Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di Indonesia telah menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Kebijakan ini, yang diterbitkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, memotong gaji pekerja sebagai kontribusi untuk Tapera.
Berikut adalah beberapa tanggapan pro dan kontra terkait kebijakan ini:
- Pro Kebijakan Tapera
Dukungan dari Pemerintah dan Pakar
Wakil Ketua DPR RI, Abdul Muhaimin Iskandar, menekankan pentingnya transparansi dan keadilan dalam penerapan kebijakan Tapera. Menurutnya, pemerintah harus memberikan penjelasan rinci mengenai penerapan kebijakan ini agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.Â
Suryadi Jaya Purnama, anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, mengemukakan bahwa aturan baru Tapera akan berdampak luas, terutama bagi golongan menengah yang sudah memiliki rumah. Ia menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan bantuan untuk golongan ini agar dapat membeli properti produktif seperti ruko, guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Manfaat Ekonomi
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faisal, mengatakan kebijakan Tapera menjadi solusi persoalan masyarakat yang tidak punya rumah karena pemasukan atau pendapatan terbatas. Kebijakan ini akan memaksa pekerja dengan sistem iuran untuk memudahkan mereka mendapatkan rumah.Â
Fithra juga menambahkan bahwa aturan yang ditetapkan pada 20 Mei 2024 ini, dinilai mampu menghasilkan efek dampak ganda bagi ekonomi yang meliputi penciptaan lapangan kerja, penggunaan input produksi sehingga bermuara pada sumbangan pertumbuhan ekonomi.
Dukungan dari Mantan Wakil Presiden
Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mendukung kebijakan Tapera. Menurutnya, Tapera dapat membantu masyarakat kurang mampu atau yang berpenghasilan rendah memiliki rumah dengan harga terjangkau. "Pemerintah menghidupkan kembali Tapera, agar masyarakat memiliki rumah," kata Jusuf Kalla.
- Kontra Kebijakan Tapera
Penolakan dari Apindo dan Serikat Pekerja
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dengan tegas menolak kebijakan pemotongan upah pekerja swasta untuk Tapera. Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menyoroti beban yang sudah tinggi akibat iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar, penambahan beban melalui Tapera dianggap tidak bijaksana.Â
Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit (FSP TSK SPSI) juga menolak kebijakan Tapera. Ketua Umum FSP TSK SPSI, Roy Jinto, meminta pemerintah untuk membatalkan dan mencabut PP Nomor 21 Tahun 2024. Menurutnya, kebijakan ini tidak adil dan hanya menambah beban bagi pekerja dan pengusaha.
Kritik dari Konfederasi Serikat Pekerja
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) di bawah pimpinan Jumhur Hidayat mengkritik kebijakan Tapera. Menurutnya, kebijakan ini memaksa buruh dan pengusaha untuk menyetorkan iuran yang akan mengendap hingga usia 58 tahun. Hal ini dianggap merugikan karena dana tersebut digunakan untuk investasi yang tidak jelas manfaatnya bagi buruh.
Kekhawatiran Pengelolaan Dana
Tri Susilo, aktivis buruh dari Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia (FPSBI) Lampung, mengungkap kekhawatiran soal pengelolaan dana jangka panjang Tapera. Ia menanyakan apakah uang iuran pekerja akan lari ke mana dan apakah dana tersebut akan dikorupsi.
Kebijakan Tapera di Indonesia telah menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Sementara beberapa pihak mendukung kebijakan ini sebagai solusi untuk masyarakat kurang mampu memiliki rumah, lainnya menolak kebijakan ini karena dianggap menambah beban yang sudah berat. Untuk mengatasi kekhawatiran dan kritik, pemerintah perlu memberikan penjelasan rinci mengenai penerapan kebijakan ini dan memastikan kebijakan ini tidak memberatkan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H