Menurut Petroeschevsky (1949), 1812 dan mungkin tahun-tahun sebelumnya adalah permulaan peningkatan solfataranya setelah istirahat lama.
Letusan mulai pada 5 April 1815 dengan suara letusan seperti guruh, terdengar sampai Jakarta (1.250 km) dan Ternate (1.400 km). hujan abu pertama jatuh di Besuki, Jawa Timur.
Letusan mencapai paroksisma pada 10 April, dan berakhir pada 12 April. Selanjutnya diikuti fase akhir sampai 15 Juli 1815. Hingga Agustus 1819 masih terdengar suara gemuruh yang kuat, terasa gempa bumi dan terlihat bara api.
Pada 10 dan 11 April 1815, dentuman letusan paroksisma ini terdengar sampai Pulau Bangka (1.500 km) dan Bengkulu (1.775 km). gempa bumi yang terjadi bersamaan dengan letusan tersebut terasa sampai ke Surabaya (600 km). Di Besuki gelombang pasang sampai 6 kaki tingginya.
Asap abu sangat tebal dan banyak, sehingga Pulau Madura (500 km) seluruhnya gelap selama tiga hari. Batu berdiameter 2 sampai 15 cm berjatuhan sejauh 40 km dari puncak.
Gempa bumi yang kuat dan gelombang pasang yang terjadi, kata Petroeschevsky, disebabkan karena ambruknya bagian puncak gunung dalam pembentukan kalderanya. Karena letusan ini, 3 kerajaan di sekitar Gunung Tambora ikut musnah, diantaranya Kerajaan Tambora, Kerajaan Sanggar, dan Kerajaan Pekat.
Jumlah korban manusia yang langsung diakibatkan oleh letusan mencapai 10.000 jiwa. Akibat letusan juga, banyak korban jiwa yang mengalami kelaparan dan penyakit yakni 38.000 orang di Sumbawa dan 44.000 orang di Lombok. Jumlah korban manusia seluruhnya mencapai 92.000 jiwa.
Peristiwa kelam tersebut terekam dalam sejarah manusia sebagai salah satu letusan terdahsyat yang pernah terjadi di muka bumi dan yang tak terlupakan bagi masyarakat Bima-Dompu dan sekitarnya. Letusan dahsyat Tambora yang pertama dan yang terakhir itu dikenang dalam sebuah Festival Budaya pada tanggal 10 April 2015 yang bertepatan dengan 2 abad meletusnya Gunung Tambora dengan tajuk "Tambora Menyapa Dunia."
Festival yang berlokasi di halaman Museum Asi Mbojo tersebut memamerkan benda-benda artefak yang ditemukan pasca meletusnya Gunung Tambora. Tak hanya itu, banyak seniman juga yang memamerkan hasil karya tangannya berupa lukisan, miniatur, hingga kain tenun khas Bima-Dompu.
Festival yang sangat besar serta meriah ini diprakarsai oleh Presiden Jokowi, bahkan beliau meminta agar festival ini setiap tahunnya dijadikan momentum untuk mempromosikan pariwisata yang ada di Bima, Dompu, maupun di Nusa Tenggara Barat.