Mohon tunggu...
Salsabila Pragita
Salsabila Pragita Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

————

Selanjutnya

Tutup

Film

Kritik Film 99 Cahaya di Langit Eropa (2013)

10 Maret 2021   00:59 Diperbarui: 10 Maret 2021   01:05 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pergilah, jelajahi dunia, lihatlah dan carilah kebenaran dan rahasia-rahasia hidup, niscaya jalan apapun yang kau pilih akan mengantarkanmu menuju titik awal. Sumber kebenaran dan rahasia hidup akan kau temukan di titik nol perjalananmu. Perjalanan panjangmu tidak akan mengantarkanmu ke ujung jalan, justru membawamu kembali ke titik permulaan. (99 Cahaya di Langit Eropa)

Hanum Salsabiela Rais (Acha Septriasa) sepertinya tak memiliki pilihan lain selain menetap di Wina, Austria, demi mendampingi sang suami, Rangga Almahendra (Abimana Aryasatya) yang tengah menempuh studi S3-nya di Vienna University. Bosan yang Hanum rasakan selama menatap di negeri orang, membawanya pada pertemua tak terduga dengan Fatma Pasha (Raline Shah), wanita muslim asal Turki, teman sekelasnya di kelas kursus bahasa Jerman yang dengan berani menggunakan hijab di antara masyarakat yang mayoritas beragama Katolik. Pertemuan inilah yang menjadi awal mula persahabatan mereka, serta penjelajahan mereka menapaki jejak-jejak peradaban Islam di Eropa.

Eropa dengan segala hal eksotis yang dimilikinya mereka telah berhasil memukau banyak orang di seluruh dunia. Namun semua hal itu tak dapat dilepaskan dari kemegahan sejarah peradaban Islam yang menyertainya. Melalui penjelajahan tokoh Hanum, film ini mencoba menggambarkan hal tersebut. Penonton seolah turut serta dalam semua perjalanan yang dilakukannya. Salah satunya adalah ketika ia berkunjung ke Museum Louvre di Paris, museum yang menyimpan banyak karya seniman tersohor, seperti lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci. Saat Marion Latimer (Dewi Sandra) menanyainya tentang "kejanggalan" yang nampak pada lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus, penonton turut merasakan haru yang Hanum rasakan ketika didapatinya lafadz "Laa ilaaha illallah" tertulis pada kain kerudung yang dikenakan oleh Bunda Maria.

Film garapan Guntur Soeharjnto ini benar-benar menawarkan cerita yang berbeda dari film kebanyakan. Kisah sejarah peradaban Islam di Eropa yang diulas dengan begitu apik membuat film ini bukan saja hanya menjadi sarana penghibur, melainkan juga sebagai sarana pembelajaran. Film ini juga mencoba menyampaikan banyak pesan moral kepada para penontonnya, salah satunya adalah mengenai Islam sebagai sebagai pembawa kedamaian. Melalui sosok Fatma Pasha, penonton diharapkan untuk menjadi agen muslim sejati, seorang agen muslim yang terbaik, selalu tersenyum, menolong sesama, serta membawa kedamaian bagi siapapun, termasuk mereka yang tidak beragama Islam.

Fatma Pasha juga memberikan pengajaran untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan pula, melainkan dengan lawannya, yaitu kebaikan. Ini ditunjukkan pada salah satu adegan di mana seseorang menghina bendera Turki, tanah kelahirannya, dan menyamakannya dengan roti croissant. Namun alih-alih tersinggung atau marah, Fatma justru membalasnya dengan membayar makanan yang dipesan orang tersebut, dan memberinya catatan ajakan pertemanan. Meski terlihat sederhana, namun pada kenyataannya, hal-hal seperti ini sangat sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Maka, sangat penting untuk mengambil sikap seperti apa yang dilakukan oleh Fatma.

Cerita yang menarik dan pelajaran moral yang terkandung, film rilisan Maxima Pictures ini juga menyuguhkan akting ciamik dari para pemerannya. Acha Septriasa dan Abimana Aryasatya dapat membawakan sosok Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dengan begitu apik. Begitu pun dengan Ralin Shah yang berhasil menghidupkan karakter Fatma Pasha, sosok wanita lembut yang kaya ilmu pengetahuan. Aktor dan aktris lain seperti Alex Abbad pemeran Khan, pria Pakistan teman kuliah Rangga; Nino Fernandez yang memerankan Stefan, seorang ateis yang juga merupakan  teman kuliah Rangga; dan Marissa Nasution yang memerankan Maarja, juga berhasil membawakan karakter yang mereka perankan dengan baik.

Hanya saja dalam film ini, terdapat inkonsistensi penggunaan bahasa bagi para pemerannya. Dalam film ini, tidak dijelaskan bagaimana bisa tokoh-tokoh asing seperti Fatma Pasha dan putrinya Ayse Pasha (Turki), Khan (Pakistan), Marion Latimer (Prancis), serta Maarja  dan Stefan dapat berbahasa Indonesia dengan fasih. Meskipun begitu, film ini tetap menjadi film yang tak bisa dilewatkan dan sangat direkomendasikan untuk ditonton. 

Salsabila Pragita / XII MIPA 3 / SMA Negeri 1 Padalarang 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun