Mohon tunggu...
Salsabila Alifah Saripudin
Salsabila Alifah Saripudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

Salsabila Alifah Saripudin | NIM 43223010164 | Mahasiswa | S1 Akuntansi | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna

21 November 2024   00:22 Diperbarui: 21 November 2024   03:07 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam upayanya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Fenomena ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga dapat menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara,lalu dapat memperburuk ketimpangan sosial, dan dapat menghambat pembangunan berkelanjutan. 

Supaya dapat memahami lebih mengenai akar permasalahan korupsi, para ahli telah mengembangkan berbagai pendekatan teoritis, termasuk pendekatan yang diperkenalkan oleh Robert Klitgaard dan Jack Bologna.

Robert Klitgaard dikenal dengan rumus korupsinya yang mencakup elemen monopoli, diskresi, dan kurangnya akuntabilitas, yang memberikan pandangan sistemik tentang penyebab korupsi. Sementara itu, Jack Bologna melalui fraud triangle menyoroti faktor psikologis dan situasional yang memotivasi individu untuk melakukan kecurangan, yaitu tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. 

Tujuan artikel ini dibuat untuk menggambarkan penerapan kedua pendekatan tersebut dengan menyoroti dua studi kasus besar di Indonesia, yakni dugaan korupsi yang melibatkan Syahrul Yasin Limpo, mantan Menteri Pertanian, serta Johnny G Plate, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika.

What: Apa itu Korupsi?

Korupsi berasal dari kata Latin corruptio yang dalam bahasa Inggris disebut corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut corruptie. Dari istilah Belanda inilah lahir kata "korupsi" dalam bahasa Indonesia. Kata ini merujuk pada tindakan busuk atau tidak bermoral, seperti menerima suap, menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, atau melakukan penggelapan uang. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Lalu Korupsi juga memiliki dampak yang sangat merusak di berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, politik, ekonomi, birokrasi, dan moral individu.

Korupsi sering diibaratkan seperti kanker dalam tubuh, yang merusak dari dalam dan membutuhkan upaya konstan untuk membersihkan efeknya agar kehidupan dapat terus berjalan.

Bentuk-bentuk korupsi

Korupsi memiliki banyak bentuk yang sering kali saling berkaitan, seperti:

1. Penyuapan: Memberikan uang, barang, atau jasa kepada pejabat publik untuk memperoleh keuntungan tertentu, seperti memenangkan proyek atau menghindari sanksi hukum.

2. Pemerasan: Memaksa individu atau perusahaan memberikan uang atau barang dengan ancaman tertentu, biasanya oleh pejabat publik.

3. Nepotisme: Memberikan posisi atau keuntungan kepada keluarga atau teman dekat tanpa memperhatikan kualifikasi mereka.

4. Penggelapan: Penyalahgunaan atau pencurian dana atau aset yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik.

5. Penyalahgunaan Wewenang: Memanfaatkan jabatan publik untuk tujuan pribadi yang merugikan masyarakat.

Dampak Korupsi Terhadap Masyarakat dan Individu

1. Kekacauan Sosial
Ketika korupsi telah menjadi kebiasaan sehari-hari dalam masyarakat, sistem sosial menjadi tidak berjalan dengan baik. Orang-orang akan cenderung lebih egois dan hanya peduli pada keuntungan pribadi, sehingga rasa kerja sama dan solidaritas melemah.

2. Ketidakadilan Sosial
Penelitian menunjukkan bahwa korupsi memperburuk ketimpangan sosial. Hal ini menciptakan perbedaan yang signifikan antara kelompok masyarakat dalam hal pendapatan, status, dan kekuasaan, sehingga rasa keadilan sosial semakin jauh dari kenyataan.

3. Merusak Moralitas dan Intelektualitas
Dalam masyarakat yang dipenuhi korupsi, standar moral menjadi rendah. Orang lebih menghargai uang dan kekuasaan daripada integritas dan nilai-nilai luhur. Hal ini menciptakan budaya keserakahan, egoisme, dan sikap sinis terhadap kebaikan.

4. Mengurangi Semangat Berkorban untuk Publik
Jika korupsi merajalela, orang cenderung tidak peduli pada kepentingan bersama. Semangat untuk berkontribusi demi kepentingan masyarakat melemah, karena setiap individu hanya memikirkan keuntungan pribadi.

Why: Mengapa Korupsi Terjadi?

Menurut Pendekatan Robert Klitgaard

Robert Klitgaard menawarkan formula sederhana untuk memahami penyebab korupsi:
Corruption = Monopoly + Dictionary - Accountability

Monopoly: Korupsi cenderung terjadi ketika kekuasaan terpusat pada individu atau kelompok tertentu tanpa adanya kompetisi atau pengawasan

Dictionary: Kebebasan luas dalam pengambilan keputusan sering kali disalahgunakan, terutama jika tidak ada aturan atau mekanisme pengendalian

Kurangnya Accountability: Lemahnya pengawasan internal dan eksternal membuat pelaku korupsi merasa aman dari konsekuensi hukum.

Teori GONE Menurut Jack Bologna

Jack Bologna mengembangkan teori GONE, yang merupakan singkatan dari:

1. Greed (Keserakahan): Dorongan untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang berlebihan, bahkan jika itu melanggar hukum.

2. Opportunity (Kesempatan): Kelemahan dalam sistem pengawasan atau regulasi menciptakan peluang untuk korupsi.

3. Need (Kebutuhan): Situasi finansial atau tekanan hidup yang membuat seseorang merasa harus melakukan tindakan ilegal.

4. Exposure (Pengungkapan): Risiko terungkapnya korupsi. Lingkungan dengan pengawasan rendah mendorong individu untuk bertindak korup karena merasa tidak akan tertangkap.

How: Bagaimana Cara Mengatasi Korupsi?

Korupsi merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh bangsa ini, merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya menyebabkan kerugian finansial yang besar, korupsi juga mengancam keadilan sosial, meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan menghambat pembangunan. Dalam menghadapi masalah ini, diperlukan strategi yang menyeluruh, efektif, dan terintegrasi untuk mencegah dan memberantas korupsi secara sistemik.

Dalam konteks strategi pemberantasan korupsi, ada beberapa elemen dari teori Robert Klitgaard, yaitu:

1. Desain Ulang Pelayanan Publik: Strategi ini berusaha mengurangi monopoli dan diskresi yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Dengan menyederhanakan proses birokrasi dan memastikan transparansi, kesempatan untuk melakukan korupsi dapat diminimalkan.

2. Penguatan Transparansi dan Pengawasan: Menguatkan pengawasan dan meningkatkan akuntabilitas adalah kunci untuk mengurangi praktik korupsi, yang sesuai dengan prinsip akuntabilitas dalam teori Klitgaard. Dengan memberikan akses informasi kepada publik, pengawasan lebih efektif dan mendorong partisipasi masyarakat untuk meminimalkan korupsi.

3. Pemberdayaan Perangkat Pencegahan Korupsi: Langkah ini terkait dengan penguatan prinsip rule of law dan mengurangi diskresi. Dengan melibatkan masyarakat dan memperkuat perangkat hukum, penegakan hukum dapat dilakukan secara lebih efektif untuk mencegah korupsi.

Selanjutnya strategi pemberantasan korupsi dari Jack Bologna yang akan berfokus pada peran budaya organisasi dan pengawasan internal dalam mencegah korupsi. Ia menekankan pentingnya adanya kontrol internal yang kuat dan budaya organisasi yang mendukung etika serta akuntabilitas.

1. Penegakan Hukum yang Terpadu: Menurut Bologna, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara sistemik dan terintegrasi. Strategi ini sesuai dengan ide Bologna tentang pentingnya koordinasi antar lembaga penegak hukum untuk menghindari ego sektoral dan memastikan penegakan hukum berjalan efektif.

2. Alternatif Hukuman bagi Pelaku Korupsi: Bologna juga menekankan bahwa sanksi tidak hanya harus berupa hukuman fisik, tetapi juga harus mencakup sanksi moral. Mengumumkan putusan pengadilan di media massa memberikan sanksi moral kepada pelaku korupsi, sesuai dengan prinsip yang ada dalam teori Bologna tentang pemberian efek jera kepada pelaku dengan cara yang lebih menyeluruh.

Secara keseluruhan, langkah-langkah untuk dilakukannya pemberantasan korupsi yang dijelaskan dapat mencerminkan prinsip-prinsip yang ada di dalam teori Robert Klitgaard dan Jack Bologna, yang berfokus pada pengurangan peluang terjadinya korupsi melalui peningkatan transparansi, akuntabilitas, serta pemberdayaan perangkat pencegahan yang ada.

Studi Kasus di Indonesia

1. Kasus Korupsi Jiwasraya

Kasus korupsi yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya merupakan salah satu skandal terbesar dalam sejarah keuangan Indonesia. Kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp16,807 triliun, sebuah angka yang mencengangkan dan menunjukkan lemahnya tata kelola serta pengawasan di industri keuangan. Skandal ini juga mengungkap pola manipulasi yang kompleks, melibatkan pejabat perusahaan, pengusaha, dan celah regulasi yang dimanfaatkan secara sistematis.

Latar Belakang Kasus

PT Asuransi Jiwasraya adalah perusahaan asuransi milik negara yang telah beroperasi selama puluhan tahun. Masalah mulai terkuak pada 2018, ketika Jiwasraya gagal membayar klaim polis JS Saving Plan, produk asuransi berbasis investasi yang ditawarkan kepada ribuan nasabah. Gagal bayar ini menimbulkan kecurigaan akan adanya pengelolaan dana yang bermasalah.

Penyelidikan oleh Kejaksaan Agung mengungkap modus operandi yang melibatkan investasi dalam saham berisiko tinggi dan manipulasi harga saham (stock manipulation). Para pelaku, yang terdiri dari pejabat Jiwasraya dan mitra swasta, bekerja sama untuk mengarahkan dana nasabah ke portofolio investasi yang tidak likuid demi keuntungan pribadi.

Modus Operandi dan Pelaku Utama

Korupsi Jiwasraya melibatkan sejumlah pejabat kunci dan pengusaha besar. Para pelaku menggunakan dana nasabah untuk membeli saham perusahaan tertentu, yang kemudian harganya dimanipulasi. Saham-saham tersebut memiliki nilai fundamental yang buruk, sehingga investasi ini bukan hanya berisiko, tetapi juga dirancang untuk merugikan Jiwasraya.

Hendrisman Rahim (mantan Direktur Utama), Syahmirwan (mantan Kepala Divisi Investasi), Benny Tjokrosaputro, dan Heru Hidayat adalah aktor utama di balik kasus ini. Benny Tjokro dan Heru Hidayat, pengusaha yang memiliki afiliasi dengan beberapa perusahaan yang terlibat dalam manipulasi saham, divonis hukuman penjara seumur hidup. Pengadilan juga menyita berbagai aset mereka, termasuk properti dan saham, untuk menutupi sebagian kerugian.

Dampak Korupsi Jiwasraya

1. Kerugian Nasabah: Sebanyak 17.000 nasabah, yang sebagian besar adalah individu dan institusi kecil, kehilangan kepercayaan pada Jiwasraya dan industri asuransi secara umum. Mereka menghadapi risiko kehilangan dana yang seharusnya menjadi jaminan masa depan.

2. Kerugian Negara: Kerugian negara dari kasus ini diperkirakan mencapai Rp16,807 triliun. Hingga akhir 2023, Kejaksaan Agung berhasil memulihkan aset senilai Rp3,11 triliun melalui lelang aset tersangka, tetapi jumlah ini masih jauh dari kerugian total.

3. Krisis Kepercayaan di Industri Keuangan: Kasus ini meruntuhkan kepercayaan publik terhadap perusahaan asuransi milik negara. Industri keuangan pun menghadapi tekanan regulasi yang lebih ketat sebagai respons atas skandal ini, yang diharapkan mampu mencegah kasus serupa di masa depan.

Pelajaran dan Implikasi

Kasus Jiwasraya memberikan pelajaran penting tentang pentingnya tata kelola yang baik, pengawasan ketat, dan integritas dalam pengelolaan lembaga keuangan. Pemerintah, regulator, dan pelaku industri harus bekerja sama untuk memperkuat sistem keuangan dan memastikan transparansi serta akuntabilitas dalam setiap proses bisnis

2. Kasus Korupsi Johnny G Plate

Salah satu kasus korupsi yang menarik perhatian publik adalah yang melibatkan Johnny G. Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, dalam proyek pembangunan BTS 4G BAKTI Kominfo. Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dan wewenang dapat disalahgunakan dalam pengelolaan proyek-proyek besar, dan bagaimana korupsi dapat merugikan negara dan masyarakat secara signifikan.

Latar Belakang Kasus

Kasus ini bermula dari proyek pembangunan 4.200 menara BTS (Base Transceiver Station) untuk memperluas layanan komunikasi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Proyek ini dibiayai oleh anggaran negara dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas akses internet di seluruh Indonesia. Namun, dalam implementasinya, proyek ini justru menjadi ajang bagi praktik korupsi yang melibatkan pejabat tinggi di Kementerian Komunikasi dan Informatika, termasuk Johnny G. Plate, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kominfo. Johnny G.

Plate dan beberapa pejabat lainnya terbukti terlibat dalam merekayasa proses lelang proyek, sehingga menyebabkan kerugian negara yang cukup besar, diperkirakan mencapai Rp8 triliun.

Modus Pelaku Utama

Johnny G. Plate dan rekan-rekannya memanipulasi proses lelang proyek BTS 4G BAKTI Kominfo dengan cara mengatur dan mengkondisikan peserta lelang untuk memenangkan kontrak pembangunan menara BTS. Modus ini dilakukan dengan mengarahkan dan memberikan keuntungan kepada pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam proyek tersebut. Plate yang menjabat sebagai kuasa pengguna anggaran berperan dalam mengendalikan dan menyetujui alokasi dana untuk proyek tersebut, meskipun ada indikasi bahwa sebagian dana tersebut disalahgunakan.

Dampak Korupsi

Dampak dari korupsi ini sangat merugikan negara dan masyarakat. Kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp8 triliun bukan hanya menyulitkan keuangan negara, tetapi juga menghambat kemajuan proyek yang seharusnya memberikan manfaat besar, terutama bagi masyarakat di daerah 3T. Proyek yang dirancang untuk memberikan akses internet yang lebih baik malah terganggu karena penyalahgunaan wewenang dan pengelolaan yang buruk. Selain itu, korupsi ini mencoreng citra pemerintah dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Masyarakat pun menjadi skeptis terhadap janji-janji pembangunan yang dibuat oleh pemerintah, karena mereka melihat bahwa proyek-proyek besar seperti ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

Pelajaran dan Implikasi

Kasus korupsi ini memberikan pelajaran penting mengenai perlunya pengawasan yang lebih ketat dalam pengelolaan proyek-proyek besar yang melibatkan anggaran negara. Dalam hal ini, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama dalam setiap tahapan proyek, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. 

Kejadian ini juga mengingatkan bahwa meskipun ada sistem dan mekanisme yang dibangun untuk mencegah korupsi, penyalahgunaan kekuasaan tetap bisa terjadi jika tidak ada pengawasan yang efektif dan sanksi yang tegas.

Implikasi dari kasus ini menunjukkan bahwa penguatan sistem hukum dan integritas pejabat publik sangat penting. Pemerintah harus memastikan bahwa para pejabat yang terlibat dalam pengelolaan anggaran publik memiliki integritas yang tinggi dan bebas dari kepentingan pribadi. 

Selain itu, kasus ini juga menunjukkan perlunya perubahan dalam cara penanganan korupsi, dengan lebih menekankan pada sanksi moral yang dapat memberikan efek jera, seperti pengumuman publik terhadap pelaku korupsi dan pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik.

Kasus korupsi yang melibatkan Johnny G. Plate menunjukkan betapa besar kerugian yang bisa ditimbulkan oleh praktik korupsi dalam pengelolaan proyek-proyek publik. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memperkuat sistem pengawasan dan memastikan bahwa proyek-proyek besar dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. 

Penegakan hukum yang konsisten, bersama dengan pemberdayaan masyarakat untuk turut mengawasi, dapat membantu menciptakan sistem yang lebih bersih dan bebas dari korupsi.

3. Kasus Korupsi Syahrul Yasin Limpo

Korupsi merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia, dan berbagai upaya telah dilakukan untuk memeranginya. Namun, masih terdapat pejabat negara yang terjerat dalam kasus korupsi, salah satunya adalah Syahrul Yasin Limpo (SYL), mantan Menteri Pertanian. Kasus ini mencuat pada tahun 2023 dan menarik perhatian publik karena melibatkan angka yang sangat besar serta dampak yang luas terhadap pengelolaan sektor pertanian negara.

Latar Belakang Kasus

Pada Oktober 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka kasus korupsi di Kementerian Pertanian. Bersama Sekjen Kasdi Subagyo dan Direktur Muhammad Hatta, Syahrul diduga melakukan praktik korupsi berupa gratifikasi dan pemerasan terhadap pejabat eselon I dan II. Bukti awal berupa uang tunai senilai Rp30 miliar, Rp400 juta, 12 senjata api, dan dokumen penting ditemukan saat penggeledahan. KPK mengindikasikan bahwa dana tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya

Modus Operandi Pelaku Utama

Syahrul Yasin Limpo diduga menerima sejumlah uang yang signifikan dari pejabat di kementeriannya. Berdasarkan penyidikan, uang tersebut diberikan oleh Kasdi Subagyono dan Muhammad Hatta, dua pejabat tinggi di Kementerian Pertanian, sebagai imbalan atas pengaturan jabatan dan proyek-proyek yang melibatkan pengadaan alat dan mesin pertanian. 

Selain itu, SYL juga diduga menerima gratifikasi dari seorang pengusaha di sektor alat pertanian sebesar Rp1,5 miliar, yang digunakan untuk membeli barang-barang pribadi seperti mobil, perhiasan, dan jam tangan.

Lebih lanjut, sejumlah aliran dana tersebut juga digunakan untuk berbagai kepentingan pribadi dan keluarga SYL, serta untuk mendukung kegiatan politik dan sosial tertentu. Misalnya, dana digunakan untuk mendanai keperluan pribadi, acara keagamaan, dan bahkan pembelian tiket pesawat pribadi. Kasus ini menunjukkan bagaimana pejabat negara bisa menyalahgunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi dan memperkaya diri sendiri melalui penyalahgunaan jabatan.

Dampak Korupsi

Korupsi yang dilakukan oleh Syahrul Yasin Limpo memiliki dampak yang sangat luas, baik bagi sektor pertanian maupun bagi kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Pertama, kerugian negara yang ditimbulkan dari tindakan korupsi ini jelas mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara. 

Selain itu, sektor pertanian, yang seharusnya menjadi salah satu pendorong utama perekonomian Indonesia, mengalami gangguan akibat penyalahgunaan anggaran dan pengadaan barang yang tidak efisien.

Kedua, korupsi yang melibatkan seorang pejabat tinggi seperti Menteri Pertanian dapat merusak citra pemerintah di mata masyarakat. Publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap integritas pejabat pemerintah dan sistem birokrasi yang ada, yang berpotensi menurunkan partisipasi masyarakat dalam mendukung program-program pemerintah.

Ketiga, Korupsi di level tinggi menurunkan daya tarik investasi dan menempatkan Indonesia dalam citra negatif di dunia internasional.Selain itu, dampak lainnya adalah berlarut-larutnya proses hukum yang menguras energi dan perhatian publik, yang semestinya bisa difokuskan pada pemecahan masalah-masalah nyata di sektor pertanian.

Pelajaran dan Implikasi yang Dapat Diambil

Kasus Syahrul Yasin Limpo mengajarkan kita bahwa pentingnya pengawasan dan transparansi dalam pemerintahan harus terus ditingkatkan. Sebagai pejabat publik, seorang menteri harus memegang teguh prinsip integritas dan tidak menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. 

Selain itu, keberadaan sistem pengawasan yang efektif dari lembaga-lembaga negara seperti KPK sangat penting untuk memastikan bahwa tidak ada ruang bagi praktik korupsi di dalam birokrasi pemerintahan.

Dari sisi hukum, penanganan kasus korupsi ini juga memperlihatkan pentingnya penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu. Proses hukum terhadap SYL akan memberikan pesan yang kuat bahwa korupsi, apapun bentuknya, tidak akan dibiarkan begitu saja, meskipun yang terlibat adalah pejabat tinggi negara. Penegakan hukum yang transparan dan terbuka akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia.

Secara keseluruhan, kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya pengelolaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel, serta perlunya penguatan budaya antikorupsi sejak dini. Pendidikan tentang bahaya korupsi dan pentingnya moralitas dalam pelayanan publik harus terus digalakkan, terutama kepada generasi muda agar mereka menjadi agen perubahan di masa depan.

Kesimpulan

korupsi sering kali terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara kekuasaan, kesempatan, dan niat di dalam struktur pemerintahan atau organisasi.

Pendekatan Robert Klitgaard menyatakan bahwa korupsi dapat dianalisis dengan rumus:

Corruption = Monopoly + Dictionary - Accountability

Di Indonesia, kondisi ketidakjelasan akuntabilitas dalam birokrasi serta peluang yang terbuka bagi pejabat untuk memanfaatkan posisi mereka menyebabkan peluang korupsi semakin besar. Selain itu, tingkat pengawasan yang rendah dan kelemahan sistem hukum seringkali menjadi faktor utama yang memberi ruang bagi praktik korupsi untuk berkembang.

Pendekatan Jack Bologna lebih menekankan pada aspek sosial dan budaya dalam memerangi korupsi. Ia mengidentifikasi bahwa korupsi tidak hanya dipengaruhi oleh individu yang memiliki niat buruk, tetapi juga oleh norma sosial dan budaya yang lebih luas yang membolehkan atau bahkan menganggap korupsi sebagai bagian dari cara untuk mencapai tujuan. 

Di Indonesia, praktik korupsi kadang dianggap sebagai sesuatu yang "biasa" dalam sistem sosial tertentu, yang berakar pada kebiasaan dan budaya tertentu yang sudah terintegrasi dalam masyarakat.

Kedua pendekatan ini mengungkapkan pentingnya menciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan memberikan insentif yang lebih kuat bagi individu untuk menghindari perilaku koruptif. Pendidikan tentang pentingnya integritas dan perubahan dalam budaya organisasi juga perlu digalakkan untuk mengurangi potensi terjadinya korupsi.

Dengan demikian, untuk mengatasi korupsi di Indonesia, tidak hanya diperlukan reformasi struktural yang mengurangi kesempatan korupsi, tetapi juga perubahan budaya yang memupuk nilai-nilai kejujuran dan akuntabilitas.

Daftar Pustaka

1. Hartini, Sri, dkk. "Penangkapan terhadap Tersangka Syahrul Yasin Limpo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)." Yustisi: Jurnal Ilmu Hukum, vol. 11, no. 1, Februari 2024, pp. 1-10.

2. Smith, J. (2024). Analisis Kasus Korupsi Pembangunan BTS dalam Perspektif Etika Hukum. Das Sollen, 15(3), 123-145.

3. PPKN.org. (2016). Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

4. Setiadi, Wicipto. (2022). Korupsi di Indonesia: Penyebab, Hambatan, dan Solusinya.

Modul yang dibuat oleh Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
Modul yang dibuat oleh Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun