B. Garis Besar Pengaturan dalam Hukum Indonesia
Desain tata letak sirkuit terpadu adalah rancangan tiga dimensi elemen-elemen dalam sirkuit terpadu, yang minimal memiliki satu elemen aktif dan interkoneksi untuk pembuatan sirkuit tersebut. Desain ini juga dikenal dengan istilah topografi atau lempengan semikonduktor dan berfungsi sebagai cetak biru untuk membuat sirkuit terpadu, yang digunakan dalam produk seperti komputer, telepon seluler, dan perangkat telekomunikasi.
Sirkuit terpadu, yang dihasilkan dari desain tata letak tersebut, adalah produk dengan berbagai elemen, setidaknya satu elemen aktif, yang saling terhubung dalam semikonduktor untuk fungsi elektronik. Perlindungan hukum diberikan untuk desain tata letak sirkuit terpadu, termasuk produk akhir yang mengandung sirkuit tersebut. Undang-Undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (UU DTLST) memberikan hak eksklusif kepada pencipta desain untuk menggunakan atau memberi izin kepada pihak lain selama periode tertentu. Desain yang dilindungi harus orisinal, artinya hasil karya mandiri dan tidak umum di kalangan desainer.
Perlindungan desain tata letak sirkuit terpadu memerlukan pendaftaran, namun berbeda dengan paten karena tidak ada pemeriksaan substantif setelah pendaftaran. Pendaftaran hanya memeriksa kelengkapan administratif, dan jika diterima, sertifikat hak desain dikeluarkan dalam waktu dua bulan. Jangka waktu perlindungan desain tata letak sirkuit terpadu adalah 10 tahun, dihitung dari salah satu dua kriteria: tanggal pertama kali digunakan secara komersial atau tanggal pendaftaran. Ada juga "grace period" dua tahun bagi pemilik yang belum mendaftarkan desain setelah pertama kali digunakan. Prosedur pendaftaran desain tata letak sirkuit terpadu relatif mudah dan cepat, mirip dengan pendaftaran hak cipta, dengan pemeriksaan administratif yang melibatkan dokumen seperti gambar atau foto desain dan surat pernyataan kepemilikan.
C. Kelemahan Pengaturan dalam Hukum Indonesia
Pengaturan desain tata letak sirkuit terpadu adalah pengembangan hukum baru dalam sistem hukum nasional Indonesia. Sebelumnya, Indonesia tidak memiliki aturan yang mengatur bentuk hak kekayaan intelektual (HKI) ini. Oleh karena itu, dalam perspektif socio-legal, pembentukan hukum ini berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Sebagai norma hukum baru, penerapan UU DTLST perlu diuji untuk menilai keberhasilan atau kegagalannya di lapangan. Beberapa kelemahan dalam undang-undang ini mulai terdeteksi, terutama karena minimnya pengalaman dalam penerapan hukum ini dan kurangnya kasus terkait yang terjadi di Indonesia, baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. Hal ini berbeda dengan pengalaman Indonesia dalam mengatur HKI lain, seperti hak cipta, paten, dan desain industri, yang sudah lebih banyak diimplementasikan.
Sudjana mengidentifikasi kelemahan UU DTLST dalam perbandingan dengan bentuk HKI lainnya, antara lain:
- Tidak ada pengaturan tentang hak moral seperti yang ada pada hak cipta.
- Tidak ada pengaturan mengenai hak prioritas seperti pada paten dan desain industri.
- Tidak ada pengaturan tentang penetapan sementara seperti yang ada dalam hak cipta, paten, dan desain industri.
- Tidak ada pengaturan pelaksanaan yang lebih lanjut setelah undang-undang ini diberlakukan, seperti yang ada pada bentuk HKI lainnya.
Aline Gratika Nugrahani menambahkan dua kelemahan lainnya:
- Ketidakjelasan pemaknaan asas perlindungan pendaftar pertama (first to file), yang berbeda dengan aturan yang ada dalam hukum paten, merek, dan desain industri. Pasal 4 UU DTLST mengatur bahwa eksploitasi komersial desain yang belum didaftarkan tidak membatalkan hak untuk mendaftar, asalkan dilakukan dalam waktu dua tahun. Hal ini dapat menimbulkan masalah praktis jika ada dua pihak dengan desain yang serupa dan salah satunya mendaftarkan lebih dulu.
- Tidak adanya pemeriksaan substantif untuk menentukan keaslian desain tata letak sirkuit terpadu. Hal ini dapat membuka peluang bagi desain yang tidak orisinal untuk memperoleh perlindungan hukum, yang membuat sistem perlindungan menjadi tidak efektif.
Selain itu, ada kelemahan yang lebih mendasar yang tidak hanya berlaku untuk UU DTLST, tetapi juga berlaku untuk keseluruhan sistem hukum HKI di Indonesia. Afifah Kusumadara mengemukakan beberapa faktor penyebab kegagalan perlindungan HKI di Indonesia, antara lain:
- Hukum HKI Indonesia dipengaruhi oleh hukum Barat yang memiliki kepentingan ekonomi dan sosial budaya yang berbeda.
- Hukum HKI tidak selaras dengan hukum adat Indonesia, yang tidak mengenal konsep kepemilikan kekayaan intelektual.
- Penegakan hukum HKI di Indonesia masih lemah.
- Hukum HKI tidak sesuai dengan realitas perkembangan ekonomi dan teknologi di Indonesia.
KESIMPULAN
Pertama, desain tata letak sirkuit terpadu merupakan bentuk hak kekayaan intelektual (HKI) baru, baik di Indonesia maupun di tingkat internasional. Perlindungan hukum terhadap desain tata letak sirkuit terpadu muncul sebagai respons terhadap perkembangan pesat dalam teknologi informasi dan ekonomi di sektor terkait, yang sebelumnya tidak tercakup oleh sistem hukum HKI yang ada. Saat ini, desain tata letak sirkuit terpadu telah mendapatkan perlindungan hukum di Indonesia dan di tingkat internasional.