Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Paradoks: Mencintai Kepalsuan, Membunuh Kebenaran

11 Agustus 2024   10:15 Diperbarui: 11 Agustus 2024   10:21 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEBUAH PARADOKS : MENCINTAI KEPALSUAN, MEMBUNUH KEBENARAN

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Dalam era digital yang serba cepat ini, informasi menyebar lebih cepat daripada kebenaran itu sendiri. Sebuah studi yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 2018 menemukan bahwa berita palsu 70% lebih mungkin untuk dibagikan di media sosial dibandingkan dengan berita yang benar.

Fenomena ini menggambarkan betapa kuatnya daya tarik hoaks, yang sering kali memanfaatkan emosi manusia, seperti rasa takut, kemarahan, dan kebencian. Ketika hoaks merajalela, kebenaran menjadi korban utama, tenggelam dalam lautan informasi palsu yang disebarkan tanpa henti.

Paradoks manusia yang mencintai kepalsuan dan sekaligus membunuh kebenaran mencerminkan kontradiksi mendalam dalam perilaku sosial kita. Di satu sisi, ada ketertarikan yang kuat terhadap informasi yang menghibur atau memperkuat keyakinan pribadi, meskipun itu palsu. Namun, di sisi lain, ketika kita menerima dan menyebarkan kepalsuan ini, kita secara tidak langsung turut andil dalam menghancurkan kebenaran yang sesungguhnya.

Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana kepalsuan menjadi lebih diinginkan, sementara kebenaran yang menantang atau tidak menyenangkan justru ditolak dan diabaikan. Paradoks ini bukan hanya merusak persepsi kita terhadap realitas, tetapi juga mengancam integritas sosial yang dibangun di atas fondasi kebenaran.

Fenomena Kecintaan terhadap Kepalsuan

Hoaks adalah informasi palsu atau menyesatkan yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk menipu atau memanipulasi penerima informasi. Hoaks sering kali menyamar sebagai berita atau fakta yang tampak meyakinkan, sehingga banyak orang yang mempercayainya tanpa memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu. Di era digital, penyebaran hoaks menjadi semakin cepat dan masif, terutama melalui media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform berbagi konten lainnya.

Kecepatan penyebaran hoaks di dunia digital disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, algoritma media sosial cenderung mempromosikan konten yang mendapat banyak interaksi, sehingga hoaks yang kontroversial atau emosional lebih mudah viral. Kedua, sifat anonim di internet memungkinkan penyebar hoaks untuk menyebarkan informasi tanpa takut akan konsekuensi. Ketiga, kecenderungan manusia untuk mencari konfirmasi atas keyakinan atau prasangka pribadi (confirmation bias) membuat hoaks yang sesuai dengan pandangan seseorang lebih mudah diterima dan disebarkan.

Orang cenderung lebih suka percaya dan menyebarkan hoaks karena berbagai alasan psikologis. Konfirmasi bias membuat mereka lebih mudah menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan atau prasangka yang sudah ada, tanpa memeriksa kebenarannya. Selain itu, kebutuhan akan sensasi mendorong individu untuk mencari dan berbagi cerita yang mengejutkan atau dramatis, meskipun cerita tersebut tidak benar.

Hoaks memuaskan kebutuhan psikologis individu dengan memberikan perasaan kontrol, kepastian, dan identitas. Ketika seseorang menemukan hoaks yang sesuai dengan keyakinan atau emosinya, mereka merasa terkonfirmasi dan mendapatkan rasa aman dalam dunia yang kompleks dan tidak pasti. Hoaks juga memungkinkan orang untuk mengekspresikan identitas atau afiliasi kelompok mereka, memperkuat rasa memiliki dan solidaritas, meskipun ini dilakukan dengan cara yang menyesatkan. Akibatnya, meskipun tidak berdasar pada kebenaran, hoaks tetap memberikan kepuasan emosional yang kuat bagi mereka yang mempercayainya.

Kebencian sebagai Alat Pembunuh Kebenaran

Kebencian sering kali menjadi alat yang efektif dalam membunuh kebenaran, karena ia mampu memanipulasi emosi manusia hingga mereka menolak untuk menerima fakta yang bertentangan dengan perasaan mereka. Ketika kebencian tertanam dalam diri seseorang atau kelompok, mereka cenderung mencari dan mempercayai informasi yang memperkuat kebencian tersebut, meskipun informasi itu sebenarnya salah atau tidak berdasar.

Hoaks, yang sering kali dirancang untuk membangkitkan kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu, dengan cepat menyebar dan diterima tanpa banyak pertanyaan. Seiring waktu, kebencian yang terus dipupuk oleh hoaks tidak hanya merusak hubungan antarmanusia tetapi juga mengikis fondasi kebenaran dalam masyarakat. Kebenaran yang seharusnya menjadi landasan bersama, justru terpinggirkan oleh narasi kebencian yang lebih mudah dikonsumsi dan disebarkan.

Kebenaran sering kali menjadi korban dalam arus informasi modern karena beberapa faktor mendasar yang berkaitan dengan sifat manusia dan mekanisme penyebaran informasi di era digital. Pertama, kebenaran biasanya kompleks dan membutuhkan pemahaman yang mendalam, sedangkan hoaks atau informasi palsu sering kali disajikan secara sederhana dan menarik, sehingga lebih mudah diterima oleh publik. Dalam dunia yang serba cepat, di mana perhatian dan waktu menjadi komoditas langka, orang lebih cenderung memilih informasi yang langsung sesuai dengan apa yang mereka ingin dengar atau percayai, tanpa merasa perlu memverifikasinya.

Kedua, kebenaran sering kali menantang keyakinan atau asumsi yang sudah lama dianut oleh seseorang. Ketika fakta baru muncul yang bertentangan dengan pandangan lama, banyak orang merasa terancam dan menolak menerima kenyataan tersebut. Dalam konteks ini, kebohongan atau setengah kebenaran yang mendukung pandangan mereka menjadi lebih nyaman untuk dipercaya.

Ketiga, algoritma media sosial dan platform digital lainnya secara otomatis memprioritaskan konten yang mendapatkan banyak interaksi, terlepas dari apakah konten tersebut benar atau tidak. Ini menciptakan lingkaran setan di mana konten yang kontroversial dan sering kali salah menjadi viral, sementara informasi yang benar namun kurang sensasional tenggelam dalam lautan konten.

Keempat, kebenaran sering kali dikorbankan demi tujuan politik atau ekonomi. Dalam banyak kasus, aktor-aktor tertentu sengaja menyebarkan disinformasi untuk memanipulasi opini publik atau untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Hoaks digunakan sebagai alat propaganda untuk menciptakan narasi yang menguntungkan pihak tertentu, sementara fakta yang sebenarnya diabaikan atau bahkan diserang.

Mengatasi Paradoks: Mempertahankan Kebenaran

Untuk mengatasi paradoks mencintai kepalsuan dan membunuh kebenaran, langkah utama yang harus diambil adalah mempertahankan dan memperjuangkan kebenaran dengan lebih aktif dan sistematis. Pertama, pendidikan literasi digital perlu diperkuat agar individu mampu mengenali dan menolak hoaks, sekaligus meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Masyarakat harus diajarkan untuk tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga untuk memverifikasi sumber dan isi informasi tersebut.

Selain itu, peran media yang bertanggung jawab sangat penting dalam menyajikan informasi yang akurat dan berimbang, serta mengoreksi informasi palsu yang tersebar luas. Platform media sosial juga harus berperan lebih aktif dalam menangkal penyebaran hoaks dengan algoritma yang lebih mendukung penyebaran kebenaran, serta menerapkan kebijakan yang tegas terhadap konten yang menyesatkan. Di tingkat individu, ada kebutuhan untuk mengembangkan budaya dialog yang terbuka, di mana orang dapat mendiskusikan perbedaan pandangan dengan sikap yang menghargai kebenaran daripada kebencian.

Kebenaran adalah fondasi dari masyarakat yang sehat dan berkeadilan. Tanpa kebenaran, kepercayaan antarindividu dan institusi hancur, membuka jalan bagi ketidakadilan, konflik, dan perpecahan. Dalam setiap tindakan dan keputusan, kebenaran harus selalu menjadi landasan utama, karena hanya dengan menjunjung tinggi kebenaran, kita dapat membangun komunitas yang harmonis, adil, dan berkelanjutan untuk generasi yang akan datang.

Saatnya kita mengambil sikap lebih kritis dalam menerima setiap informasi yang kita temui. Jangan biarkan hoaks dan kebencian membutakan kita dari kebenaran. Luangkan waktu untuk memeriksa sumber, verifikasi fakta, dan hindari menyebarkan informasi yang belum terbukti kebenarannya. Mari berperan aktif dalam menjaga kebenaran dengan menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Dengan bersikap kritis dan bertanggung jawab, kita dapat membangun masyarakat yang lebih cerdas dan berlandaskan kebenaran.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun