Mohon tunggu...
Salsabila Dwi Sapitri
Salsabila Dwi Sapitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi aktif UNJ Pendidikan IPS 2022

Saat ini saya merupakan mahasiswi aktif Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan IPS angkatan 2022, saya gemar membaca buku terutama novel dan saya senang berkreasi dalam mengedit menggunakan canva

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyikapi Cancel Culture: Apakah Kebebasan Berbicara Terancam di Era Digital?

30 Oktober 2024   00:45 Diperbarui: 30 Oktober 2024   00:45 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Velasco (2020) mengungkapkan bahwa praktik cancel culture sebenarnya telah ada selama berabad-abad, dimulai dengan penghinaan publik terhadap individu. Manusia telah menemukan berbagai cara, sering kali mengerikan namun kreatif, untuk mempermalukan orang yang dianggap bersalah, seperti hukuman cambuk di depan umum. Pihak yang dianggap bersalah sering kali tidak diberi kesempatan untuk membela diri melalui debat terbuka yang konstruktif, sebagaimana yang bisa terjadi saat ini. Dengan demikian, bentuk canceling yang destruktif sudah berkembang sejak lama. Meski begitu, di era digital, kritik yang ditujukan kepada seseorang juga memiliki peluang untuk menjadi lebih konstruktif.

Di era digital saat ini, fenomena cancel culture semakin sering muncul dan menjadi topik diskusi di berbagai kalangan masyarakat. Cancel culture merujuk pada tindakan kolektif untuk memboikot atau menarik dukungan terhadap individu atau kelompok yang dianggap melakukan kesalahan, baik dalam pernyataan maupun tindakan. Biasanya, aksi ini terjadi di media sosial, tempat di mana informasi dan opini tersebar dengan cepat, seringkali tanpa verifikasi yang memadai  .

Eve Ng (2020) menyatakan bahwa budaya cancel culture di platform digital menggambarkan kecepatan penyebaran serta besarnya reaksi publik terhadap suatu konten. Oleh karena itu, penting untuk tidak membiarkan kecaman di media sosial tanpa disertai penelitian mendalam mengenai interaksi yang terjadi di luar platform tersebut.

Cancel culture muncul sebagai bentuk respons terhadap isu sosial yang beragam, seperti pelecehan seksual dan rasisme. Meskipun tujuan utamanya mungkin untuk menuntut tanggung jawab, fenomena ini juga menimbulkan dampak negatif yang perlu dicermati, termasuk pembatasan kebebasan berekspresi, di mana banyak orang merasa ragu untuk menyampaikan pendapat karena takut akan konsekuensi pemboikotan  .

Dampak Cancel Culture

Dampak Positif : 

1. Peningkatan Kesadaran Sosial: Cancel culture dapat berperan sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran terhadap isu-isu sosial yang penting dan mendorong perubahan positif dalam masyarakat .

2. Akuntabilitas Publik: Fenomena ini sering kali mengharuskan individu atau organisasi, terutama yang memiliki pengaruh besar, untuk bertanggung jawab atas perilaku mereka .

Dampak Negatif

Cancel culture berpotensi besar merusak kehidupan individu tertentu. Biasanya, individu yang menjadi sasaran cancel culture adalah mereka yang tersangkut dalam kasus seperti rasisme, perundungan, seksisme, atau pelanggaran lain yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial. Dampak dari cancel culture ini bisa berupa rasa malu, kerentanan terhadap cyberbullying, perasaan kesepian, kurangnya rasa percaya diri, hingga depresi. Hal ini sejalan dengan pendapat Koh (2021) yang menggambarkan cancel culture sebagai praktik modern yang mempermalukan individu secara publik.

Untuk menyikapi fenomena ini, penting bagi masyarakat agar bersikap lebih bijaksana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun