Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Anomali Narasi Demokrasi: Antara Kebebasan Ekpresi dan Represi Politik

29 Oktober 2024   07:46 Diperbarui: 29 Oktober 2024   07:46 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: antotunggal.com

ANOMALI NARASI DEMOKRASI: ANTARA KEBEBASAN EKSPRESI DAN REPRESI POLITIK

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Demokrasi seringkali dikemas sebagai sistem politik yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, partisipasi rakyat, dan transparansi pemerintahan. Namun, dalam praktiknya, janji-janji ini kerap hanya menjadi narasi yang tidak sejalan dengan realitas politik. Anomali narasi demokrasi terjadi ketika pemerintah mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi, tetapi pada saat yang sama menerapkan tindakan yang membatasi kebebasan dan menekan oposisi.

Pemerintah sering kali mengklaim menjunjung tinggi kebebasan, keadilan, dan keterbukaan, namun di balik itu, kebijakan yang diterapkan justru membatasi kebebasan berekspresi dan partisipasi masyarakat. Narasi yang menekankan demokrasi digunakan untuk memperkuat citra positif, sementara realitas di lapangan memperlihatkan adanya tindakan represif yang berlawanan dengan prinsip-prinsip tersebut. Ketidakkonsistenan ini mengikis kepercayaan publik dan menciptakan kekecewaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah demokrasi benar-benar dijalankan, atau hanya digunakan sebagai tameng untuk menyembunyikan represi politik?

Input sumber gambar: antotunggal.com
Input sumber gambar: antotunggal.com
Anomali Narasi Demokrasi dalam Kebebasan Ekspresi

Anomali narasi demokrasi dalam kebebasan ekspresi terjadi ketika retorika pemerintah yang menjanjikan kebebasan berbicara dan keterbukaan tidak tercermin dalam kebijakan dan tindakan yang diambil. Dalam banyak kasus, negara yang mengklaim sebagai demokrasi justru melakukan pembatasan terhadap ruang publik untuk berekspresi, baik melalui sensor media, pembungkaman kritik, hingga kriminalisasi aktivis.

Kebebasan berekspresi, yang seharusnya menjadi fondasi utama demokrasi, dikaburkan oleh narasi pemerintah yang mempromosikan keterbukaan dan inklusivitas, namun di sisi lain memperkenalkan undang-undang yang memperketat kontrol terhadap suara oposisi atau mengatur media massa agar selaras dengan kepentingan penguasa. Media, sebagai salah satu pilar demokrasi, kerap kali menjadi sasaran dari anomali ini, di mana kebebasan pers dipromosikan di permukaan, tetapi wartawan yang melaporkan kasus korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan menghadapi ancaman hukum atau kekerasan.

Di era digital, kebebasan berekspresi juga terganggu dengan penyensoran dan pemantauan ketat di media sosial, di mana pemerintah memanfaatkan teknologi untuk mengawasi dan mengontrol opini publik. Akibatnya, ruang untuk dialog terbuka semakin menyempit, dan masyarakat terjebak dalam sistem yang secara nominal demokratis, namun pada kenyataannya membatasi hak-hak dasar mereka. Anomali narasi ini tidak hanya menciptakan ketidakseimbangan antara janji demokrasi dan realitas, tetapi juga mengarah pada polarisasi sosial, di mana mereka yang mengkritik pemerintah dianggap sebagai ancaman, sementara hanya suara-suara yang mendukung status quo yang diizinkan untuk berkembang.

Represi Politik: Tindakan di Balik Anomali

Represi politik adalah tindakan konkret yang sering kali berada di balik anomali narasi demokrasi, di mana kebebasan dan keterbukaan yang dijanjikan hanya menjadi ilusi belaka. Alih-alih menciptakan ruang aman bagi kebebasan berekspresi dan partisipasi politik, pemerintah menggunakan alat-alat kekuasaan untuk mengendalikan, menekan, dan membungkam suara-suara yang dianggap mengancam posisi mereka. Tindakan-tindakan represif ini dapat berwujud dalam berbagai bentuk, mulai dari penyensoran media, penangkapan sewenang-wenang terhadap jurnalis dan aktivis, hingga penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan untuk menghentikan aksi protes damai.

Dalam banyak kasus, represi politik disamarkan dengan dalih melindungi keamanan nasional atau menjaga ketertiban umum, sehingga legitimasi tindakannya seolah-olah didukung oleh kepentingan publik. Namun, pada hakikatnya, represi ini bertujuan untuk memperkuat status quo dan menutup kemungkinan adanya perubahan yang diinisiasi oleh oposisi. Ini menyebabkan individu-individu yang berani menyuarakan pendapat berbeda justru terperangkap dalam jebakan hukum yang dirancang untuk membungkam mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun