Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan asas konstitusionalis yang mengharuskan perlunya keselarasan perundang-undangan konstitusi dengan tindakan otoritas publik. Bahkan, tidak dapat dipungkiri dengan adanya tindakan Masyarakat yang melanggar norma konstitusi. Pada pandangan Hans Kelsen (1881-1973) untuk meyakini sebuah badan independen yang mempunyai kewenangan untuk menjawab pertanyaan mengenai inskonstitusionalis Undang-undang.
Sejalan dengan pandangan tersebut, maka DPR dan Pemerintah memutuskan untuk mengesahkan Undang-undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan konstitusi dalam sistem tata negara di Indonesia dengan menyepakatinya. Dalam mengkaji dan memastikan peraturan perundang-undangan tetap berada dalam lingkup konstitusi sehingga hak konstitusional masyarakat tetap terjaga dan konstitusionalis penyelenggaraan dapat terjamin.
Dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara termasuk dalam salah satu dari kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C (1), yaitu kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Hal ini dapat diartikan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan mempunyai hak untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review terhadap hak pilih universal.
Majelis Hakim dengan tegas menolak putusan pemohon Nomor 29,51,dan 55 untuk mengingat permohonan peninjauan kembali berada di luar lingkup Konstitusi, yakni di luar cakupan kebijakan hukum terbuka.
Namun terhadap Pemohon 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut hanya sebagian saja, meski isi permohonan ini sesuai dengan permohonan sebelumnya, menurut Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Indonesia. Keputusan tersebut memberikan persyaratan baru bagi calon presiden dan wakil presiden.
Pada Pasal 169 (q) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang semula hanya menyebutkan batasan usia 40 tahun, ditambah sekarang menjadi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam permohonan dengan Nomor yang tertera seperti diatas yaitu kontroversial dan pertanyaan dari berbagai lapisan masyarakat. Perubahan pendapat Hakim Konstitusi yang nyata dan dapat dimaknai sebagai suatu kontradiksi yang menunjukkan adanya intervensi yang bisa merusak integritas dan independensi para penjaga UUD. Keputusan tersebut menimbulkan dugaan dengan adanya konflik kepentingan terkait keterlibatan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman terkait orang yang berkepentingan dalam kasus yang sedang diselidiki.
Hal ini ditegaskan dalam permohonan 90/PUU-XXI/2023, dimana Pemohon berupaya mendorong Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden pada tahun 2024, dan Wali Kota Solo merupakan keponakan dari Anwar Usman sendiri. MKMK telah menerima sebanyak 21 laporan dugaan pelanggaran Kode Etik. MKMK mengadakan sidang pemeriksaan yang kemudian akan menghasilkan putusan, yaitu Ketua MK Anwar Usman dinyatakan bersalah atas pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Tindakan Anwar Usman ini merusak integritas Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegak hukum yang independen. Keterlibatan dalam mengungkap persoalan konflik tersebut dalam kepentingan ini justru dapat menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya secara imparsial dan independen. Situasi ini juga dapat mempengaruhi kewenangan dan kredibilitas pimpinan Mahkamah Konstitusi, serta kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Mahkamah Konstitusi dalam menjaga netralitasnya. AnwarUsman diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan Keputusan MKMK No 02/MKMK/L/11/2023 dan tidak diperbolehkan untuk dicalonkan atau mencalonkan kembali sebagai Ketua sampai masa jabatannya berakhir.
Selama beliau menjabat, beliau pernah menjadi anggota Mahkamah Konstitusi. Selain itu, tidak diperkenankan ikut serta dalam penetapan perselisihan hasil pemilihan kepala pemerintahan dan calon anggota (DPR, DPD, DPRD) perihal menghadirkan konflik kepentingan tersebut. Lebih lanjut, MKMK menginstruksikan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi untuk memimpin pemilihan pemimpin baru dalam waktu 2x24 jam setelah pembacaan Putusan Nomor sesuai dengan undang-undang.
Berdasarkan contoh kasus tersebut, pengambilan keputusan di sektor publik, khususnya di bidang yurisdiksi atau kehakiman harus didasarkan pada perilaku etis. Etika di sini merujuk pada tindakan yang tidak melanggar norma atau kode etik yang telah ditetapkan. Sebab, pada dasarnya kode etik ini menjadi pedoman bagi penyelenggaraan pemerintahan agar segala keputusan yang diambil didasarkan pada hal-hal mendasar dan bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.