Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dengan tegas menolak kebijakan pemotongan upah pekerja swasta untuk Tapera. Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menyoroti beban yang sudah tinggi akibat iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar, penambahan beban melalui Tapera dianggap tidak bijaksana.Â
Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit (FSP TSK SPSI) juga menolak kebijakan Tapera. Ketua Umum FSP TSK SPSI, Roy Jinto, meminta pemerintah untuk membatalkan dan mencabut PP Nomor 21 Tahun 2024. Menurutnya, kebijakan ini tidak adil dan hanya menambah beban bagi pekerja dan pengusaha.
Kritik dari Konfederasi Serikat Pekerja
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) di bawah pimpinan Jumhur Hidayat mengkritik kebijakan Tapera. Menurutnya, kebijakan ini memaksa buruh dan pengusaha untuk menyetorkan iuran yang akan mengendap hingga usia 58 tahun. Hal ini dianggap merugikan karena dana tersebut digunakan untuk investasi yang tidak jelas manfaatnya bagi buruh.
Kekhawatiran Pengelolaan Dana
Tri Susilo, aktivis buruh dari Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia (FPSBI) Lampung, mengungkap kekhawatiran soal pengelolaan dana jangka panjang Tapera. Ia menanyakan apakah uang iuran pekerja akan lari ke mana dan apakah dana tersebut akan dikorupsi.
Kebijakan Tapera di Indonesia telah menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Sementara beberapa pihak mendukung kebijakan ini sebagai solusi untuk masyarakat kurang mampu memiliki rumah, lainnya menolak kebijakan ini karena dianggap menambah beban yang sudah berat. Untuk mengatasi kekhawatiran dan kritik, pemerintah perlu memberikan penjelasan rinci mengenai penerapan kebijakan ini dan memastikan kebijakan ini tidak memberatkan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H