Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keputusan MK Soal Presindential Threshold 20%: Apa Dampaknya Bagi Keadilan Demokrasi?

9 Januari 2025   05:41 Diperbarui: 9 Januari 2025   05:41 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: news.detik.com

KEPUTUSAN MK  SOAL PRESIDENTIAL THRESHOLD 20%: APA DAMPAKNYA BAGI KEADILAN DEMOKRASI?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: news.detik.com
Input gambar: news.detik.com
Mahkamah Konstitusi (MK) telah resmi memutuskan bahwa presidential threshold 20% menjadi adalah 0 persen atau dihapus. Artinya, seluruh partai politik peserta Pemilu 2029 yang akan datang berhak mengajukan atau mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Untuk diketahui, MK melalui putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 telah membatalkan ketentuan Pasal 222 UU 7/2024 yang mengatur mengenai ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold).

Keputusan MK ini dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 2 Januari 2025. MK mengabulkan semua permohonan pada perkara 62/PUU-XXI/2023. Putusan MK bersifat final dan mengikat tanpa terkecuali, termasuk bagi pemerintah dan DPR. Penerapan presidential threshold 20% telah menjadi salah satu isu krusial dalam dinamika politik Indonesia, terutama menjelang pemilihan presiden.

Aturan ini menetapkan bahwa partai politik atau gabungan partai harus memiliki minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional untuk dapat mengusung calon presiden. MK kembali menegaskan validitas aturan ini, meskipun menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Bagi sebagian pihak, presidential threshold dianggap sebagai mekanisme untuk menyaring kandidat dan menjaga stabilitas politik. Namun, bagi yang lain, aturan ini dipandang sebagai penghambat demokrasi yang membatasi pilihan rakyat.

Sistem Presidential Threshold telah diperkenalkan dalam pemilu Indonesia melalui Undang-Undang Pemilu pada 2004 sebagai bagian dari upaya mereformasi sistem politik pascareformasi. Tujuan utama dari aturan ini adalah untuk mengurangi fragmentasi politik yang terjadi akibat banyaknya partai politik yang berkompetisi. Dengan menetapkan ambang batas pencalonan sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara nasional, diharapkan hanya partai atau koalisi yang memiliki dukungan signifikan yang dapat mengusung calon presiden.

Hal ini dirancang untuk memastikan stabilitas pemerintahan pasca pemilu dengan menciptakan koalisi yang lebih solid di parlemen. Penerapan aturan ini dimaksudkan juga untuk menyaring kandidat presiden agar hanya mereka yang dianggap memiliki basis dukungan yang kuat yang bisa maju dalam kontestasi. Namun, seiring waktu, aturan ini mulai menuai kritik karena dianggap tidak lagi relevan dengan dinamika politik yang semakin berkembang.

Aturan presidential threshold 20% telah menjadi topik perdebatan panjang di kalangan politikus, akademisi, dan masyarakat. Kritik utama terhadap aturan ini adalah bahwa ia membatasi ruang demokrasi dengan hanya memberikan kesempatan kepada partai besar atau koalisi besar untuk mengusung calon presiden. Akibatnya, partai kecil atau independen yang mungkin memiliki kandidat berkualitas menjadi tersisih. Selain itu, aturan ini juga dianggap memaksa terbentuknya koalisi pragmatis yang sering kali tidak berbasis ideologi, melainkan semata untuk memenuhi ambang batas.

Di sisi lain, para pendukung threshold berargumen bahwa aturan ini penting untuk mencegah fragmentasi politik yang dapat menghambat stabilitas pemerintahan. Namun, dalam praktiknya, threshold ini kerap menimbulkan tantangan, seperti berkurangnya variasi pilihan bagi rakyat, munculnya oligarki politik, dan melemahnya persaingan politik yang sehat. Kombinasi antara dukungan dan kritik ini membuat aturan ini menjadi salah satu isu paling kontroversial dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Terhadap keputusan MK baru-baru ini, menuai kritik tajam, terutama dari kelompok yang menganggap threshold sebagai penghalang demokrasi. Mereka berpendapat bahwa aturan ini mencederai prinsip kesetaraan politik dengan meminggirkan partai kecil dan calon independen, sehingga mempersempit pilihan rakyat dalam memilih pemimpin.

Di sisi lain, pendukung keputusan MK menyebut bahwa threshold ini penting untuk mendorong terbentuknya koalisi yang kuat sejak awal, sehingga pemerintahan lebih solid. Namun demikian, putusan ini mempertegas dilema antara menjaga stabilitas politik dan memastikan keterbukaan demokrasi. Dengan mempertahankan threshold 20%, MK dinilai lebih memprioritaskan stabilitas sistem politik ketimbang membuka ruang partisipasi politik yang lebih inklusif.

Penghapusan presidential threshold 20% dapat membawa dampak besar bagi keadilan demokrasi di Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Langkah ini, jika diambil, berpotensi membuka ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik, terutama bagi partai kecil, calon independen, dan kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Dengan menghapus ambang batas, proses pemilihan presiden menjadi lebih inklusif, memberikan kesempatan kepada lebih banyak kandidat untuk tampil dan menawarkan gagasan serta visi yang beragam kepada masyarakat. Hal ini dapat meningkatkan persaingan politik yang sehat, memperkuat legitimasi pemilu, dan memperluas pilihan rakyat dalam menentukan pemimpin mereka.

Selain itu, penghapusan threshold dapat mengurangi dominasi partai besar dalam proses pencalonan presiden. Tanpa ambang batas, proses demokrasi akan lebih berfokus pada kualitas kandidat daripada koalisi pragmatis yang sering kali tidak berbasis ideologi. Kandidat dari berbagai latar belakang dan skala partai politik dapat maju, memungkinkan munculnya pemimpin yang lebih representatif dan inovatif. Hal ini juga dapat meminimalisasi praktik oligarki politik, di mana kekuasaan sering kali terpusat pada segelintir elit.

Namun, penghapusan threshold juga membawa tantangan tersendiri. Salah satu kekhawatirannya adalah potensi fragmentasi politik, di mana terlalu banyak kandidat yang maju dapat mempersulit proses konsolidasi dukungan dan meningkatkan risiko ketidakstabilan politik. Pemerintah terpilih mungkin menghadapi kesulitan dalam membangun koalisi yang solid di parlemen, yang berpotensi menghambat proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Meski demikian, fragmentasi ini dapat diminimalisasi melalui penguatan sistem pemilu dan pendidikan politik yang mendorong pemilih untuk lebih rasional dalam memilih kandidat.

Keadilan demokrasi sebagai sistem yang idealnya memberikan ruang bagi seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi secara setara dalam menentukan arah bangsa. Namun, dalam praktiknya, aturan seperti presidential threshold 20% menunjukkan adanya tantangan dalam memastikan prinsip tersebut terwujud. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi berkelanjutan terhadap aturan dan mekanisme yang diterapkan dalam sistem demokrasi. Selain itu, pentingnya langkah evaluasi yang harus melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, masyarakat sipil, dan partai politik, untuk menciptakan sistem yang tidak hanya stabil tetapi juga adil. Dengan terus meninjau dan memperbaiki aturan yang ada, Indonesia dapat memastikan bahwa demokrasi berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis, sehingga tetap menjadi alat untuk mewujudkan kepentingan rakyat secara luas dan menciptakan pemerintahan yang benar-benar mewakili aspirasi bersama.

Pesan pentingnya bahwa demokrasi sejatinya adalah milik semua rakyat, bukan hanya segelintir elit. Dalam setiap aturan yang diterapkan, termasuk presidential threshold, penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan inklusivitas tetap menjadi prioritas utama. Dengan menjaga demokrasi yang terbuka dan representatif, kita tidak hanya menghormati hak setiap individu, tetapi juga membangun fondasi bangsa yang kokoh dengan prinsip keadilan berdemokrasi.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun