Mohon tunggu...
Salsabila Sifa
Salsabila Sifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjaga Kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan Melalui Kombinasi Diplomasi dan Pertahanan

25 Mei 2024   18:44 Diperbarui: 25 Mei 2024   18:56 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Laut Cina Selatan (LCS) adalah wilayah yang berbatasan dengan Taiwan di sebelah utara, negara-negara Asia Tenggara di sebelah barat, Filipina di sebelah timur, dan Indonesia di sebelah selatan.[1] Lokasi yang strategis dan sumber daya alam yang kaya telah membuat wilayah ini menjadi sengketa beberapa negara. Sengketa ini bermula dari klaim sepihak Tiongkok atas kedaulatan di sebagian besar wilayah LCS berdasarkan klaim historis yang diwakili oleh nine-dash line. Sementara negara-negara lain, termasuk Indonesia, menggunakan UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagai dasar geografisnya. [2] Dampak dari klaim sepihak Tiongkok tersebut, membuat Indonesia menghadapi tantangan serius terhadap kedaulatan atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Natuna. Seiring dengan meningkatnya ketegangan, Indonesia menerapkan strategi yang menggabungkan diplomasi dan pertahanan.

Sebagai negara yang menganut prinsip bebas aktif, Indonesia selalu mengedepankan diplomasi dalam penanganan sengketa di LCS. Pendekatan ini terlihat dari peran aktif Indonesia dalam mendorong lahirnya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) yang bertujuan untuk mendorong negara-negara yang terlibat dalam sengketa untuk berkomitmen pada perilaku bertanggung jawab dan tidak provokatif.[3] Selain itu, Indonesia juga merupakan pendukung utama dalam pembentukan  Code of Conduct (CoC) yang diharapkan dapat memberikan kerangka kerja yang lebih kuat dan mengikat bagi semua pihak untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat memperburuk ketegangan regional dan memicu konflik.[4]

Dalam konteks bilateral, Indonesia terus melakukan dialog dengan Tiongkok untuk mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Indonesia secara rutin mengirimkan nota protes kepada Tiongkok sebagai tanggapan atas perilaku ilegal kapal nelayan dan kapal penjaga pantai Tiongkok di perairan Natuna. Nota protes tersebut menyampaikan ketidaksetujuan Indonesia terhadap klaim Tiongkok atas wilayah Natuna Utara berdasarkan nine-dash line, dan menegaskan bahwa Tiongkok telah melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.[5] 

Namun, diplomasi saja tidak cukup untuk menghadapi tantangan yang kompleks dan serius di LCS. Indonesia melakukan pendekatan yang lebih komprehensif untuk memperkuat kemampuan pertahanan, khususnya di wilayah Natuna. Langkah ini diambil sebagai tanggapan atas berbagai insiden kapal nelayan dan kapal penjaga pantai Tiongkok yang memasuki memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia secara ilegal. Menanggapi situasi tersebut, TNI AL dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) meningkatkan frekuensi patroli dan operasi di wilayah tersebut.[6] Selain itu, peningkatan kemampuan pertahanan juga mencakup latihan militer rutin yang melibatkan berbagai satuan TNI dari berbagai unit.[7] Latihan-latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan tempur, koordinasi antar unit, dan kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjadinya konflik di LCS. Dengan demikian, setiap prajurit yang berada di lapangan memiliki pemahaman yang mendalam mengenai taktik dan strategi yang diperlukan untuk melindungi wilayah perairan Indonesia.

Dalam menangani sengketa Laut Cina Selatan, strategi Indonesia terletak pada diplomasi dan kerja sama pertahanan yang harmonis. Diplomasi yang kuat dan efektif perlu didukung oleh pertahanan yang tangguh, dan pertahanan yang tangguh membutuhkan kerangka kerja diplomatik yang dapat mengatasi ketegangan dan membangun kepercayaan. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk menunjukkan komitmennya terhadap perdamaian dan stabilitas regional sekaligus menjaga kedaulatan nasional.

Pelaksanaan strategi ini mengandalkan kemampuan Indonesia untuk terus menyeimbangkan kekuatan diplomasi dan pertahanan. Komunikasi yang efektif antara berbagai lembaga pemerintah di sektor luar negeri dan pertahanan merupakan inti dari strategi ini. Adanya koordinasi yang baik dapat menjamin pelaksanaan strategi diplomasi dan pertahanan saling memperkuat dan mendukung antara satu sama lain. Koordinasi diplomasi dan pertahanan yang efektif dalam jangka panjang tidak hanya akan membantu Indonesia mempertahankan kedaulatannya, tetapi juga membantu Indonesia memainkan peran yang lebih besar dalam perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara.

REFERENSI

[1] Schofield, C. (2016). Untangling A Complex Web: Understanding Competing Maritime Claims In The South China Sea. Dalam I. Storey & C.-Y. Lin (Eds.), The South China Sea dispute: Navigating diplomatic and strategic tensions. Singapore: ISEAS Yusof Ishak Institute.

[2][5] Indonesia.go.id. (2020). Sengketa DI KAWASAN Laut Natuna Utara. https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/politik/sengketa-di-kawasan-laut-natuna-utara

[3] Utama, F. (2020). Bakamla: Jika Perang Terbuka Terjadi Di Laut China Selatan, Wilayah Natuna Hancur. https://www.inews.id/news/nasional/bakamla-jika-perang-terbuka-terjadi-di-laut-china-selatan-wilayah-natuna-hancur

[4] Toruan, G. T. L. (2020). Peran Strategis Indonesia Dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan Dalam Perspektif Stabilitas Keamanan Regional. Jurnal Keamanan Nasional, 6(1).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun