Mohon tunggu...
Salsabila Naqiyyah
Salsabila Naqiyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa yang memiliki ketertarikan dalam tulisan sastra, desain grafis, dan hiburan seperti film atau lagu.

Selanjutnya

Tutup

Book

Perempuan dan Agama dalam Novel "Saman" Karya Ayu Utami

29 Juni 2024   13:29 Diperbarui: 29 Juni 2024   13:51 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saman merupakan novel yang mengangkat nama Ayu Utami sebagai sastrawan. Dilansir dari Ensiklopedia Sastra Indonesia oleh Kemdikbud.co.id, Novel Saman (1998) berhasil menjadi Pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998. Selain itu, novel ini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa asing yakni Belanda dan Inggris. Dan tentu penghargaan dan kepopuleran Saman di masa itu bahkan sampai masa sekarang bukan tanpa sebab.

Seperti NH. Dini, Ayu Utami juga memberikan dobrakan baru dalam dunia sastra terutama sastra yang ditulis oleh perempuan yang kemudian memunculkan penulis-penulis perempuan lainnya dengan mengangkat tema serupa seperti Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, dan lain-lain. Dengan Saman, Ayu Utami menerobos 'batasan-batasan' norma dalam menulis baik dari topik atau tema yang diambil sampai bagaimana ia memilih penggunaan bahasa dalam menulisnya. Ayu Utami menulis apa adanya seperti tanpa ada yang perlu diperhalus. Saya setuju dengan pendapat Y.B. Mangunwijaya yang ada pada halaman sampul buku ini bahwa karya Ayu Utami yang satu ini hanya bisa dinikmati oleh para pembaca yang sudah 'amat' dewasa. Bukan hanya karena kevulgaran bahasa yang digunakan tapi juga tema yang diangkat Ayu Utami dalam novel Saman ini.

Ayu Utami menggabungkan suasana peristiwa tahun 98, hilangnya kepercayaan pada agama, politik, perselingkuhan, pembicaraan tentang seks, sampai kejadian mistis menjadi satu tulisan dalam novel ini tanpa terasa aneh ketika membacanya. Ketika membicarakan perempuan, sedihnya, seringkali menyangkut patriarki yang menjadi induk dari lahirnya ketidakadilan gender. Ayu Utami menyuarakan protes terhadap sistem tersebut lewat tokoh perempuan dalam novel ini, yakni Laila, Yasmin, Shakuntala, dan Cok. Keempatnya merupakan perempuan dan sudah bekerja. Dengan itu Ayu Utami menunjukkan bahwa sama seperti laki-laki, perempuan sendiri juga bisa bekerja. Hal ini sudah sepatutnya menjadi sesuatu yang umum diketahui banyak orang. Shakuntala menjadi salah satu medium Ayu Utami dalam menyuarakan ketidakadilan pada perempuan dengan lebih spesifik.

Keharusan perempuan untuk menjaga dengan baik dan hati-hati kesuciannya yang dalam hal ini disebut dengan keperawanan dianggapnya tak adil. Sebab mengapa hanya perempuan yang diminta untuk menjaga kesuciannya? Kenapa perempuan dianggap sebagai porselen yang bila rusak tak akan ada yang mau menerimanya? Sedang lelaki diibaratkan sebagai gading, yang mana kita tahu kalau gading sendiri tak ada yang mulus seperti porselen tapi masyarakat akan tetap menerimanya. Ayu Utami sudah pasti menulis ini dengan berkaca pada lingkungannya.

Bahkan sampai saat ini saya rasa akan tetap ada orang yang mengagung-agungkan keperawanan perempuan yang hanya ditandai dengan selaput dara super tipis dan bila selaput dara seorang perempuan sudah tidak ada, disebutnya lah ia perempuan yang tak benar. Selain itu, Ayu Utami juga menyampaikan seks dalam perspektif perempuan lewat keempat sahabat tadi. Kecuali Yasmin, ketiganya tak menganggap kalau seks merupakan sesuatu yang bisa didapatkan kapan saja dan dengan siapa saja. Jadi tak semua perempuan menganggap bahwa seks adalah suatu hal yang dilakukan atas dasar cinta dan untuk cinta.

Dikutip dari wawancaranya dengan DW.com (Deutsche Welle), Ayu Utami menyebutkan bahwa tulisan-tulisannya memang mengajak orang untuk melihat bahwa seksualitas tidak bisa disederhanakan begitu saja, karena itu novel-novel Ayu Utami menampilkan karakter-karakter yang punya preferensi seksual berbeda-beda. Dilihat dari latar waktu dibuatnya novel ini, hal seperti itu tentu lah suatu hal yang tabu. "Yasmin percaya bahwa pria bisa mencintai tanpa seks. Tentu saja, kujawab, tapi pada anak atau anjing sendiri." (Utami, 2013:131). Ayu Utami dengan ini beranggapan bahwa seorang perempuan juga tentu bisa merasakan dan menilai apa yang mereka rasakan bukan hanya sebagai 'alat' yang dipakai.

Kebebasan para tokoh perempuan terhadap tubuhnya sendiri dan apa yang bisa mereka lakukan dengan tubuhnya menurut saya berhasil disampaikan dengan tepat oleh Ayu Utami. Karena tradisi, masih ada sebagian perempuan yang entah kenapa merasa tak leluasa dan berdosa pada tubuhnya sendiri bahkan hanya untuk menyebutnya. Dengan ini Ayu Utami juga menyampaikan bahwa bukan sebuah masalah besar kalau kita sebagai perempuan tahu tentang semua yang berkaitan dengan diri kita termasuk tubuh dan bagaimana merawat serta mendapat kenikmatan darinya. Tak semua perempuan akan selamanya melekat pada stereotip kesucian, kelembutan, dan kepolosan. Lainnya adalah perihal agama yang dalam novel Saman ini merupakan agama Katolik. Terlebih agama Katolik di Indonesia. Pada latar waktu kejadian novel ini, Ayu Utami mengkritik tentang bagaimana gereja di Indonesia masih terlibat dengan politik.

Dari DW.com, Ayu Utami sendiri mengaku bahwa Injil telah membawa perubahan dalam hidupnya. Saat ditanya apakah ia percaya akan adanya Tuhan, Ayu Utami menjawab bahwa ia percaya pada sesuatu yang tidak kita ketahui; orang menyebutnya Tuhan dan Ayu Utami beranggapan bahwa sesuatu itu tak perlu disembah. (Utami, 2013 dalam Deutsche Welle).

Tetapi lewat tokoh Saman, Ayu Utami juga menyampaikan keraguannya perihal Tuhan dan kritiknya pada agama. Agama yang terlalu tercampur dengan politik membuat agama tak bisa mengimbangi antara kemanusiaan dan politik. Terlihat saat Saman meminta bantuan gereja saat dirinya dan desa yang ia bantu sedang dalam keadaan terhimpit. Padahal dalam agama juga diajarkan perihal kemanusiaan. 

Pengakuannya tentang agama dan apa yang ia tulis dalam novel-novelnya serta bagaimana ia melihat dunia memang terlihat bertolak belakang. Masih dari sumber yang sama, dalam wawancaranya dengan DW.com Ayu Utami mengungkapkan bahwa "...Dari dulu kalau ditanya tentang perbuatan saya yang melanggar aturan agama, saya selalu jawab: saya mendahulukan nurani dari aturan apapun. Jika suara hati saya mengatakan sesuatu tidak adil, maka jika perlu saya melawan agama." Lewat Saman juga Ayu Utami ingin menyampaikan bahwa bahkan seorang pemuka agama seperti pastor yakni Wisanggeni atau Saman tetap memiliki nafsu dan tak selamanya suci. Beberapa malah seperti mengagungkan atau lebih menghormati pemuka agama yang sejatinya adalah manusia juga. Dan kita juga tak bisa menutup mata bahwa memang ada beberapa kasus yang menyangkut kejahatan seksual yang pelakunya adalah pemuka agama.

Ayu Utami dengan kefrontalannya rasanya bisa menyinggung semua orang. Banyak isu yang ia senggol dalam novel ini dan semuanya ia antarkan dengan baik dan saya rasa banyak juga yang merasa terwakilkan mengingat novel ini juga lahir pada saat yang bersejarah. "...Saman adalah catatan dari zaman yang kritis dalam sejarah Indonesia. Dan sementara itu, manusia terus lahir, menjadi besar, jatuh cinta, berjuang, dan akhirnya mati" (Utami, 2013:205).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun