Pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, pada Selasa, 17 Desember 2024, mengenai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HHP), membuka sebuah realitas pahit mengenai tingkat partisipasi politik dan pemahaman masyarakat dalam proses politik Indonesia. Keputusan ini, yang sejak lama menjadi bahan perdebatan publik, menunjukkan sebuah paradoks yang mencolok melalui pilihan politik yang mereka salurkan dalam Pemilu kemarin, mayoritas masyarakat seolah-olah memberikan mandat kepada partai-partai yang mendukung kenaikan PPN ini. Ironisnya, keputusan tersebut malah menunjukkan adanya tingkat apatisme politik yang semakin mengkhawatirkan serta kegagalan dalam sistem representasi yang tidak mampu menyalurkan aspirasi rakyat dengan efektif.
Persentase suara yang diperoleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pemilu lalu, yakni hanya 8,42%, menjadi indikator yang menarik untuk direnungkan lebih dalam. PKS, yang sejak awal konsisten menentang kebijakan kenaikan PPN dan sejumlah peraturan perundang-undangan yang dianggap merugikan rakyat, ternyata hanya mampu meraih dukungan yang relatif kecil. Fakta ini memberikan gambaran bahwa mayoritas pemilih Indonesia tampaknya kurang sensitif terhadap isu-isu ekonomi yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Atau bisa jadi, pemilih tersebut tidak sepenuhnya memahami implikasi jauh dari keputusan-keputusan politik yang diambil oleh para wakil rakyat di parlemen.
Kenaikan PPN ini bukanlah sebuah keputusan yang terisolasi. Ia merupakan bagian dari pola yang lebih besar, di mana banyak undang-undang yang disahkan oleh DPR, dan hanya ditolak oleh PKS, yang menunjukkan kecenderungan yang sama: ketidakpedulian atau ketidakpahaman publik terhadap proses pembuatan kebijakan publik. Ini mengungkapkan kegagalan sistem demokrasi representatif yang seharusnya menyalurkan aspirasi rakyat secara efektif. Rakyat memilih wakil-wakil mereka melalui Pemilu, namun para wakil tersebut seolah tidak cukup peka terhadap kepentingan konstituennya. Ketidakpedulian masyarakat terhadap kebijakan ini bisa jadi akibat dari beberapa faktor yang saling terkait.
Pertama, rendahnya literasi politik di kalangan masyarakat menjadi salah satu faktor utama. Banyak warga negara yang kurang memahami dengan jelas bagaimana proses pembuatan undang-undang berlangsung dan dampak nyata dari kebijakan-kebijakan yang disahkan terhadap kehidupan mereka. Informasi yang disebarkan oleh berbagai pihak sering kali tidak objektif, bahkan sangat terbatas dalam hal kedalaman dan kejelasannya, sehingga banyak warga yang tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang apa yang sedang terjadi dalam ranah politik. Akibatnya, pemilih menjadi sulit untuk membuat pilihan yang terinformasi dengan baik saat Pemilu.
Kedua, ketidakmaksimalan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan juga turut berperan dalam menciptakan kesenjangan ini. Masyarakat sering kali tidak dilibatkan secara maksimal dalam proses perumusan kebijakan publik. Konsultasi publik yang seharusnya menjadi sarana penting untuk menyerap aspirasi rakyat seringkali hanya menjadi formalitas belaka, tanpa diikuti oleh tindak lanjut yang jelas. Hal ini menciptakan ketidakharmonisan antara apa yang diinginkan oleh rakyat dan apa yang diputuskan oleh pemerintah dan legislatif, sehingga kebijakan yang dihasilkan menjadi tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat luas.
Ketiga, dominasi kepentingan kelompok tertentu dalam proses pengambilan keputusan di tingkat politik menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi. Kepentingan bisnis dan kelompok elit sering kali mendapat tempat yang lebih besar dibandingkan dengan suara rakyat banyak. Dalam banyak hal, keputusan-keputusan politik lebih menguntungkan pihak-pihak yang memiliki kekuatan ekonomi atau politik, sementara rakyat jelata yang seharusnya menjadi fokus utama justru seringkali terpinggirkan. Ketika hal ini terjadi, kebijakan yang dihasilkan tidak hanya tidak menguntungkan masyarakat, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial yang semakin menganga.
Kenaikan PPN 12% bukan hanya sekadar sebuah kebijakan perpajakan yang teknis, melainkan juga merupakan simptom dari masalah yang lebih besar, yakni apatisme politik yang meluas, rendahnya literasi politik di kalangan masyarakat, dan kegagalan sistem representasi yang tidak dapat menyalurkan suara rakyat secara efektif. Untuk mencegah terulangnya situasi semacam ini di masa depan, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan semua elemen masyarakat. Peningkatan literasi politik menjadi sangat mendesak. Masyarakat harus dibekali dengan kemampuan untuk menganalisis kebijakan dan memahami dampaknya dalam kehidupan sehari-hari. Program-program pendidikan politik yang menyeluruh di semua jenjang pendidikan perlu digalakkan, agar warga negara memiliki keterampilan untuk berpikir kritis dan membuat keputusan yang berdasarkan pada informasi yang akurat.
Selanjutnya, partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan harus ditingkatkan. Tidak boleh ada lagi konsultasi publik yang hanya sekadar prosedur administratif tanpa adanya peran aktif masyarakat dalam perumusan kebijakan. Masyarakat harus diberi ruang untuk berkontribusi dalam menyuarakan pandangan mereka dan merumuskan solusi bersama untuk mengatasi masalah yang ada. Proses pembuatan kebijakan harus lebih transparan, akuntabel, dan benar-benar melibatkan suara rakyat yang akan terkena dampak langsung dari kebijakan tersebut.
Reformasi sistem politik yang lebih transparan dan akuntabel juga sangat diperlukan. Kita harus memastikan bahwa sistem yang ada benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu. Mengedepankan kepentingan publik dan memastikan bahwa keputusan politik diambil dengan cara yang adil dan transparan adalah fondasi utama dalam menjaga agar demokrasi kita tetap sehat dan relevan.
Jika semua upaya ini tidak dilakukan dengan serius, maka kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat seperti kenaikan PPN 12% ini akan terus muncul dan membebani masyarakat. Hal ini tentunya akan merusak kredibilitas sistem demokrasi kita yang sudah terlanjur dipertanyakan. Hasil Pemilu kemarin seharusnya menjadi cermin bagi kita semua bahwa partisipasi politik yang kritis, terinformasi, dan penuh kesadaran sangatlah penting agar kita terhindar dari ketidakadilan politik di masa mendatang.