Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

G30S/PKI Menjadi Warisan Yang Tak Hilang, Apa Yang Harus Dipahami?

30 September 2024   05:04 Diperbarui: 30 September 2024   07:51 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: pngtree.com

G30S/PKI MENJADI WARISAN YANG TAK HILANG, APA YANG HARUS DIPAHAMI?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Mengenang kembali peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 bukan hanya menjadi titik balik dalam sejarah politik Indonesia, tetapi menjadi warisan sosial yang terus mempengaruhi narasi kebangsaan hingga hari ini. Peristiwa tersebut memicu perubahan besar dalam tatanan kebangsaan Indonesia. Sejak itu, G30S/PKI dikenang dengan stigma negatif terhadap komunisme yang melekat kuat di masyarakat Indonesia.

Narasi yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru tidak hanya menyingkirkan ideologi komunis, tetapi juga menciptakan trauma kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi. Meskipun sudah lebih dari setengah abad berlalu, peristiwa ini masih menjadi topik sensitif dan sering dipolitisasi. Oleh karena itu, penting bagi generasi saat ini untuk memahami G30S/PKI dengan pandangan kritis, membedakan antara fakta sejarah dan mitos yang terus bertahan.

Input sumber gambar: mapaybandung.pikiran-rakyat.com
Input sumber gambar: mapaybandung.pikiran-rakyat.com
G30S/PKI dalam Stigma Komunisme dan Pengaruhnya Hingga Kini

Stigma komunisme yang muncul akibat peristiwa G30S/PKI telah menjadi salah satu warisan paling mendalam yang memengaruhi Indonesia hingga kini. Sejak kudeta yang gagal tersebut, komunisme secara sistematis dicitrakan sebagai ancaman utama terhadap negara, dengan ideologi ini dilarang secara resmi melalui TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Selama Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara intensif memanfaatkan propaganda anti-komunis melalui media, pendidikan, dan kebijakan negara, menciptakan pandangan bahwa PKI dan segala hal terkait komunisme adalah musuh bangsa.

Penanaman stigma ini tidak hanya menyasar individu atau kelompok yang dianggap terlibat dengan PKI, tetapi juga meluas kepada siapa pun yang dianggap menyuarakan pandangan kiri atau kritis terhadap pemerintahan. Ini menyebabkan peminggiran, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial bagi banyak pihak, termasuk keluarga korban G30S/PKI, yang selama bertahun-tahun mengalami stigmatisasi sosial.

Stigma ini tetap hidup bahkan setelah berakhirnya era Orde Baru. Meski reformasi politik telah membuka ruang demokrasi yang lebih luas, perasaan anti-komunis masih kuat di berbagai lapisan masyarakat. Setiap diskusi atau wacana yang mengkritisi narasi resmi peristiwa G30S/PKI kerap kali dianggap sebagai upaya untuk menghidupkan kembali komunisme, yang memicu reaksi keras dari kelompok-kelompok nasionalis dan agama. Pengaruh stigma komunisme ini tidak hanya terbatas pada isu sejarah, tetapi juga merembes ke dalam politik kontemporer. Label "komunis" sering digunakan sebagai senjata politik untuk mendiskreditkan lawan atau menekan kelompok yang dianggap berseberangan dengan kepentingan mayoritas. Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai kampanye politik, di mana tuduhan komunis atau pro-komunis bisa dijadikan alat untuk membangkitkan ketakutan dan kebencian.

Dengan begitu, peristiwa G30S/PKI terus digunakan sebagai alat politik yang efektif untuk mempertahankan kontrol sosial dan politik, meskipun pemahaman publik terhadap komunisme itu sendiri sering kali sangat terbatas dan dipenuhi prasangka. Inilah yang membuat stigma komunisme, sebagai warisan dari G30S/PKI, masih sangat relevan dan memengaruhi kehidupan sosial dan politik Indonesia hingga saat ini.

Input sumber gambar: youtube.com
Input sumber gambar: youtube.com
Warisan Sosial dan Politik G30S/PKI

Warisan sosial dan politik G30S/PKI masih terasa kuat dalam tatanan masyarakat dan pemerintahan Indonesia hingga hari ini. Secara sosial, peristiwa tersebut meninggalkan trauma mendalam bagi banyak keluarga yang terlibat, baik sebagai korban kekerasan maupun sebagai pihak yang dituduh terlibat dengan PKI. Stigma terhadap keluarga eks-PKI terus berlanjut selama puluhan tahun, menyebabkan marginalisasi dan kesulitan dalam mendapatkan hak-hak dasar, seperti akses pekerjaan dan pendidikan.

Di ranah politik, G30S/PKI juga digunakan sebagai alat politik yang efektif, di mana tuduhan komunis sering kali dipakai untuk menjatuhkan lawan atau menimbulkan ketakutan dalam masyarakat. Narasi anti-komunisme yang kuat masih menjadi bagian dari wacana politik nasional, terutama dalam periode pemilu, menunjukkan bahwa warisan politik dari peristiwa ini tetap menjadi bagian penting dari dinamika kekuasaan di Indonesia.

Warisan bagi generasi muda agar memahami G30S/PKI bukan hanya sebagai peristiwa sejarah yang tercatat, tetapi sebagai bagian penting dari pembelajaran tentang dinamika politik, sosial, dan budaya bangsa. Penting bagi mereka untuk mengenali bahwa sejarah G30S/PKI telah mengalami berbagai interpretasi dan manipulasi, terutama selama era Orde Baru, sehingga perlu disikapi dengan sikap kritis dan terbuka.

Selain itu, memahami peristiwa ini juga berarti menggali pelajaran mengenai dampak stigma dan ketidakadilan, di mana ribuan orang menjadi korban tanpa proses hukum yang adil. Generasi muda harus menyadari bahwa rekonsiliasi dan keterbukaan terhadap berbagai perspektif sejarah adalah langkah penting dalam membangun masa depan yang lebih inklusif. Memahami G30S/PKI secara utuh juga berarti menolak penggunaan sejarah sebagai alat politik untuk membangun kebencian, dan sebaliknya, menjadikannya landasan untuk memperjuangkan keadilan dan persatuan di Indonesia.

Berefleksi atas Sejarah G30S/PKI

Pentingnya belajar dari sejarah, seperti peristiwa G30S/PKI, sangat penting untuk mencegah terulangnya konflik serupa di masa depan. Sejarah mengajarkan kita tentang bahaya polarisasi ideologi, penyalahgunaan kekuasaan, dan stigma yang dapat menghancurkan persatuan bangsa. Dengan memahami akar penyebab konflik serta dampaknya, generasi saat ini dapat membangun kesadaran akan pentingnya dialog, keadilan, dan toleransi dalam menjaga harmoni sosial. Mempelajari sejarah juga memungkinkan kita untuk membuat keputusan yang lebih bijaksana, guna mencegah perpecahan dan menghindari penggunaan kekerasan sebagai solusi.

Mari kita bersama-sama menggali lebih dalam sejarah G30S/PKI dengan pikiran terbuka dan kritis, tanpa terbatas pada narasi tunggal yang diwariskan. Dengan menggali lebih dalam, kita dapat menemukan fakta-fakta yang mungkin tersembunyi dan menghargai kompleksitas peristiwa tersebut. Sikap kritis dan terbuka dalam mempelajari sejarah bukan hanya membantu kita memahami masa lalu dengan lebih jernih, tetapi juga memberi kita pelajaran berharga untuk membangun masa depan yang lebih adil dan inklusif.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun