Mohon tunggu...
Salsabila Andiasari
Salsabila Andiasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta.

Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketidaksiapan Pluralisasi Budaya Baru di Masyarakat Indonesia

5 Januari 2024   22:08 Diperbarui: 5 Januari 2024   22:12 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seiring dengan adanya perkembangan teknologi baru yang dibawa oleh arus globalisasi dan perkembangan zaman, mengakibatkan munculnya suatu budaya baru yang masuk ke dalam masyarakat. Sebagian besar masyarakat masih belum siap terhadap adanya pluralisasi budaya baru, salah satunya seperti masyarakat di Indonesia. Dari adanya permasalahan yang muncul tersebut, munculah istilah cultural lag yang merupakan sebuah anggapan bahwa perkembangan suatu budaya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan dengan inovasi teknologi baru. Menurut Ogburn, William (1922) cultural lag atau yang biasa disebut dengan keterlambatan budaya adalah sebuah fenomena yang umunya terjadi karena kecenderungan budaya material yang berkembang dan berubah dengan cepat, sementara budaya non-material cenderung menolak perubahan dan memilih bertahan untuk jangka waktu yang lebih lama. William F. Ogburn (1922) menyatakan bahwa budaya non material tidak akan sinkron persis dengan perubahan budaya material, maka hal tersebut akan memicu terjadinya keterlambatan atau cultural lag. Jika seseorang gagal dalam menyesuaikan perubahan teknologi yang cepat maka akan terjadi lag atau kesenjangan budaya, hal tersebut dapat terjadi karena sifat teknologi yang nantinya akan menentukan perkembangan nilai-nilai antar budaya dan struktur sosial, artinya teknologi itu memiliki efek independent pada masyarakat luas. 

Menurut teori cultural lag yang ditemukan oleh William F. Ogburn (1922), ia mengemukakan bahwa cultural lag merupakan tahap yang terjadi sesaat setelah budaya nonmaterial berjuang untuk beradaptasi dengan kondisi material yang baru. Cultural lag dapat terjadi ketika terdapat suatu perubahan yang terjadi di masyarakat saat budaya non-material tidak dapat mengimbangi budaya material. Dari teori tersebut, kultur di Indonesia sesuai dengan dinamika yang dijelaskan oleh Ogburn terkait studi kasus banyaknya masyarakat yang masih belum bisa menerima adanya budaya baru yang masuk di Indonesia. Di era kemajuan yang pesat ini masih banyak masyarakat yang belum bisa menerima lahirnya kebudayaan baru, pasalnya tidak semua budaya baru yang menyerbu dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat, oleh karena itu mereka masih memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan kondisi baru tersebut. Masyarakat non-material yang belum bisa menerima hadirnya budaya baru tersebut disebabkan oleh faktor kurangnya wawasan dan daya pikir masyarakat yang rendah terkait keberadaan budaya baru, oleh karena itu mereka akan sulit untuk memahami adanya perkembangan tersebut. Tingginya heterogenitas suatu masyarakat terhadap perubahan budaya baru menyebabkan sebagian masyarakat cepat menerimanya, sementara sebagian lainnya lambat beradaptasi terhadap perubahan budaya yang ada.

Adanya pernyataan tersebut mengakibatkan beberapa orang masih menutup dirinya dari lingkungan sekitar atau bahkan lebih memilih untuk tidak mau menjadi pusat perhatian dengan mengikuti tren yang tengah terjadi di masyarakat. Dampak sederhana yang terjadi dari adanya sikap tersebut membuat mereka menjadi kurang mendapat informasi terbaru mengenai kehidupan yang terjadi di dunia atau hanya di lingkungan sekitar mereka, sehingga hal inilah yang menjadi akar dari adanya cultural lag atau ketertinggalan suatu budaya. Masuknya budaya baru memberikan dampak yang cukup signifikan di masyarakat Indonesia, seperti majunya perekonomian, industri berkembang dengan pesat, terciptanya stabilitas politik, lahirnya gaya hidup modern, dan kecanggihan akan teknologi baru. Teknologi baru membawa kemajuan besar di bidang komunikasi, seperti Internet dan media sosial. Munculnya teknologi baru dapat mengubah cara masyarakat untuk berinteraksi dan menerima sebuah informasi, atau bahkan pada keperluan pekerjaan. Sebagai contoh seperti masyarakat perkotaan yang turut merasakan impact cukup besar didalam kehidupannya. Hadirnya teknologi baru dapat mempermudah mereka untuk berinteraksi satu sama lain, bahkan mempermudah para pekerja di perkotaan untuk melakukan segala aktivitas dalam berbagai aspek termasuk pada industri perusahaan atau perkantoran. Disinilah teknologi mengambil peran penting dalam mempermudah para pekerja di kantor untuk berkomunikasi satu sama lain dari satu kantor ke kantor yang lain. Namun sementara itu, di daerah yang agak terpencil pengembangan teknologi baru perlu memakan waktu yang lebih lama. Bagi mereka akan sangat sulit untuk mengakses beberapa kemajuan teknologi yang ada. Adanya pernyataan tersebut memicu terjadinya lag di dalam masyarakat, sehingga mereka perlu beradaptasi dengan jangkauan waktu yang lebih lama. 

Suka atau tidak suka, inovasi teknologi baru akan selalu ada dan kita sebagai masyarakat mau tidak mau harus bisa beradaptasi dengan budaya yang ada. Kita sebagai masyarakat harus bisa memahami implikasi dan impact dari hadirnya sebuah budaya baru yang terjadi di lingkungan kita, hal itu diperlukan karena agar tidak menimbulkan kesenjangan atau ketertinggalan antara adopsi teknologi dan pemahaman budaya baru. Ketertinggalan budaya dapat dianggap sebagai masalah etika yang penting, karena kegagalan konsensus sosial terkait penggunaan teknologi baru yang tidak tepat dapat menyebabkan runtuhnya solidaritas sosial dan bahkan memicu sebuah konflik sosial. Berangkat dari permasalahan yang muncul di Indonesia terkait ketidaksiapan pluralisasi budaya baru yang masuk di masyarakat Indonesia, Durkheim menawarkan teori solidaritas sebagai solusi dari penyelesaian masalah pluralisme tersebut. Bagi Durkheim teori solidaritas organik merupakan jawaban dari kasus diatas. Solidaritas organik adalah lahirnya sebuah perbedaan yang terjadi seiring dengan berkembangnya masyarakat, biasanya solidaritas organik terjadi di perkotaan dimana setiap orang memiliki berbagai macam pekerjaan dengan tanggung jawab dan kebutuhan yang berbeda-beda. Semakin beragamnya pembagian kerja maka tingkat saling ketergantungan semakin tinggi.

 Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organik merupakan masyarakat yang bertahan bersama justru terdapat perbedaan didalamnya. Setiap individu dalam masyarakat pastinya memiliki pekerjaan atau tugas yang berbeda-beda, dari adanya perbedaan tersebut menciptakan keterikatan satu sama lain. Oleh karena itu, upaya antisipasi untuk mengatasi cultural lag sangat diperlukan agar masyarakat dapat beradaptasi secara lebih efektif terhadap perubahan sosial dan untuk mengurangi ketidakseimbangan antara lahirnya aspek perubahan sosial yang muncul dalam budaya baru. Sesuai dengan penjelasan teori tersebut, solusi yang diberikan oleh Emile Durkheim terkait kasus diatas, yaitu masyarakat non-material di harapkan untuk saling meningkatkan toleransi akan kebutuhan dan kerjasama antara kelompok-kelompok yang memiliki pandangan, nilai dan kepentingan yang berbeda. Masyarakat non-material yang belum bisa menerima hadirnya pluralisasi budaya baru di Indonesia, diharapkan turut melek intelektual terhadap hadirnya budaya tersebut agar tidak memicu terjadinya penutupan diri dari lingkungan sekitar, sehingga berdampak pada sikap mereka yang menjadi kurangnya informasi terbaru dan ketinggalan budaya. Hadirnya pluralisme di dalam suatu masyarakat tidak dapat kita hindari, karena pengaruh prulalisme budaya tidak bisa ditahan dengan cara apapun hal tersebut sudah sejalan dengan teori solidaritas organik yang telah dipaparkan oleh Emile Durkheim. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun