ANOMALI NARASI DEMOKRASI: ANTARA KEBEBASAN EKSPRESI DAN REPRESI POLITIK
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Demokrasi seringkali dikemas sebagai sistem politik yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, partisipasi rakyat, dan transparansi pemerintahan. Namun, dalam praktiknya, janji-janji ini kerap hanya menjadi narasi yang tidak sejalan dengan realitas politik. Anomali narasi demokrasi terjadi ketika pemerintah mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi, tetapi pada saat yang sama menerapkan tindakan yang membatasi kebebasan dan menekan oposisi.
Pemerintah sering kali mengklaim menjunjung tinggi kebebasan, keadilan, dan keterbukaan, namun di balik itu, kebijakan yang diterapkan justru membatasi kebebasan berekspresi dan partisipasi masyarakat. Narasi yang menekankan demokrasi digunakan untuk memperkuat citra positif, sementara realitas di lapangan memperlihatkan adanya tindakan represif yang berlawanan dengan prinsip-prinsip tersebut. Ketidakkonsistenan ini mengikis kepercayaan publik dan menciptakan kekecewaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah demokrasi benar-benar dijalankan, atau hanya digunakan sebagai tameng untuk menyembunyikan represi politik?
Anomali Narasi Demokrasi dalam Kebebasan Ekspresi
Anomali narasi demokrasi dalam kebebasan ekspresi terjadi ketika retorika pemerintah yang menjanjikan kebebasan berbicara dan keterbukaan tidak tercermin dalam kebijakan dan tindakan yang diambil. Dalam banyak kasus, negara yang mengklaim sebagai demokrasi justru melakukan pembatasan terhadap ruang publik untuk berekspresi, baik melalui sensor media, pembungkaman kritik, hingga kriminalisasi aktivis.
Kebebasan berekspresi, yang seharusnya menjadi fondasi utama demokrasi, dikaburkan oleh narasi pemerintah yang mempromosikan keterbukaan dan inklusivitas, namun di sisi lain memperkenalkan undang-undang yang memperketat kontrol terhadap suara oposisi atau mengatur media massa agar selaras dengan kepentingan penguasa. Media, sebagai salah satu pilar demokrasi, kerap kali menjadi sasaran dari anomali ini, di mana kebebasan pers dipromosikan di permukaan, tetapi wartawan yang melaporkan kasus korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan menghadapi ancaman hukum atau kekerasan.
Di era digital, kebebasan berekspresi juga terganggu dengan penyensoran dan pemantauan ketat di media sosial, di mana pemerintah memanfaatkan teknologi untuk mengawasi dan mengontrol opini publik. Akibatnya, ruang untuk dialog terbuka semakin menyempit, dan masyarakat terjebak dalam sistem yang secara nominal demokratis, namun pada kenyataannya membatasi hak-hak dasar mereka. Anomali narasi ini tidak hanya menciptakan ketidakseimbangan antara janji demokrasi dan realitas, tetapi juga mengarah pada polarisasi sosial, di mana mereka yang mengkritik pemerintah dianggap sebagai ancaman, sementara hanya suara-suara yang mendukung status quo yang diizinkan untuk berkembang.
Represi Politik: Tindakan di Balik Anomali
Represi politik adalah tindakan konkret yang sering kali berada di balik anomali narasi demokrasi, di mana kebebasan dan keterbukaan yang dijanjikan hanya menjadi ilusi belaka. Alih-alih menciptakan ruang aman bagi kebebasan berekspresi dan partisipasi politik, pemerintah menggunakan alat-alat kekuasaan untuk mengendalikan, menekan, dan membungkam suara-suara yang dianggap mengancam posisi mereka. Tindakan-tindakan represif ini dapat berwujud dalam berbagai bentuk, mulai dari penyensoran media, penangkapan sewenang-wenang terhadap jurnalis dan aktivis, hingga penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan untuk menghentikan aksi protes damai.
Dalam banyak kasus, represi politik disamarkan dengan dalih melindungi keamanan nasional atau menjaga ketertiban umum, sehingga legitimasi tindakannya seolah-olah didukung oleh kepentingan publik. Namun, pada hakikatnya, represi ini bertujuan untuk memperkuat status quo dan menutup kemungkinan adanya perubahan yang diinisiasi oleh oposisi. Ini menyebabkan individu-individu yang berani menyuarakan pendapat berbeda justru terperangkap dalam jebakan hukum yang dirancang untuk membungkam mereka.
Di samping itu, represi politik sering kali dibarengi dengan kampanye propaganda yang kuat, di mana narasi resmi pemerintah didorong secara masif untuk mendiskreditkan lawan politik, menyebarkan ketakutan, dan menciptakan polarisasi di kalangan masyarakat. Akibatnya, publik terpecah antara mereka yang mendukung pemerintah dan mereka yang dianggap subversif atau pengkhianat. Dalam jangka panjang, tindakan represi yang terus berlangsung tidak hanya mengikis kebebasan individu tetapi juga merusak kepercayaan terhadap institusi demokrasi itu sendiri, menjadikannya sekadar simbol kosong yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip kebebasan dan keadilan yang sebenarnya.
Dampak dan Upaya Mengatasi Anomali Narasi dan Represi Politik
Dampak dari anomali narasi demokrasi dan represi politik terhadap masyarakat sangat luas dan meresahkan. Pertama, erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi demokrasi itu sendiri. Ketika narasi demokrasi yang menjanjikan kebebasan berekspresi, keterbukaan, dan keadilan berulang kali tidak terwujud dalam kebijakan nyata, masyarakat mulai meragukan komitmen pemerintah terhadap nilai-nilai demokratis. Kekecewaan ini sering kali memicu apatisme politik, di mana warga negara merasa suaranya tidak lagi diperhitungkan, atau sebaliknya, dapat memicu perlawanan yang lebih keras terhadap otoritas. Kedua, anomali narasi dan tindakan represif cenderung mempolarisasi masyarakat. Di satu sisi, ada kelompok yang mendukung pemerintah, yang seringkali terpapar pada narasi resmi yang dipromosikan secara intensif melalui media yang dikontrol atau dipengaruhi oleh negara. Di sisi lain, ada kelompok yang merasa termarjinalisasi dan ditindas, menciptakan ketegangan sosial yang mendalam, bahkan dapat mengarah pada konflik terbuka atau kekerasan.
Ketiga, melemahnya kualitas demokrasi secara keseluruhan. Negara yang terus-menerus menggunakan tindakan represif untuk membungkam oposisi atau kritik akan kehilangan ciri-ciri penting demokrasi, seperti pluralisme, kebebasan sipil, dan partisipasi politik yang inklusif. Ketika kontrol terhadap media semakin ketat dan hak asasi manusia diabaikan, demokrasi secara bertahap berubah menjadi bentuk otoritarianisme yang terselubung.
Upaya yang dapat diambil untuk mengatasi anomali narasi demokrasi dan represi politik. Pertama, memperkuat akuntabilitas pemerintah melalui mekanisme check and balances yang lebih efektif. Lembaga-lembaga independen, seperti pengadilan atau komisi hak asasi manusia, harus diberdayakan untuk menjaga kebebasan berekspresi dan melindungi hak-hak warga negara dari tindakan represif yang berlebihan.
Kedua, masyarakat sipil memiliki peran penting dalam menentang narasi tunggal yang dikendalikan oleh pemerintah. Media independen dan jurnalis investigatif dapat berperan dalam mengungkap kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan yang tersembunyi, meskipun mereka menghadapi risiko. Upaya pendidikan politik yang berkelanjutan juga sangat penting untuk membangun kesadaran publik tentang hak-hak mereka dalam demokrasi.Â
Ketiga, reformasi kebijakan yang berpihak pada kebebasan sipil, termasuk kebijakan yang melindungi pers dan menghapus undang-undang represif, harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa demokrasi tetap sehat dan tangguh. Hanya dengan mengatasi anomali ini dan menolak represi politik, suatu negara dapat menjaga legitimasi demokrasi dan memelihara kepercayaan publik terhadap sistem yang seharusnya menjamin kebebasan dan keadilan bagi semua warganya.
Menjaga Konsistensi Narasi Demokrasi
Menjaga konsistensi antara narasi demokrasi dan praktik yang nyata sangat penting untuk membangun kepercayaan masyarakat serta memperkuat sistem demokrasi yang sehat. Ketika janji-janji demokrasi, seperti kebebasan berekspresi dan partisipasi publik, terwujud dalam tindakan nyata, masyarakat akan merasa dilibatkan dan dilindungi oleh pemerintah. Sebaliknya, jika terjadi ketidaksesuaian antara narasi dan realitas, kepercayaan publik akan runtuh, menciptakan ketidakpuasan dan apatisme.
Kita harus waspada terhadap tanda-tanda represi politik yang bisa mengancam kebebasan berekspresi sebagai jantung dari demokrasi itu sendiri. Setiap pembatasan terhadap suara kritis, penyensoran media, atau tindakan yang menekan kebebasan berbicara merupakan peringatan akan melemahnya demokrasi. Hanya dengan menjaga kebebasan ini, kita bisa mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan berfungsi untuk kepentingan semua. Mari kita bersama-sama melawan setiap bentuk represi yang mengancam hak-hak kita dan menjaga ruang publik yang terbuka serta inklusif.
Menjaga setiap narasi demokrasi sangat penting untuk menciptakan ruang kebebasan berekspresi yang sehat. Ruang kebebasan berekspresi bukan hanya memberi kesempatan bagi individu untuk berbicara, tetapi juga mendorong inovasi, kreativitas, dan partisipasi aktif dalam proses politik. Dengan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan melindungi hak-hak sipil, kita dapat memastikan bahwa setiap suara didengar dan dihargai, menjadikan demokrasi lebih kuat dan lebih representatif.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H