Mohon tunggu...
Salsabila Jayanti
Salsabila Jayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Salsabila Jayanti Putri NIM : 33222010006 UNIVERSITAS MERCU BUANA Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik Dosen : Prof Dr Apollo M.si AK

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis - Diskursus Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   18:09 Diperbarui: 14 Desember 2023   19:12 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KUIS

Nama : Salsabila Jayanti Putri

NIM : 33222010006

Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB

Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Ruang B - 301, Jumat 09:30 - 11:10

    Korupsi merupakan perbuatan yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kepercayaan untuk memperoleh keuntungan pribadi yang tidak sah. Dalam konteks ini, keuntungan tersebut dapat berupa uang, fasilitas, atau keuntungan lainnya yang diperoleh dengan cara yang tidak jujur. Korupsi mencakup sejumlah praktik, mulai dari suap, nepotisme, kolusi, hingga manipulasi dalam pengadaan proyek atau pemberian kontrak. Definisi korupsi juga mencakup penyalahgunaan kepercayaan publik, karena korupsi tidak hanya merugikan individu secara langsung, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan dengan merusak integritas institusi dan merugikan perkembangan ekonomi (Dirdjosisworo, 1994).

    Dalam banyak kasus, korupsi merugikan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Praktik korupsi dapat menghambat pembangunan ekonomi dan sosial suatu negara, menyebabkan ketidaksetaraan, dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi investasi dan perkembangan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi menjadi suatu prioritas dalam upaya membangun masyarakat yang adil, berkeadilan, dan berintegritas. Upaya ini melibatkan peran semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil, guna menciptakan sistem yang tahan terhadap praktek korupsi dan menegakkan aturan hukum dengan adil dan tanpa pandang bulu.

    Diskursus Edwin Sutherland mengenai kejahatan korupsi memberikan landasan konseptual yang kaya untuk memahami fenomena ini, terutama dalam konteks Indonesia. Sutherland memperkenalkan konsep "white-collar crime" yang merujuk pada kejahatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok di dalam struktur bisnis atau pemerintahan. Kejahatan korupsi, yang sering kali terjadi di lingkungan pemerintahan dan sektor bisnis, merupakan bentuk dari white-collar crime. Indonesia, sebagai negara dengan sejarah kompleks dan transisi politik, telah menghadapi tantangan besar terkait korupsi. Sutherland menyoroti bahwa pelaku kejahatan korupsi seringkali berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi dan memiliki akses ke kekuasaan, sesuai dengan pola yang dapat diidentifikasi dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia (Ilyas, 1996).

    Faktor budaya, politik, dan sosial juga memainkan peran kunci dalam menganalisis fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Budaya patronase dan nepotisme, yang sering kali melibatkan praktik memberikan keuntungan kepada orang-orang terdekat, dapat memperkuat siklus korupsi. Selain itu, sistem politik yang berkembang dan seringkali tidak stabil dapat menciptakan celah bagi praktik korupsi yang merugikan masyarakat. Peningkatan kesadaran dan akses informasi di era globalisasi dapat menjadi kekuatan untuk memerangi korupsi, tetapi tantangan tetap besar mengingat kompleksitas struktur sosial dan politik di Indonesia.

    Pemahaman terhadap diskursus Sutherland dan konteks lokal Indonesia dapat membantu dalam merancang kebijakan anti-korupsi yang lebih efektif. Diperlukan upaya bersama dari pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil untuk menciptakan sistem yang lebih transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan pertanggungjawaban bagi pelaku korupsi. Demi mencapai tujuan ini, perlu adanya pendekatan holistik yang mencakup reformasi kebijakan, peningkatan pengawasan, dan pembangunan kesadaran masyarakat untuk memutus siklus kejahatan korupsi yang telah merugikan pembangunan negara (Friedman, 2009)

    Edwin Sutherland, seorang sosiolog kriminal, mengukir sejarah dengan memperkenalkan konsep "white-collar crime" pada tahun 1939. Ia mendefinisikan kejahatan ini sebagai tindakan ilegal yang dilakukan oleh individu atau kelompok di dalam struktur bisnis atau pemerintahan. Berbeda dengan kejahatan jalanan yang seringkali bersifat kasar, white-collar crime cenderung bersifat non-violent dan melibatkan manipulasi kepercayaan atau posisi dalam dunia profesional. Sutherland menyoroti bahwa pelaku kejahatan ini seringkali berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi, yang memiliki akses ke kekuasaan dan sumber daya ekonomi.

    Dalam konteks white-collar crime, Sutherland mencatat bahwa seringkali pelaku menggunakan pengetahuan, kepercayaan, dan koneksi sosial untuk mencapai tujuan mereka secara ilegal. Ini mencakup praktek-praktek seperti korupsi, penipuan keuangan, insider trading, dan berbagai bentuk manipulasi bisnis. Konsep ini juga menyoroti bahwa konsekuensi dari kejahatan ini dapat merambah ke berbagai lapisan masyarakat, menciptakan dampak jauh lebih luas daripada kejahatan tradisional (Arifin, 2014)

dok pribadi
dok pribadi

    Dalam era globalisasi dan kompleksitas struktur bisnis dan pemerintahan, konsep white-collar crime semakin relevan. Fenomena ini bukan hanya terbatas pada satu negara atau sektor tertentu, tetapi dapat terjadi di berbagai skala dan konteks. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep yang diperkenalkan oleh Sutherland menjadi kunci untuk mengembangkan strategi penegakan hukum yang efektif dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat secara keseluruhan (Friedman, 2009)

    Kejahatan korupsi, sebagai bentuk dari white-collar crime, menyimpan kompleksitas tersendiri dan memiliki dampak yang signifikan terutama di lingkungan pemerintahan dan sektor bisnis. Edwin Sutherland memperkenalkan konsep white-collar crime sebagai kontrast dari kejahatan jalanan, menunjukkan bahwa pelaku kejahatan korupsi cenderung berada dalam posisi kepercayaan di dalam struktur organisasi. Di lingkungan pemerintahan, korupsi seringkali melibatkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik untuk memperoleh keuntungan pribadi secara ilegal. Dalam sektor bisnis, praktik korupsi dapat melibatkan manipulasi dalam pengadaan kontrak, pembayaran suap, atau penyalahgunaan informasi untuk keuntungan ekonomi.

    Pentingnya memahami kejahatan korupsi sebagai white-collar crime adalah karena kecenderungannya yang bersifat sistemik dan terkadang sulit terdeteksi. Sutherland menekankan bahwa kejahatan semacam ini tidak hanya merugikan individu atau perusahaan secara langsung, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Dalam sektor bisnis, korupsi dapat merusak persaingan yang sehat dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan ekonomi. Di sisi lain, di lingkungan pemerintahan, korupsi dapat merugikan keadilan sosial, menghambat pembangunan, dan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan (Ilyas, 1996)

    Menanggapi kejahatan korupsi sebagai bentuk white-collar crime memerlukan respons yang holistik. Ini mencakup penegakan hukum yang efektif, reformasi kebijakan yang transparan, dan penguatan tata kelola baik di sektor pemerintahan maupun bisnis. Pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakat juga memiliki peran penting dalam membentuk budaya yang menolak korupsi. Dengan demikian, mengintegrasikan perspektif white-collar crime dalam penanganan kejahatan korupsi menjadi landasan penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, berintegritas, dan berkelanjutan.

    Edwin Sutherland memberikan wawasan mendalam terkait pelaku kejahatan korupsi dengan menyoroti pola umum yang dapat diidentifikasi, khususnya terkait kelas sosial yang lebih tinggi dan akses ke kekuasaan. Dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia, pola ini menjadi nyata. Pelaku korupsi sering berasal dari lingkungan elit pemerintahan atau sektor bisnis yang memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi negara. Sutherland menekankan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi dapat memainkan peran dalam meningkatkan kecenderungan pelaku kejahatan korupsi untuk memanfaatkan posisi dan pengaruh mereka demi keuntungan pribadi (Alatas, 1982)

    Penting untuk memahami bahwa kelas sosial yang lebih tinggi tidak hanya mendefinisikan status ekonomi, tetapi juga menggambarkan pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan. Dalam konteks Indonesia, sejarah politik dan ekonomi menciptakan struktur yang memudahkan pelaku korupsi dari kalangan elit untuk menghindari pertanggungjawaban. Pola ini dapat terlihat dalam berbagai skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan bisnis besar, di mana hubungan erat antara kekuasaan politik dan ekonomi menciptakan celah bagi praktik-praktik korupsi yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.

    Perlu diakui bahwa tidak semua individu dari kelas sosial yang lebih tinggi terlibat dalam korupsi, tetapi pengamatan Sutherland memberikan gambaran umum tentang pola perilaku yang dapat menjadi fokus dalam upaya pencegahan dan penegakan hukum. Masyarakat sipil dan lembaga-lembaga pengawas memiliki peran penting dalam mengawasi dan melibatkan pertanggungjawaban mereka. Dengan mendekati isu korupsi melalui lensa kelas sosial, Indonesia dapat mengarah pada perubahan struktural yang diperlukan untuk mengurangi risiko dan meningkatkan akuntabilitas di semua tingkatan masyarakat (Friedman, 2009)

    Faktor budaya, politik, dan sosial menjadi dimensi penting dalam merinci dan menganalisis fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Budaya patronase, di mana praktik memberikan keuntungan kepada orang-orang terdekat atau kelompok kecil, menjadi salah satu elemen utama yang meresap dalam struktur sosial Indonesia. Ini menciptakan lingkungan di mana hubungan personal dan kepentingan pribadi dapat mendominasi pengambilan keputusan, sehingga mengakar kuat dalam perilaku koruptif. Terlebih lagi, praktik nepotisme, yang menguntungkan keluarga atau rekan-rekan dekat dalam pemberian posisi atau kontrak, dapat menghasilkan siklus ketidaksetaraan dan pengaruh berkelanjutan (Ilyas, 1996)

    Di samping itu, faktor politik juga memainkan peran besar dalam memahami kejahatan korupsi di Indonesia. Pergantian rezim politik dan transisi ke sistem demokrasi multiparti setelah Reformasi 1998 membuka pintu bagi keberagaman aktor politik. Namun, hal ini juga membawa tantangan, di mana perubahan dinamika politik dapat menciptakan celah untuk korupsi. Kompetisi politik yang sengit dapat mendorong praktik-praktik yang tidak etis untuk memperoleh dukungan atau keuntungan politik, meningkatkan risiko terjadinya korupsi.

    Aspek sosial juga memiliki dampak yang signifikan. Tingginya tingkat ketidaksetaraan ekonomi, bersama dengan kurangnya akses terhadap pendidikan dan peluang ekonomi, dapat menciptakan kondisi di mana orang-orang merasa terdorong untuk terlibat dalam praktek-praktek korupsi demi kelangsungan hidup atau kemajuan pribadi. Oleh karena itu, penanganan masalah ini memerlukan pendekatan holistik yang mencakup perubahan budaya, reformasi politik, dan upaya pengentasan ketidaksetaraan sosial.

    Pemerintah, lembaga anti-korupsi, dan masyarakat sipil harus bekerja bersama-sama untuk mengatasi akar penyebab fenomena korupsi ini. Peningkatan transparansi, penegakan hukum yang tegas, dan pembangunan kesadaran masyarakat terhadap dampak buruk korupsi dapat membantu membentuk lingkungan di mana perilaku koruptif tidak lagi diterima sebagai bagian dari norma sosial. Dengan mengatasi faktor-faktor kunci ini, Indonesia dapat membuat langkah-langkah yang lebih kokoh menuju pemberantasan dan pencegahan kejahatan korupsi.

    Faktor budaya, politik, dan sosial menjadi dimensi penting dalam merinci dan menganalisis fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Budaya patronase, di mana praktik memberikan keuntungan kepada orang-orang terdekat atau kelompok kecil, menjadi salah satu elemen utama yang meresap dalam struktur sosial Indonesia. Ini menciptakan lingkungan di mana hubungan personal dan kepentingan pribadi dapat mendominasi pengambilan keputusan, sehingga mengakar kuat dalam perilaku koruptif. Terlebih lagi, praktik nepotisme, yang menguntungkan keluarga atau rekan-rekan dekat dalam pemberian posisi atau kontrak, dapat menghasilkan siklus ketidaksetaraan dan pengaruh berkelanjutan (Febridiansah, 2014).

    Di samping itu, faktor politik juga memainkan peran besar dalam memahami kejahatan korupsi di Indonesia. Pergantian rezim politik dan transisi ke sistem demokrasi multiparti setelah Reformasi 1998 membuka pintu bagi keberagaman aktor politik. Namun, hal ini juga membawa tantangan, di mana perubahan dinamika politik dapat menciptakan celah untuk korupsi. Kompetisi politik yang sengit dapat mendorong praktik-praktik yang tidak etis untuk memperoleh dukungan atau keuntungan politik, meningkatkan risiko terjadinya korupsi.

    Aspek sosial juga memiliki dampak yang signifikan. Tingginya tingkat ketidaksetaraan ekonomi, bersama dengan kurangnya akses terhadap pendidikan dan peluang ekonomi, dapat menciptakan kondisi di mana orang-orang merasa terdorong untuk terlibat dalam praktek-praktek korupsi demi kelangsungan hidup atau kemajuan pribadi. Oleh karena itu, penanganan masalah ini memerlukan pendekatan holistik yang mencakup perubahan budaya, reformasi politik, dan upaya pengentasan ketidaksetaraan sosial (Dirdjosisworo, 1994).

    Pemerintah, lembaga anti-korupsi, dan masyarakat sipil harus bekerja bersama-sama untuk mengatasi akar penyebab fenomena korupsi ini. Peningkatan transparansi, penegakan hukum yang tegas, dan pembangunan kesadaran masyarakat terhadap dampak buruk korupsi dapat membantu membentuk lingkungan di mana perilaku koruptif tidak lagi diterima sebagai bagian dari norma sosial. Dengan mengatasi faktor-faktor kunci ini, Indonesia dapat membuat langkah-langkah yang lebih kokoh menuju pemberantasan dan pencegahan kejahatan korupsi.

    Selain budaya patronase dan nepotisme, sistem politik yang berkembang dan seringkali tidak stabil menjadi faktor krusial dalam menganalisis fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Dalam lingkup ini, perubahan politik yang sering terjadi di Indonesia, terutama pasca-Reformasi tahun 1998, memberikan dinamika tersendiri. Transisi menuju demokrasi multipartai menciptakan ketidakstabilan politik yang memberikan celah bagi praktik korupsi untuk berkembang. Pergantian pemimpin dan perubahan kebijakan yang cepat dapat menciptakan ketidakpastian, yang bisa dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bermoral untuk keuntungan pribadi.

    Selain itu, sistem politik yang rentan terhadap manipulasi dan intervensi dapat memfasilitasi korupsi. Ketidakstabilan politik dapat menciptakan situasi di mana kontrol dan pengawasan terhadap praktik korupsi menjadi lebih sulit dilakukan. Selama periode transisi politik, fokus seringkali tertuju pada pembentukan dasar-dasar demokrasi, meninggalkan kekurangan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum. Oleh karena itu, menciptakan sistem politik yang stabil dan kuat merupakan langkah kunci dalam mengatasi tantangan korupsi di Indonesia (Ilyas, 1996).

    Upaya perbaikan sistem politik harus mencakup reformasi kelembagaan, peningkatan transparansi dalam pengambilan keputusan politik, dan penegakan aturan hukum yang konsisten. Melibatkan partisipasi aktif masyarakat sipil dalam proses politik juga penting untuk memberikan tekanan dan pengawasan terhadap tindakan korupsi. Dengan mengatasi ketidakstabilan politik, Indonesia dapat membangun fondasi yang kokoh untuk melawan korupsi, memastikan keadilan, dan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan berkelanjutan (Friedman, 2009).

    Peningkatan kesadaran dan akses informasi yang semakin meluas di era globalisasi membuka peluang baru dalam upaya memerangi korupsi di Indonesia. Masyarakat yang lebih terinformasi memiliki kemampuan untuk mengawasi dan mengevaluasi tindakan pemerintah serta institusi bisnis dengan lebih cermat. Melalui media sosial dan teknologi informasi, informasi dapat dengan cepat disebarkan, dan transparansi menjadi lebih mungkin. Peningkatan kesadaran ini juga menciptakan tekanan moral pada pemerintah dan lembaga bisnis untuk beroperasi dengan lebih terbuka dan bertanggung jawab.

    Namun, tantangan yang dihadapi dalam memanfaatkan potensi kesadaran dan akses informasi ini di Indonesia tetap besar. Kompleksitas struktur sosial dan politik di dalam negara menciptakan rintangan bagi pemahaman yang seragam dan respons yang efektif terhadap masalah korupsi. Budaya yang bervariasi dan keberagaman sosial politik memerlukan pendekatan yang sangat cermat dan disesuaikan untuk memahami dan mengatasi akar masalah korupsi yang mungkin bervariasi di setiap daerah.

    Lebih lanjut, sumber daya yang terbatas dan kurangnya independensi dalam sistem peradilan di beberapa kasus dapat menghambat efektivitas penegakan hukum terhadap praktik korupsi. Oleh karena itu, sementara peningkatan kesadaran dan akses informasi memberikan dasar yang kuat, diperlukan pula upaya serius untuk mengatasi hambatan-hambatan struktural dan sistemik yang dapat merugikan perjuangan melawan korupsi. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga internasional menjadi kunci untuk menciptakan langkah-langkah yang holistik dan efektif dalam memerangi korupsi dan membangun masyarakat yang lebih adil dan berintegritas (Dirdjosisworo, 1994)

dok. pribadi
dok. pribadi

    

    Pemahaman terhadap diskursus Edwin Sutherland tentang white-collar crime dan penerapannya dalam konteks lokal Indonesia memberikan landasan yang berharga dalam merancang kebijakan anti-korupsi yang lebih efektif. Sutherland menyoroti bahwa pelaku kejahatan korupsi sering berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi, dan keberhasilan pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan holistik yang memperhitungkan faktor-faktor budaya, sosial, dan politik. Dalam konteks Indonesia, mengadaptasi konsep white-collar crime memungkinkan pemerintah untuk lebih memahami karakteristik khusus yang mendasari praktik korupsi di berbagai tingkatan masyarakat.

    Penerapan pemikiran Sutherland dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang mekanisme korupsi yang mungkin sulit diidentifikasi dengan pendekatan konvensional. Sebagai contoh, memahami bagaimana hubungan antara kekuasaan politik dan ekonomi dapat membentuk pola korupsi di berbagai sektor. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek ini, kebijakan anti-korupsi dapat dirancang untuk menargetkan akar masalah dan menciptakan sistem yang lebih tangguh dalam mencegah dan menindak tindakan korupsi (Dirdjosisworo, 1994).

    Selain itu, pemahaman terhadap konteks lokal Indonesia menjadi kunci dalam mengembangkan kebijakan yang sesuai dan dapat diterapkan dengan efektif. Setiap negara memiliki dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang unik, sehingga pendekatan standar mungkin tidak selalu efektif. Dengan memahami konteks spesifik Indonesia, pemerintah dapat merancang kebijakan anti-korupsi yang lebih tepat sasaran, melibatkan aktor-aktor lokal, dan memperhitungkan nilai-nilai budaya yang dapat mendukung perubahan positif.

    Pentingnya menggabungkan pemahaman atas teori Sutherland dan konteks lokal Indonesia adalah untuk menciptakan pendekatan yang komprehensif dan relevan. Dengan demikian, kebijakan anti-korupsi dapat menjadi instrumen yang lebih efektif dalam menciptakan perubahan menuju masyarakat yang lebih adil, transparan, dan berintegritas di Indonesia (Friedman, 2009).

    Diperlukan upaya bersama dari pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil untuk menciptakan sistem anti-korupsi yang lebih transparan dan bertanggung jawab di Indonesia. Pemerintah memegang peran sentral dalam merumuskan kebijakan dan menciptakan lingkungan yang mendukung tata kelola yang baik. Ini melibatkan perancangan kebijakan anti-korupsi yang kuat, penegakan aturan hukum yang tegas, serta investasi dalam memperkuat lembaga-lembaga pengawas dan penegak hukum. Langkah-langkah ini mencakup peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, penguatan independensi lembaga-lembaga pengawas, dan pemberian dukungan finansial yang memadai.

    Selain itu, lembaga penegak hukum perlu bekerja sama secara efektif untuk menindak pelaku korupsi. Koordinasi antara kepolisian, jaksa, dan lembaga anti-korupsi dapat menciptakan sinergi yang lebih kuat dalam menangani kasus-kasus korupsi secara menyeluruh. Dibutuhkan pendekatan yang berbasis pada bukti, transparansi dalam proses hukum, dan ketegasan dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku korupsi. Reformasi di sektor kehakiman, termasuk pengurangan potensi intervensi politik, juga menjadi langkah penting untuk menciptakan sistem peradilan yang independen dan andal.

   Partisipasi aktif masyarakat sipil juga merupakan komponen kunci dalam upaya pencegahan dan penindakan korupsi. Masyarakat sipil memiliki peran dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan, melaporkan indikasi korupsi, dan mendesak agar pemerintah bertanggung jawab atas tindakannya. Organisasi non-pemerintah dan media independen memegang peran penting dalam mengungkap praktik korupsi dan menyuarakan kepentingan masyarakat. Pendidikan dan kampanye kesadaran publik juga dapat memobilisasi dukungan masyarakat untuk melawan korupsi (Arifin, 2014)

    Dengan upaya bersama ini, Indonesia memiliki peluang untuk membangun sistem yang lebih transparan, bertanggung jawab, dan memastikan pertanggungjawaban bagi pelaku korupsi. Kesinambungan dan komitmen dari semua pihak diperlukan untuk menciptakan perubahan yang signifikan dan mengukuhkan fondasi masyarakat yang berintegritas dan adil.

   Demi mencapai tujuan pemberantasan korupsi, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan serangkaian tindakan terkoordinasi yang mencakup reformasi kebijakan, peningkatan pengawasan, dan pembangunan kesadaran masyarakat. Pertama-tama, reformasi kebijakan menjadi langkah krusial untuk membentuk dasar yang kuat dalam upaya memberantas korupsi. Kebijakan yang lebih transparan, akuntabel, dan mendukung tata kelola yang baik dapat menciptakan lingkungan di mana praktik-praktik korupsi sulit berkembang (Febridiansah 2014).

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, S, H, (1982). Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES, t.t.

Arifin, F. (2014), Pemerintahan dan Lembaga Negara, dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dirdjosisworo, S. (1994), Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung: Mandar Maju.

Febridiansah. (2014). "Korupsi di Sekitar Kita", dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Friedman, L, M. (2009), Sistem Hukum Prespektf Ilmu Sosial, The Legal System and Sosial Science Perspective, terj. M. Khozim, Bandung: Nusamedia.

Ilyas, K. (1996), Catatan Hukum, Jakarta: Yayasan Karyawan Forum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun