Setiap negara memiliki kepentingannya masing-masing, sehingga konflik dianggap sebagai hal yang wajar ditengah kondisi internasional yang anarki ini. Konflik antar negara pun selalu menjadi isu yang menarik untuk dibahas. Dalam artikel ini, akan dibahas beberapa contoh kasus yang dapat dijelaskan menggunakan teori yang ada di Ilmu Hubungan Internasional yaitu realisme klasik, neo-realisme defensif dan neo-realisme ofensif.
Realisme Klasik
Realisme merupakan salah satu grand theory dalam hubungan internasional. Realisme melihat bahwa negara merupakan aktor dominan dan satu-satunya. Realisme menempatkan konsep power sebagai pusat dari semua perilaku negara-bangsa, sehingga realisme melihat bahwa negara akan bertindak untuk memaksimalkan power mereka untuk dapat mencapai tujuan atau kepentingan nasionalnya. Realisme berpandangan bahwa salah satu cara untuk menciptakan perdamaian di tengah kondisi dunia yang kompetitif adalah melalui konsep balance of power. Adapun beberapa asumsi dasar dalam teori realisme. Pertama, teori realisme berasumsi bahwa negara merupakan aktor utama dan paling dominan dalam hubungan internasional. Kedua, realisme berasumsi bahwa hubungan antar negara bersifat konfliktual daripada kooperatif. Ketiga, teori realisme ini berangkat dari human nature untuk mendiskripsikan sifat negara, sehingga teori ini berasumsi bahwa negara juga akan bersifat self-help dan akan selalu bersifat selfish untuk memperoleh kepentingan nasionalnya sendiri yakni keamanan dan power. Keempat, struktur internasional dalam realisme klasik dipandang anarki, sehingga negara berinteraksi dalam konteks yang anarki. Asumsi keempat ini memperjelas bahwa tidak adanya otoritas yang lebih tinggi dari negara, sehingga negara bebas bertindak untuk mencapai kepentingannya, Perang Dingin antara US dan USSR adalah salah satu bukti nyatanya.
Dua tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, muncul perang baru yang dinamakan dengan perang dingin. Perang ini disebabkan oleh adanya perbedaan ideologi serta tujuan politik dari dua negara adidaya yaitu, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US). Perbedaan ideologi dan tujuan politik inilah yang menjadi faktor pendorong munculnya konflik maupun rivalitas diantara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua negara adidaya tersebut berusaha untuk saling mempertahankan ideologi mereka masing-masing yaitu, prinsip tentang demokrasi liberal dan ekonomi pasar, ideologi yang berusaha dipertahankan oleh Amerika Serikat atau Blok Barat. Sedangkan, ideologi komunisme dan pemerintahan otoriter, adalah ideologi yang berusaha untuk dipertahankan oleh Uni Soviet atau Blok Timur. Dari sekian banyak hal yang dapat memicu ketegangan, terdapat satu hal yang pada saat itu menarik perhatian seluruh dunia, yaitu kedua negara adidaya tersebut saling berlomba-lomba untuk membangun, mengembangkan, dan mempertahankan senjata nuklir. Amerika menggunakan kebijakan yang dinamakan dengan “containment” yang memiliki tujuan untuk menghambat, serta menghentikan persebaran dari ideologi komunisme di dunia. Jika Amerika menggunakan kebijakan, Uni Soviet menggunakan doktrin “Ekspansi Revolusioner” yang memiliki tujuan untuk menopang pemberontakan komunis yang sedang terjadi di beberapa wilayah. Namun, pada akhirnya, perang dingin berakhir pada tahun 1991 dengan hasil Uni Soviet runtuh dan berhasil dibubarkan. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, Amerika Serikat berhasil menjadi sebuah negara paling kuat di dalam sistem internasional dunia.
Jika dilihat dari perspektif realisme, dapat kita simpulkan bahwa Perang Dingin ini disebabkan oleh adanya persaingan antar kedua blok besar untuk memperebutkan power atau kekuasaan serta pengaruhnya terhadap dunia internasional yang dibawa melalui persebaran ideologinya. Ambisi kekuasaan yang sangat menonjol ini kemudian membimbing kedua negara ini terseret kedalam kekacauan besar yang menghancurkan keamanan dan perdamaian dunia, serta menggambarkan hubungan internasional sebagai suatu pergulatan dalam mengejar kepentingan dan memperebutkan power atau kekuasaan antar negara. Tidak adanya otoritas yang lebih tinggi dari negara atau disebut sebagai kondisi internasional yang anarki, menyebabkan negara bebas bertindak untuk mencapai kepentingannya, hal ini dapat kita lihat melalui konteks dimana kedua negara berlomba-lomba untuk membangun, mengembangkan, dan mempertahankan senjata nuklir. Bipolaritas yang terjadi antar kedua negara ini pada akhirnya mampu mencegah peperangan dalam konteks kondisi perdamaian negatif, dan membuktikan kebenaran pandangan realisme mengenai balance of power.
Defensive Structural Realisme
Defensive structural realisme atau yang sering disebut sebagai defensive neo-realisme merupakan turunan dari teori neo-realisme yang dicetuskan oleh Kenneth Waltz. Defensive neo-realisme ini menekankan pada pembatasan kekuatan/kekuasaan dari aktor internasional. Artinya, teori ini menekankan bahwa negara tidak seharusnya melakukan maksimalisasi kekuatan, tapi hanya mencari kekuatan yang “tepat atau pas”. Apabila terdapat negara yang terlalu kuat, maka negara lain akan melakukan penyeimbangan (balancing) yang justru mendorong konflik semakin besar antar pihak. Dalam defensive neo-realisme dikenal konsep balance of threat yang digagas oleh Stephan Walt (1985), berargumen bahwa respon aliansi antar negara tergantung terhadap persepsi ancaman yang dilihat dari perilaku negara lain atau disebut dengan bandwagon. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa balance of threat ini melihat bagaimana negara tersebut bertindak, tergantung pada adanya ancaman dari negara lain. Ada 4 elemen ancaman yang bisa menjadi acuan sebuah negara yaitu aggregate power (kekuatan populasi, kapabilitas militer, dan dana pertahanan), geographic proximity (semakin dekat jarak antar negara semakin besar potensi ancaman), offensive capabilities (menyerang dengan kapabilitas), dan offensive intentions (keingin tahuan yang memicu kecurigaan). Dalam Causes of War, Stephen Van Evera berpendapat bahwa negara-negara yang bertujuan mempertahankan status quo harus menjadi agresor untuk mencegah agresi di kemudian hari terhadap diri mereka sendiri atau sekutu mereka. Hal tersebut dianggap relevan untuk negara-negara yang memiliki hambatan geografis yang kurang protektif. Sebagai contoh, kasus invasi Rusia terhadap Ukraina.
Latar belakang mengapa Rusia menginvasi Ukraina adalah karena Ukraina ingin bergabung ke NATO, serta posisi Ukraina dinilai cenderung pro dengan Amerika Serikat dan negara-negara barat padahal mereka dulu pernah menjadi satu wilayah yang sama mulai dari abad ke-18 hingga muncul dan runtuhnya Uni Soviet. Hal tersebut tidak disukai oleh Rusia karena dinilai dengan bergabungnya Ukraina ke NATO, maka akan menjadikan wilayah sekitar Rusia menjadi tidak aman dan masa depan Rusia akan dipertaruhkan dengan adanya penyebaran pengaruh NATO ini. Situasi ini yang membuat Putin memilih untuk menginvasi Ukraina untuk mengamankan posisi mereka agar tetap bisa survive. Itulah bukti utama betapa Ukraina menjadi teritori penting bagi strategi keamanan Rusia.
Jika dilihat dari kacamata defensive neo realisme, invasi Rusia ke Ukraina ini terjadi dikarenakan Rusia memandang adanya ancaman berupa geographic proximity (semakin dekat jarak antar negara semakin besar potensi ancaman) dari Ukraina, dengan bergabungnya Ukraina ke NATO. Rusia memandang jika Ukraina bergabung dengan NATO maka akan menyebabkan security dilemma oleh pihak Russia karena ibu kota Moscow berdekatan dengan perbatasan Ukraina sehingga Russia merasa terancam dengan bergabungnya Ukraina ke dalam NATO, karena dapat mengancam territorial ibu kota Russia Moscow yang berdekatan dengan Ukraina, sehingga Russia merespon tindakan Ukraina melalui invasi militer untuk melindungi keamanan nasionalnya.
Offensive Structural Realisme
Offensive Structural Realisme atau yang sering disebut sebagai Offensive Neo-Realisme juga merupakan turunan dari teori neo-realisme, yang dicetuskan oleh John Mearsheimer. Perbedaan mendasar dengan neo-realisme defensive adalah neo-realisme offensive memandang ekspansi militer sebagai kunci jika negara ingin menjamin keamanan dan survivalitas negaranya di tengah struktur internasional yang anarki. Artinya, memaksimalkan kekuatan negara sebesar-besarnya, sehingga akibatnya setiap negara akan berlomba menjadi negara hegemon, setidaknya di level regional dan pada akhirnya di level global. Perbedaan lainnya, neo-realisme offensive ini menekankan pada sikap maksimalisasi kekuatan negara. Contoh isu internasional yang menggambarkan teori neo-realisme offensive ini adalah konflik Tiongkok dalam upayanya mengklaim Laut China Selatan.
Laut Cina Selatan merupakan salah satu wilayah laut terpenting di dunia karena menjadi jalur perdagangan laut sekaligus memiliki sumber daya alam yang melimpah. Berdasarkan data AMTI CSIS diperkirakan setidaknya terdapat 190 Triliun kubik gas alam dan 11 Milyar barel minyak terbukti terkandung di Laut Cina Selatan. Karena hal ini, Laut Cina Selatan menjadi kawasan vital. Dinamika di kawasan ini berkembang ketika Tiongkok melalui sembilan garis putus-putusnya mengklaim Laut Cina Selatan berdasarkan klaim historis mereka. Negara-negara lain seperti Filipina, Vietnam, Malaysia hingga Indonesia yang wilayah lautnya termasuk ataupun berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan pun menentang klaim tersebut. Meskipun banyak mendapat tentangan, aktivitas Tiongkok di Laut Cina Selatan seperti halnya pembangunan pangkalan militer di pulau buatan hingga patroli kapal perang angkatan laut dan coast guard tetap berlangsung dan menciptakan ketegangan dengan negara-negara tetangga di kawasan Laut Cina Selatan.
Jika melihat dari perspektif offensive neo-realisme, aktivitas Tiongkok di Laut Cina Selatan dapat digambarkan sebagai ekspansionis, hal ini dibuktikan dari aksi Tiongkok dalam mengklaim dan membangun pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan. Dapat kita lihat bahwa Tiongkok berusaha menjadi hegemoni dan menjadi dominan dengan mengklaim Laut Cina Selatan, karena Laut Cina Selatan merupakan salah satu wilayah laut terpenting di dunia yang menjadi jalur perdagangan laut internasional. Selain itu, pembangunan pangkalan militer di pulau buatan, patroli kapal perang angkatan laut, coast guard, dan adanya upaya maksimalisasi kekuatan militer dengan peningkatan anggaran belanja militer besar-besaran, dapat dilihat sebagai salah satu bentuk dari ekspansi militer dari Tiongkok dan dapat dinilai sebagai bentuk dari “as powerful as possible”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H