Dilema ini menunjukkan bahwa kebenaran, meskipun penting dan bernilai, sering kali tidak mudah diterima karena memerlukan kerendahan hati dan keterbukaan untuk diakui dan dipahami. Menghadapi kenyataan ini, penting bagi pemberi teguran untuk mempertimbangkan cara penyampaiannya dengan menggunakan pendekatan yang lebih empatik, berbasis dialog, dan menghargai pihak yang ditegur.
Bagi penerima teguran juga perlu belajar untuk menerima kritik dengan lapang dada, memahami bahwa kritik bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk tumbuh. Dengan demikian, keseimbangan antara menyampaikan kebenaran dan mengelola ketidaksenangan menjadi kunci untuk mencapai tujuan bersama yang lebih konstruktif dan harmonis.
Sebagai penutup, pentingnya cara komunikasi yang bijaksana dan pemahaman bersama tidak dapat diabaikan agar kebaikan dalam teguran dapat diterima tanpa menimbulkan konflik. Teguran yang disampaikan dengan empati, rasa hormat, dan ketulusan memiliki peluang lebih besar untuk dipahami dan diterima dengan baik, sehingga tujuannya untuk memperbaiki dan mengarahkan dapat tercapai.
Di sisi lain, penerima teguran perlu memiliki sikap terbuka dan kesediaan untuk melihat kritik sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dengan membangun komunikasi yang efektif dan saling memahami, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih harmonis, di mana kebenaran dapat disampaikan tanpa memicu ketidaksenangan yang berlebihan.(*)