak bersifat eksplosif. Bahan lepas bergantian dengan aliran lava tipis. Fase kegiatan ini membangun gunung api strato menutupi puncak aspit.
Pada lereng timur, tenggara, selatan dan barat daya bermunculan kerucut gunung api, parasit yang terbentuknya selama fase ini. Gunung api ini tingginya 4.300 meter (Zollinger, 1985), volumenya 650 km3. Ketiga, letusannya bersifat eksplosif menghancurkan bagian puncaknya. Fase ketiga dari kegiatan Gunung Tambora ini adalah letusan maha hebat pada 1815 dengan pembentukan kaldera.
Tiga tahun sebelum letusan, asap tebal dan kental dari kawahnya tampak untuk pertama kalinya (Zollinger, 1855). Penduduk Sanggar (nama wilayah didekat Tambora) melihatnya, pada beberapa minggu dan bulan berikutnya asap bertambah tebal dan hitam. Berkali-kali terdengar suara gemuruh, pada mulanya suara tersebut lemah kemudian berangsur-angsur menjadi keras.
Menurut Petroeschevsky (1949), 1812 dan mungkin tahun-tahun sebelumnya adalah permulaan peningkatan solfataranya setelah istirahat lama.
Letusan mulai pada 5 April 1815 dengan suara letusan seperti guruh, terdengar sampai Jakarta (1.250 km) dan Ternate (1.400 km). hujan abu pertama jatuh di Besuki, Jawa Timur.
Letusan mencapai paroksisma pada 10 April, dan berakhir pada 12 April. Selanjutnya diikuti fase akhir sampai 15 Juli 1815. Hingga Agustus 1819 masih terdengar suara gemuruh yang kuat, terasa gempa bumi dan terlihat bara api.
Pada 10 dan 11 April 1815, dentuman letusan paroksisma ini terdengar sampai Pulau Bangka (1.500 km) dan Bengkulu (1.775 km). gempa bumi yang terjadi bersamaan dengan letusan tersebut terasa sampai ke Surabaya (600 km). Di Besuki gelombang pasang sampai 6 kaki tingginya.
Asap abu sangat tebal dan banyak, sehingga Pulau Madura (500 km) seluruhnya gelap selama tiga hari. Batu berdiameter 2 sampai 15 cm berjatuhan sejauh 40 km dari puncak.
Gempa bumi yang kuat dan gelombang pasang yang terjadi, kata Petroeschevsky, disebabkan karena ambruknya bagian puncak gunung dalam pembentukan kalderanya. Karena letusan ini, 3 kerajaan di sekitar Gunung Tambora ikut musnah, diantaranya Kerajaan Tambora, Kerajaan Sanggar, dan Kerajaan Pekat.
Jumlah korban manusia yang langsung diakibatkan oleh letusan mencapai 10.000 jiwa. Akibat letusan juga, banyak korban jiwa yang mengalami kelaparan dan penyakit yakni 38.000 orang di Sumbawa dan 44.000 orang di Lombok. Jumlah korban manusia seluruhnya mencapai 92.000 jiwa.
Peristiwa kelam tersebut terekam dalam sejarah manusia sebagai salah satu letusan terdahsyat yang pernah terjadi di muka bumi dan yang tak terlupakan bagi masyarakat Bima-Dompu dan sekitarnya. Letusan dahsyat Tambora yang pertama dan yang terakhir itu dikenang dalam sebuah Festival Budaya pada tanggal 10 April 2015 yang bertepatan dengan 2 abad meletusnya Gunung Tambora dengan tajuk "Tambora Menyapa Dunia."
Festival yang berlokasi di halaman Museum Asi Mbojo tersebut memamerkan benda-benda artefak yang ditemukan pasca meletusnya Gunung Tambora. Tak hanya itu, banyak seniman juga yang memamerkan hasil karya tangannya berupa lukisan, miniatur, hingga kain tenun khas Bima-Dompu.
Festival yang sangat besar serta meriah ini diprakarsai oleh Presiden Jokowi, bahkan beliau meminta agar festival ini setiap tahunnya dijadikan momentum untuk mempromosikan pariwisata yang ada di Bima, Dompu, maupun di Nusa Tenggara Barat.
Nyatanya banyak turis dari luar NTB bahkan luar negeri yang berdatangan hanya untuk menyaksikan Festival Budaya "Tambora Menyapa Dunia."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H