Mohon tunggu...
Salma Rodliyatu Zalfa
Salma Rodliyatu Zalfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - STEI SEBI

Mahasiswa STEI SEBI prodi Akuntansi Syariah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradigma Tata Kelola Syariah Lembaga Keuangan Islam

14 November 2023   16:45 Diperbarui: 14 November 2023   16:54 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Salma Rodliyatu Zalfa -- STEI SEBI

Tata kelola menjadi persyaratan esensial bagi setiap sistem keuangan, baik yang berbasis Islam maupun konvensional, agar dapat menyediakan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas seluruh lapisan masyarakat. Keuangan Islam, yang merupakan bagian integral dari kerangka ketuhanan secara keseluruhan, memiliki paradigma dan dasar teori yang berbeda dari keuangan konvensional. Terdapat empat prinsip khas dalam keuangan Islam, meliputi pembagian risiko dan prinsip materialitas yang menekankan keterkaitan bisnis dan operasi dengan perekonomian riil.

Tata kelola syariah menjadi elemen kunci dalam keuangan Islam sejak awal pengembangannya pada akhir tahun 1970-an. Seiring berjalannya waktu, fokus pada aspek ini semakin meningkat, terutama di pasar-pasar seperti Malaysia, Bahrain, Pakistan, Oman, dan Kuwait. Keterkaitan yang baik antara keuangan Islam, yang mencakup prinsip-prinsip syariah, dan keuangan yang bertanggung jawab dan sosial telah terbentuk secara solid. Keuangan Islam memiliki potensi untuk menciptakan nilai yang bermanfaat bagi umat manusia dan mencegah terjadinya kerugian. Dengan demikian, keuangan Islam mampu mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang diusung oleh UNDP, memberikan peluang bagi lembaga keuangan Islam untuk mengembangkan proses dan produk yang mendukung tujuan keadilan sosial, kesetaraan, dan keberlanjutan.

Prinsip selanjutnya dalam keuangan Islam adalah bahwa usaha dan operasional tidak boleh bersifat eksploitatif yang dapat menimbulkan ketidakadilan terhadap pihak manapun. Selain itu, kegiatan yang dianggap berdosa tidak boleh mendapatkan pembiayaan.

Bank-bank dan lembaga keuangan, baik yang konvensional maupun yang berbasis syariah atau etika, ketika beroperasi untuk meningkatkan pendapatan dan keuntungan, perlu mempertimbangkan dampak praktik dan bisnis mereka pada manusia, hewan, dan lingkungan. Semua kegiatan manusia harus sejalan dengan kebutuhan alam semesta dan umat manusia demi kelangsungan hidup dan keberlanjutan. Penggunaan sumber daya alam yang tidak rasional, tidak etis, dan tidak bermoral dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, negara bagian, otoritas pengatur, dan pemangku kepentingan bank dan lembaga keuangan di berbagai perekonomian perlu merancang dan mengikuti agenda bersama berdasarkan aturan disiplin dan tanggung jawab baru yang dapat mengarah pada kesejahteraan dan solidaritas bersama.

Meskipun keuangan global, termasuk keuangan Islam, tidak selalu mengaitkan konsep Corporate Social Responsibility (CSR), Value-Based Intermediation (VBI), dan Environmental, Social, and Governance (ESG) dengan strategi bisnis mereka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Dalam penelitian Ayub dkk, 2023. Implikasi penelitian menunjukkan bahwa bank syariah belum berhasil menerapkan nilai-nilai etika seperti pemerataan, keadilan, transparansi, dan tingkat kesejahteraan yang lebih luas. Banyak produk mereka tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah yang tertulis dan dapat merugikan konsep keuangan Islam dalam hal kredibilitas dan integritas. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian akuntabilitas dan tata kelola yang komprehensif untuk mencapai tujuan tersebut.

Prinsip dasar keuangan Islam adalah pembagian risiko dan imbalan secara adil, di mana pengembalian uang tunai atau pembiayaan yang bebas risiko dianggap tidak sah karena melibatkan riba. Jika kegiatan produksi dan usaha didanai melalui pinjaman dan hutang, bukan melalui ekuitas, maka seluruh transaksi yang mendasarinya harus melibatkan usaha nyata dan kegiatan produksi baru yang mengaitkan risiko dan manfaat dengan kepemilikan. Namun, dalam praktiknya, lembaga keuangan Islam tidak selalu beroperasi sesuai dengan sistem keuangan Islam yang kompatibel saat menerapkan prinsip pembagian risiko dan imbalan.

perlunya implementasi antarmuka sistemis dan kerangka kerja baru dalam tata kelola Institusi Keuangan Islam (IFI) jika tujuan syariah dalam pengembangan sistem baru ingin tercapai. Fokus utama kerangka kerja tersebut harus mencakup proses sertifikasi produk syariah, peningkatan kapasitas, dan pertimbangan faktor keberlanjutan. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mendorong pengembangan keuangan Islam sesuai dengan filosofi dan prinsipnya.

Pentingnya menekankan keterhubungan keuangan dengan sektor riil juga disoroti sebagai upaya untuk mencapai tujuan pertumbuhan berkelanjutan dan bersama. Pertumbuhan tersebut diukur dengan kriteria yang berbeda dari pertumbuhan PDB atau pendapatan rata-rata yang umumnya digunakan saat ini, dengan tujuan menjaga kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.

Dalam perspektif hukum alam, uang seharusnya hanya berfungsi sebagai alat tukar, menandakan bahwa uang tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas yang diperdagangkan sebagaimana barang dan jasa. Sistem perbankan dan keuangan yang etis akan menolak ide bahwa uang dapat dihasilkan tanpa melibatkan produksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia, yang dapat menghindari eksploitasi massal oleh sejumlah kecil orang kaya. Namun, implementasi tujuan dan rencana ini memerlukan reformasi dalam rezim regulasi yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun