Soft Power
Oleh : Salsabila Humaero Ahmad
NIM : 200301072015
Soft power merupakan kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi pihak lain dengan menggunakan daya tarik, bukan menggunaan penekanan atau pemaksaan seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya. Soft power menurut Nye (2008) diantaranya terdiri dari unsur-unsur budaya, sistem nilai dan kebijakan. Amerika tentu saja memiliki semua sumber untuk mengklaim dirinya sebagai pelaksana soft power yang terdepan. Â Soft power hanya bisa digunakan apabila pihak lain mengenali upaya tersebut, memiliki harapan yang sama dalam pelaksanaaannya dan menguatkantekad tersebut untuk mencapai tujuan bersama Ny (2004).
Keuntungan atau nilai lebih dari kehadiran terminologi soft power adalah menggeser perbincangan tentang diplomasi publik ke arah the realm of national security dan membingkai arena perdebatan Hubungan International untuk memberi perhatian lebih terhadap topik diplomasi publik. Sedangkan untuk kekurangannya  adalah mekanisme getting what one wants (mendapatkan apa yang diinginkan). Gagasan dari negara yang menginterupsi arena perbincangan global (international conversation) dalam rangka mendapatkan yang dikehendakinya (to get what it wants) merupakan strategi yang sempurna akan tetapi tidak seksi lagi, cenderung memaksakan (negative soft power/ambitious). Indonesia memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk membangun daya tariknya di arena politik internasional.
Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang mempunyai institusi demokrasi kuat berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus stabilitas politik yang dinamis. Dalam buku yang berjudul "Indonesia Matters: Asia's Emerging Democratic Power", Amitav Acharya menyampaikan bahwa, "Di antara calon negara-negara kuat baru (emerging power), Indonesia paling lemah dalam hal militer dan ekonomi. Namun negara ini justru paling dipercaya oleh komunitas internasional untuk diajak bekerja sama". Indonesia tidak memiliki kekuatan ekonomi dan militer sebesar China namun tetap menjadi rujukan penting negara-negara lain karena mempunyai "soft power" bernama demokrasi. Kajian tentang soft diplomacyIndonesia masih belum banyak dilakukan, terlebih kehadiran konsep ini baru dimulai di kurun waktu tahun 2013-2014 (Srivastava (2013) /Burnay dkk (2014)), sepuluh tahun setelah kelahiran konsep soft power  (Nye, 2004).
Kelangkaan pembahasan konsep soft diplomacy mendorong peneliti untuk menggalinya lebih dalam. Â Hal ini menyebabkan studi ini masih bersifat ekploratif. Â Kondisi tersebut menuntun kajian ini dilakukan secara kualitatif. Â Selanjutnya, Batik sebagai Diplomasi (Studi Kasus: Diplomasi Batik Indonesia di Amerika Pada Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) oleh : Christyn Floranita Gultom, 2020. Penelitian tersebut menganalisis tentang batik sebagai kebudayaan asli Indonesia dan menjadi nation branding untuk memenuhi kepentingan nasional Indonesia melalui diplomasi di Amerika sebagai soft power yang diandalkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Tujuannya untuk memperbaiki citra negara, hubungan bilateral dan meningkatkan ekonomi politik pada masa pemerintahannya. Kemudian ada juga Budaya Kuliner sebagai Soft Power: Studi Perbandingan Thailand dan Republik Korea Oleh : Fazri Ramadhan et.al
Penelitian ini berfokus pada bagaimana budaya kuliner mampu mengenkapsulasi identias sebuah negara dan menjawab mengapa budaya kuliner dapat diterima dengan baik oleh masyarakat bahkan mampu mengubah citra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H