Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kata Tak Tersampaikan, Sunyi Membunuh di Ujung Tali

19 Januari 2025   05:38 Diperbarui: 19 Januari 2025   08:51 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KETIKA KATA TAK TERSAMPAIKAN, SUNYI MEMBUNUH DI UJUNG TALI

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Fenomena Gantung Diri

Kasus bunuh diri dengan menggantung tubuh menggunakan tali terus menjadi fenomena tragis yang terjadi di berbagai tempat. Cara ini sering dipilih karena ketersediaannya yang mudah dan dianggap sebagai jalan cepat untuk mengakhiri penderitaan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pelaku kerap menghadapi tekanan berat, seperti masalah ekonomi, konflik keluarga, atau gangguan kesehatan mental, tanpa mendapatkan dukungan emosional yang memadai. Keheningan mereka sebelum tindakan ini sering kali menjadi tanda bahaya yang tidak terdeteksi oleh orang-orang terdekat, mencerminkan betapa pentingnya kepekaan dan komunikasi dalam mencegah tragedi serupa.

Fenomena meningkatnya kasus bunuh diri, terutama di kalangan laki-laki, menjadi cerminan betapa sunyi dapat menjadi beban yang mematikan. Dalam masyarakat, laki-laki sering kali dibentuk untuk menampilkan kekuatan dan ketangguhan, sementara emosi dan kelemahan dianggap sebagai tanda ketidakmampuan. Akibatnya, banyak dari mereka memilih diam, memendam rasa sakit, dan menjauhi percakapan yang dapat meringankan beban. Ketika kata-kata tak tersampaikan, sunyi bukan hanya menjadi pelarian, tetapi juga jerat yang perlahan mengekang. Esai ini berupaya menggali akar permasalahan ini, memahami bagaimana budaya diam berdampak pada kesehatan mental laki-laki, dan mencari solusi untuk mencegah tragedi sunyi di ujung tali.

Dalam perspektif budaya, laki-laki sering kali dihadapkan pada ekspektasi untuk selalu tampil kuat, tegar, dan mampu mengatasi segala tantangan tanpa menunjukkan kerentanan. Budaya ini membentuk pemahaman bahwa laki-laki sejati adalah mereka yang tidak menangis, tidak mengeluh, dan tidak membiarkan emosi mereka terlihat, terutama di depan orang lain. Akibatnya, banyak laki-laki merasa terperangkap dalam standar yang membatasi, di mana berbicara tentang perasaan atau kesulitan dipandang sebagai tanda kelemahan.

Untuk itu, penting adanya perubahan paradigma dalam memandang maskulinitas, sehingga laki-laki merasa aman dan bebas untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan tanpa takut kehilangan identitas mereka. Sunyi yang dipaksakan oleh ekspektasi ini harus dihentikan, digantikan oleh pemahaman yang lebih inklusif dan mendukung bagi kesehatan mental laki-laki.

Input gambar: balipost.com
Input gambar: balipost.com
Beban Emosional yang Terpendam

Ahli psikologi seperti Dr. John Bowlby, yang dikenal dengan teori keterikatan (attachment theory), memberikan pandangan penting terkait pentingnya hubungan emosional yang sehat. Bowlby menekankan bahwa manusia, terutama laki-laki, membutuhkan keterikatan yang aman untuk berkembang secara emosional. Ketika keterikatan ini terganggu atau tidak ada, individu bisa merasa terisolasi, yang berpotensi memperburuk kondisi mental mereka.

Beban emosional yang terpendam sering menjadi masalah besar yang dihadapi banyak laki-laki, namun sering kali tidak terlihat oleh orang di sekitarnya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mungkin tampak tenang dan menjalani rutinitas seperti biasa, tetapi di dalam hati mereka menyimpan berbagai tekanan yang terus menumpuk. Beban ini bisa berasal dari berbagai aspek kehidupan, seperti tanggung jawab sebagai pencari nafkah utama, konflik dalam hubungan, kegagalan mencapai ekspektasi pribadi atau sosial, hingga trauma masa lalu yang tidak pernah diselesaikan.

Sayangnya, tekanan untuk terlihat tangguh membuat mereka enggan membicarakan masalah ini, bahkan kepada orang-orang terdekat. Ketakutan akan penilaian negatif, seperti dianggap lemah atau tidak kompeten, membuat mereka memilih untuk menahan semuanya sendirian. Namun, memendam emosi bukanlah solusi, melainkan bara api yang perlahan membakar dari dalam. Tanpa jalan keluar, beban tersebut dapat memicu gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, atau bahkan tindakan ekstrem seperti bunuh diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun