Pemahaman terhadap diskursus Sutherland dan konteks lokal Indonesia dapat membantu dalam merancang kebijakan anti-korupsi yang lebih efektif. Diperlukan upaya bersama dari pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil untuk menciptakan sistem yang lebih transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan pertanggungjawaban bagi pelaku korupsi. Demi mencapai tujuan ini, perlu adanya pendekatan holistik yang mencakup reformasi kebijakan, peningkatan pengawasan, dan pembangunan kesadaran masyarakat untuk memutus siklus kejahatan korupsi yang telah merugikan pembangunan negara (Friedman, 2009)
  Edwin Sutherland, seorang sosiolog kriminal, mengukir sejarah dengan memperkenalkan konsep "white-collar crime" pada tahun 1939. Ia mendefinisikan kejahatan ini sebagai tindakan ilegal yang dilakukan oleh individu atau kelompok di dalam struktur bisnis atau pemerintahan. Berbeda dengan kejahatan jalanan yang seringkali bersifat kasar, white-collar crime cenderung bersifat non-violent dan melibatkan manipulasi kepercayaan atau posisi dalam dunia profesional. Sutherland menyoroti bahwa pelaku kejahatan ini seringkali berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi, yang memiliki akses ke kekuasaan dan sumber daya ekonomi.
  Dalam konteks white-collar crime, Sutherland mencatat bahwa seringkali pelaku menggunakan pengetahuan, kepercayaan, dan koneksi sosial untuk mencapai tujuan mereka secara ilegal. Ini mencakup praktek-praktek seperti korupsi, penipuan keuangan, insider trading, dan berbagai bentuk manipulasi bisnis. Konsep ini juga menyoroti bahwa konsekuensi dari kejahatan ini dapat merambah ke berbagai lapisan masyarakat, menciptakan dampak jauh lebih luas daripada kejahatan tradisional (Arifin, 2014)
  Dalam era globalisasi dan kompleksitas struktur bisnis dan pemerintahan, konsep white-collar crime semakin relevan. Fenomena ini bukan hanya terbatas pada satu negara atau sektor tertentu, tetapi dapat terjadi di berbagai skala dan konteks. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep yang diperkenalkan oleh Sutherland menjadi kunci untuk mengembangkan strategi penegakan hukum yang efektif dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat secara keseluruhan (Friedman, 2009)
  Kejahatan korupsi, sebagai bentuk dari white-collar crime, menyimpan kompleksitas tersendiri dan memiliki dampak yang signifikan terutama di lingkungan pemerintahan dan sektor bisnis. Edwin Sutherland memperkenalkan konsep white-collar crime sebagai kontrast dari kejahatan jalanan, menunjukkan bahwa pelaku kejahatan korupsi cenderung berada dalam posisi kepercayaan di dalam struktur organisasi. Di lingkungan pemerintahan, korupsi seringkali melibatkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik untuk memperoleh keuntungan pribadi secara ilegal. Dalam sektor bisnis, praktik korupsi dapat melibatkan manipulasi dalam pengadaan kontrak, pembayaran suap, atau penyalahgunaan informasi untuk keuntungan ekonomi.
  Pentingnya memahami kejahatan korupsi sebagai white-collar crime adalah karena kecenderungannya yang bersifat sistemik dan terkadang sulit terdeteksi. Sutherland menekankan bahwa kejahatan semacam ini tidak hanya merugikan individu atau perusahaan secara langsung, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Dalam sektor bisnis, korupsi dapat merusak persaingan yang sehat dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan ekonomi. Di sisi lain, di lingkungan pemerintahan, korupsi dapat merugikan keadilan sosial, menghambat pembangunan, dan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan (Ilyas, 1996)
  Menanggapi kejahatan korupsi sebagai bentuk white-collar crime memerlukan respons yang holistik. Ini mencakup penegakan hukum yang efektif, reformasi kebijakan yang transparan, dan penguatan tata kelola baik di sektor pemerintahan maupun bisnis. Pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakat juga memiliki peran penting dalam membentuk budaya yang menolak korupsi. Dengan demikian, mengintegrasikan perspektif white-collar crime dalam penanganan kejahatan korupsi menjadi landasan penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, berintegritas, dan berkelanjutan.
  Edwin Sutherland memberikan wawasan mendalam terkait pelaku kejahatan korupsi dengan menyoroti pola umum yang dapat diidentifikasi, khususnya terkait kelas sosial yang lebih tinggi dan akses ke kekuasaan. Dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia, pola ini menjadi nyata. Pelaku korupsi sering berasal dari lingkungan elit pemerintahan atau sektor bisnis yang memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi negara. Sutherland menekankan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi dapat memainkan peran dalam meningkatkan kecenderungan pelaku kejahatan korupsi untuk memanfaatkan posisi dan pengaruh mereka demi keuntungan pribadi (Alatas, 1982)
  Penting untuk memahami bahwa kelas sosial yang lebih tinggi tidak hanya mendefinisikan status ekonomi, tetapi juga menggambarkan pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan. Dalam konteks Indonesia, sejarah politik dan ekonomi menciptakan struktur yang memudahkan pelaku korupsi dari kalangan elit untuk menghindari pertanggungjawaban. Pola ini dapat terlihat dalam berbagai skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan bisnis besar, di mana hubungan erat antara kekuasaan politik dan ekonomi menciptakan celah bagi praktik-praktik korupsi yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.
  Perlu diakui bahwa tidak semua individu dari kelas sosial yang lebih tinggi terlibat dalam korupsi, tetapi pengamatan Sutherland memberikan gambaran umum tentang pola perilaku yang dapat menjadi fokus dalam upaya pencegahan dan penegakan hukum. Masyarakat sipil dan lembaga-lembaga pengawas memiliki peran penting dalam mengawasi dan melibatkan pertanggungjawaban mereka. Dengan mendekati isu korupsi melalui lensa kelas sosial, Indonesia dapat mengarah pada perubahan struktural yang diperlukan untuk mengurangi risiko dan meningkatkan akuntabilitas di semua tingkatan masyarakat (Friedman, 2009)