PENDIDIKAN TINGGI: FENOMENA KOMERSIALISASI GELAR, MENGGADAIKAN MAKNA INTELEKTUAL DAN KUALITAS
REPUTASI*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Dunia pendidikan tinggi terusik dengan beragam komentar yang memandang bahwa telah terjadi obral gelar, tanpa mempertimbangkan kualitas kampus lagi sehingga mengalami pergeseran fungsi yang cukup signifikan. Perguruan tinggi yang dulunya dianggap sebagai tempat pembentukan karakter dan intelektual kini lebih sering dilihat sebagai industri yang memproduksi gelar secara massal. Komersialisasi di sektor ini membuat gelar akademis menjadi semacam komoditas yang diperdagangkan, dengan berbagai program cepat atau "fast track" yang menjanjikan gelar dalam waktu singkat.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran terkait penurunan standar akademik, di mana esensi pembelajaran sejati dan kualitas pendidikan kerap kali terabaikan demi keuntungan finansial. Ketika fokus bergeser dari kualitas menuju kuantitas, reputasi pendidikan tinggi pun berada di ujung tanduk, seolah-olah nilai intelektual hanya menjadi formalitas. Artikel ini akan membahas bagaimana komersialisasi gelar ini mengancam makna pendidikan tinggi dan merusak kualitas lulusan yang dihasilkannya.
Gelar akademik, dalam masyarakat modern, sering kali dianggap sebagai tolok ukur utama kompetensi dan kredibilitas seseorang. Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, semakin banyak orang yang berlomba-lomba mengejar gelar tinggi, baik itu S1, S2, hingga S3. Namun, di balik maraknya perolehan gelar akademik, muncul sebuah dilema: apakah gelar-gelar ini benar-benar mencerminkan kualitas kepemimpinan yang diperlukan dalam menghadapi berbagai tantangan kontemporer?
Akar Komersialisasi Gelar
Akar komersialisasi gelar di perguruan tinggi dapat ditelusuri dari beberapa faktor utama yang memicu perubahan besar dalam tujuan dan operasional institusi pendidikan. Salah satu pendorong utamanya adalah motivasi ekonomi dari perguruan tinggi itu sendiri. Dengan meningkatnya biaya operasional kampus serta persaingan yang ketat di antara universitas, banyak institusi merasa perlu untuk mengutamakan pendapatan sebagai cara bertahan hidup dan berkembang. Akibatnya, strategi bisnis yang mengarah pada "pabrik gelar" mulai berkembang, dengan program-program yang dirancang untuk menarik lebih banyak mahasiswa melalui waktu studi yang lebih singkat dan proses yang dipermudah. Faktor lain yang turut memperburuk situasi adalah permintaan pasar kerja yang tinggi terhadap gelar formal sebagai persyaratan utama perekrutan. Di berbagai sektor, gelar masih dianggap sebagai simbol kompetensi, yang akhirnya mendorong mahasiswa untuk mengejar gelar demi memenuhi tuntutan pasar, bukan karena motivasi untuk memperdalam ilmu pengetahuan atau keterampilan. Hal ini memaksa kampus-kampus untuk menyediakan lebih banyak program "fast track" atau jalur cepat, di mana mahasiswa dapat memperoleh gelar dalam waktu singkat, terkadang tanpa memperhatikan kualitas kurikulum dan evaluasi akademik yang memadai.
Akibatnya, perguruan tinggi mulai bergeser dari tempat pengembangan intelektual menjadi sekadar industri yang menjual gelar. Mahasiswa tak lagi dipandang sebagai calon intelektual, tetapi sebagai konsumen yang harus dipuaskan agar tetap bertahan di lingkungan kompetitif. Pergeseran pandangan ini akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan itu sendiri, di mana fokus pada kuantitas lulusan mengorbankan standar akademik yang seharusnya dijaga. Fenomena ini memunculkan kritik terhadap dunia pendidikan tinggi, yang dianggap menggadaikan kualitas dan integritas intelektual demi mengejar keuntungan finansial semata.
Dampak Terhadap KualitasKomersialisasi gelar membawa dampak signifikan terhadap kualitas pendidikan tinggi, menyebabkan penurunan standar akademik dan kualitas lulusan yang dihasilkan. Ketika perguruan tinggi lebih berfokus pada kuantitas daripada kualitas, sering kali standar kurikulum dan proses evaluasi akademik menjadi hal yang dikompromikan. Program-program cepat, atau yang dikenal sebagai "fast track," dirancang untuk mempersingkat waktu kuliah tanpa mempertimbangkan kedalaman materi dan keterampilan yang harus dikuasai mahasiswa. Akibatnya, lulusan sering kali memiliki pengetahuan teoretis yang dangkal dan keterampilan praktis yang kurang memadai untuk dunia kerja. Ini tidak hanya merugikan mahasiswa yang bersangkutan, tetapi juga memengaruhi persepsi masyarakat terhadap perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat untuk menempa kemampuan intelektual dan profesional yang mumpuni.
Selain itu, komersialisasi gelar mengubah orientasi mahasiswa dari "pencari ilmu" menjadi "pembeli gelar." Dengan kampus yang mempermudah perolehan gelar demi menarik lebih banyak mahasiswa, orientasi pada pengembangan diri dan pemahaman mendalam terhadap disiplin ilmu yang dipelajari semakin berkurang. Mahasiswa hanya tertarik pada ijazah sebagai tiket kerja, bukan pada kompetensi yang seharusnya mendasari gelar tersebut. Di sisi lain, budaya akademik yang sehat, di mana riset, eksplorasi ilmiah, dan inovasi seharusnya menjadi fokus utama, perlahan-lahan tergantikan oleh kebutuhan untuk memenuhi tuntutan pasar. Dosen pun menghadapi tekanan untuk "menyesuaikan" penilaian demi mendukung tingkat kelulusan yang tinggi dan memenuhi target kelulusan yang dicanangkan perguruan tinggi.