Mohon tunggu...
Salsabila AdilahPutri
Salsabila AdilahPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebebasan atas Beragama dalam Kacamata Hak Asasi Manusia

11 November 2021   11:08 Diperbarui: 11 November 2021   11:16 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak dan kebebasan pada tiap-tiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan atau asal kebangsaaan, etnis, ras, bahasa atau status lainya merupakan perngertian dari hak asasi manusia. Hak asasi manusia meliputi adanya hak politik dan hak sipil. Hak asasi manusia di Indonesia diatur dalam pasal 27 sampai pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Hak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak membentuk sebuah keluarga sesuai hukum agama yang dianut, hak mendapat pendidikan, mendapat jaminan atas perlindungan hukum, hak bebas memilih dan memeluk agama tanpa adanya paksaan, hak untuk dapat berkomonikasi dan mendapatkan informasi, hak atas harta yang dimiliki, itu semua kurang lebih sudah diatur dalam hukum Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 27 hingga pasal 34.  

Merujuk pada isi pasal 28E ayat 1, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.", serta isi pasal 29 ayat 2 mengenai, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu". Pasal inilah yang bertentangan dengan Kepmen tersebut.". Dapat kita pandang sebagai adanya jaminan kemerdekaan bagi tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing sesuai keyakinan yang dianut. Tidak hanya memberi kebebasan atau kemerdekaan dalam beragama, negara juga menjamin, membina, mengembangkan dan melindungi kehidupan beragama yang ada dalam wilayah negaranya. Prinsip serta pasal-pasal mengenai kebebasan beragama masih sangat umum dan perlu adanya penjelasan lebih lanjut. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sendiri tidak ada pernyataan atau kalimat tegas mengenai apa saja agama yang harus atau boleh dipeluk oleh seseorang. Dengan demikian, dapat kita ambil bahwa negara memberi kebebasan untuk memeluk serta memilih agama yang diyakini dan menjalankan peribadahanya. Tidak ada pemaksaaan dalam memilih serta menentukan agama apa yang dianut.

Jika dapat dikaitkan dengan hak asasi, salah satu hak asasi manuasia yang tidak dapat dipotong atau dikurangi dalam keadaan apapun adalah hak beragama. Negara memiliki peran dalam memberi kebebasan beragama dan pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi serta mengayomi masyarakat dalam kehidupan beragama. Hak asasi manusia merupakan hukum internasional, dengan adanya kaitan negara yag merupakan subjek hukum dengan kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Oleh karena itu, negara memiliki tanggung jawab atas terselenggaranya kebebasan beragama bagi warga negara. Fokus pada negara kita sendiri, Indonesia memiliki ikatan secara yuridis dan moral terhadap Universal Declaration of Human Rights dan perjanjian internasional mengenai HAM seperti International Covenant on Civil Politic Rights (ICCPR), International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW); atau perjanjian di Norms on the Responsibilities of Transnational Corporation and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights yang semuanya mengakui hak kebebasan beragama.

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik di dalamnya terdapat pasal mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijelaskan pada pasal 18 tepatnya. Hak kebebasan beragama dalam hak asasi menusia tidak dapat dihilangkan dan akan selalu melekat. Merujuk pada konteks hak sipil dan politik, negara memiliki kewajiban untuk menciptakan kondisi yang mendukung  hak keseluruhan secara utuh serta menghormati kebebasan hak individu.

Artian agama yang terkandung dalam pasal 18 ICCPR memiliki makna jangkupan yang luas. Dalam artian cangkupan kepercayaan teistik, non-teistik, ateisme, serta kepercayaan apapun atau a-teistik. Pada Komentar Umum No. 22 yang tertera di Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai pasal 18 ICCPR dibahas terkait cangkupan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pemedaan pada Pasal 18 terlihat dari dimensi ayng dibahas mengenai kebebasan berkeyakinan, dan begarama atau berkepercayaan, serta kebebasan daalam menjalankan agama. Hal ini dapat dilihat pembedanya berdasarkan rasionalitas. Pertama, dimensi individual terlihat dalam perlindungan hukum kepada keberadaan spiritual sesorang. Kedua, dimensi kolektif terlihat dalam perlindungan kepada keberadaan spiritual sesorang guna mengeluarkan spiritualnya dan mempertahakanya di depan publik.

Pembeda rasionalitas hak asasi manusia menjadi penting untuk memberikan pedoman atas wilayah negara tentang pemberian garis atau pembatasan. Aturan telah diatur sedemikian rupa terkait adanya wilayah negara untuk membatasu hak atas kebebasan beragama, waluapun termasuk kedalam non dragable rights atau tidak dapa dikurangi dalam keadaan apapun tetapi memiliki artian tidak berarti mutlak seluruhnya. Forum internal tentang hak  kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak boleh dibatasi tanpa kecuali, tetapi forum eksternal boleh dibatasi. Ruang lingkup ketentuan pembatasan yang diizinkan harus ditegakkan oleh  Pihak ICCPR yang perlu melindungi hak-hak yang dijamin oleh Kovenan, termasuk hak yang sama dan tidak pandang bulu di semua bidang. Lebih jelasnya ini diatur dalam ICCR, paragraf 8 Komentar Umum No. 22 atas Pasal 18 ayat 3.

Selain adanya batasan, ada juga larangan paksaan. Paksaan tersebut meliputi paksaan fisik dan paksaan tidak langsung. Pemberlakuan untuk membatasi hak untuk memiliki dan menganut suatu agama atau kepercayaan. Termasuk di dalamnya penggunaan ancaman kekerasan fisik atau tindakan disipliner terhadap pengenaan sanksi hukum untuk menegakkan baik yang beriman maupun yang tidak beragama atau tak memiliki keyakinan agar tetap menganut agama. Dan tinggalkan kepercayaan atau itu kepada masyarakat,  tinggalkan agama atau kepercayaan Anda, atau pindah agama atau kepercayaan Anda. Pemaksaan bisa langsung atau  tidak langsung, dan kebijakan dan praktik yang dikeluarkan pemerintah yang bertujuan memiliki efek yang sama dengan paksaan fisik juga dilarang.

Berdasarkan penjabaran, penting untuk melihat lebih detail mengenai hak atas kebebasan beragama dalam kecamata hak asasi manusia dengan batasan yang ada di Indonesia. Pelaksanaan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan harus mengukur apakah hal itu sesuai dengan kewajiban negara, apakah benar-benar mencerminkan perlindungan atau adanya pelanggaran. Dengan pemikiran ini,  Indonesia secara normatif terikat oleh hak asasi manusia yang diabadikan dalam UUD 1945. Dalam konteks hak asasi manusia, karena keberadaan agama di Indonesia adalah masalah kehidupan pribadi, maka harus bebas, terutama bagi semua orang yang memiliki hubungan  dengan Sang Pencipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun