Mohon tunggu...
Salma Shibghotun
Salma Shibghotun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

"Sungguh orang yang mulia dan beruntung ialah orang yg hatinya dingin dan sejuk dr persoalan dunia, dan hatinya senantiasa panas terbakar oleh api cinta dan kerinduan kepada Sang Pencipta" ~ MR. H.S.M Irfa'i Nachrawi an-Naqsyabandi Q.S

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengupas Polemik Kawasan Babarsari yang Disebut Gotham City-nya Yogyakarta

24 Juni 2024   19:15 Diperbarui: 24 Juni 2024   19:33 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pribadi (foto bersama Narasumber)

"Gotham City" sudah menjadi branding bagi kawasan Babarsari tersendiri, mengingat bahwa di kawasan ini terdapat banyak cafe dan tempat karaoke yang secara ilegal menjual minum-minuman keras dengan lokasinya yang berada di kawasan mahasiswa menjadi salah satu faktor utama banyaknya kasus kenakalan remaja terjadi disini. Pasalnya, kawasan ini juga menjadi pusat kerusuhan yang terjadi antar suatu kelompok etnis yang tentunya sudah menjadi rahasia umum bagi warga sekitarnya. Belum lama  juga terdapat kasus bacok sebab pertengkaran antar kelompok etnis yang terjadi di kawasan Babarsari, yang tentu membuat kehebohan dan menjadikan Babarsari semakin memanas. Kerusuhan ini pun bukan pertama kalinya terjadi, tapi sudah menjadi kesekian kalinya hal ini terjadi di Babarsari. Hal ini pun menarik saya dan teman-teman, untuk menjadikan Babarsari sebagai objek observasi kami untuk tugas dari salah satu mata kuliah. Yang mana, saya dan teman-teman berkesempatan untuk langsung mewawancarai salah beberapa tokoh masyarakat yang sudah lama bertempat di Babarsari. Dan dari sinilah, branding buruk tentang Babarsari jadi terbongkar, apa alasannya, dan bagaimana tanggapan dan sikap dari masyarakat mengenai hal tersebut.  

1. Tentang Citra Buruk Babarsari sebagai Pusat Kerusuhan

Mengenai citra buruk Babarsari salah satunya sebagai 'zona merah' sebagai daerah yang harus dihindari, tentunya sudah sampai dan terdengar di telinga masyarakat. Hal ini tentunya membuat kecewa bagi sebagian masyarakat mengenai branding buruk yang terbentuk tentang daerah tempat tinggal mereka. Namun, narasumber kami sebagai ketua RT.17 di kampung Babarsari menepis statement yang mengatakan bahwa banyak kerusuhan itu terjadi di kawasan Babarsari . "Fakta sebenarnya wilayah Babarsari yang dikatakan sering rusuh itu gak benar, Mbak.  Bukan daerahnya, tapi jalan utama alternatif Babarsari yang sering dilewati itulah yang jadi rute yang dilewati oleh kelompok yang rusuh itu", tutur Pak Sukidi Ketua RT.17 di Babarsari.  Beliau menegaskan, bahwa bukan daerahnya yang disebut 'sering terjadi kerusuhan', tapi jalan utama alternatif Babarsari (jalan yang dilewati ketika terjadi kerusuhan). Beliau juga mengatakan bahwa oknum yang terlibat dalam kerusuhan yang terjadi pun bukan dari warga lokal Babarsari, namun dari para perantau yang tinggal di kawasan Babarsari dan sekitarnya. Yang terdiri dari berbagai macam suku atau etnis tertentu.

2. Sejarah yang Melatarbelakangi julukan "Gotham City" bagi Babarsari

Begitu juga mengenai sebutan 'Gotham City' bagi Babarsari sendiri, ternyata bukan menjadi satu hal yang mengagetkan bagi beberapa masyarakat disana khususnya yang sudah tinggal bertahun-tahun di Babarsari. Pasalnya, dahulu daerah Babarsari ini memang sudah lama menyandang gelar tersebut. Hal ini diungkapkan sendiri oleh pak Hari (narasumber ke-2) sebagai Takmir salah satu  masjid di daerah Babarsari, bahwasanya dahulu di tahun 90-an terdapat dua rumah bordil di kawasan Babarsari ini, yang sekarang sudah menjadi kafe dan warung bakso. "Pastinya terpengaruh, karena dr thn 90 kala ditanya ngekos dimana terus jawab Babarsari. Orang-orang beranggapan ngeri karena dahulu ada dua rumah bordil yang sekarang jadi kafe dan warung bakso", tutur Pak Hari. Dari kilas balik Babarsari dahulu juga yang menjadikan beberapa masyarakat 'maklum' ketika Babarsari mendapat julukan "Gotham City". 

3. Menjalin Hubungan Baik dengan Kelompok Etnis yang Tinggal Disana

Mungkin branding tersebut akan tetap melekat di nama kawasan Babarsari, namun hal ini tidak justru membuat warga masyarakat membenci keberadaan mereka para kelompok etnis yang tinggal atau kos di daerah Babarsari tersebut, khususnya di RT. 17 dan RT. 19. Yang mana, menurut penuturan dari narasumber kami, sebagian dari mereka mungkin seringkali membuat kerusuhan tapi tidak semua. Namun, bukan berarti masyarakat memperlakukan mereka berbeda, semua dianggap sama dan dirangkul sebagai saudara dan sesama warga kampung. Bahkan narasumber kami menyatakan bahwa mereka (kelompok etnis) tersebut bisa dikatakan lebih sopan dari orang Jawa.  "Banyak dari mereka yang baik-baik, Mbak. bahkan mereka dengan senang hati dan bersemangat saat kami ajak kerja bakti. Bahkan bagi saya mereka lebih baik daripada orang Jawa, lebih sopan (khususnya anak yang tinggal/kos di daerah kami). Bahkan saya bisa menjamin, jika kos disini Insyaallah aman", tutur Pak Hari. Memang salah satu strategi yang diterapkan untuk mengalihkan fokus mereka dari kegiatan-kegiatan yang tidak baik disana (seperti : mabuk-mabukan, perang antar kelompok, nongkrong dijalan-jalan), adalah dengan mengadakan memfasilitasi mereka dengan lapangan bola dan voli yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan interaksi yang lebih positif untuk 'mengalihkan'. Selain itu, warga RT.17 dan RT.19 ini juga mengadakan kegiatan kerja bakti desa yang melibatkan orang-orang dari kelompok etnis tersebut. Seperti yang diketahui, bahwa kerusuhan yang sering terjadi di Babarsari tersebut muncul akibat konflik antar suku/kelompok etnis. Dengan adanya fasilitas dan kegiatan positif tersebut, kemudian dengan dibangunnya rasa kekeluargaan sebagai satu warga yang tinggal di daerah yang sama, diharapkan mampu mengurangi adanya konflik yang seringkali terjadi di daerah Babarsari tersebut. "Oleh karena itu, kami coba satukan di fasilitas-fasilitas untuk interaksi, contohnya dahulu ada klub BTIB (Bhineka Tunggal Ika Babarsari) dan klub bola LBH (Liga Babi Hutan) dirubah menjadi (Lingkup Babarsari Harmonis), salah satu alumninya adalah Abdul Fatah Pasolo (pernah menjadi penasehat Umar Khai)", tutur Pak Hari. Disamping itu, dengan menanamkan rasa kekeluargaan dengan mereka (kelompok etnis) tersebut,  juga menjadi salah satu jalan untuk bisa meng-edukasi atau menasehati mereka untuk menghindar atau menjauhi kegiatan-kegiatan negatif yang dapat mengganggu kegiatan belajar mereka disini (bagi yang kuliah atau sekolah). 

4. Memupuk Kesadaran Pentingnya Parenting (Khususnya Remaja)

Banyaknya konflik atau kerusuhan yang terjadi di kawasan Babarsari yang khususnya oknum yang terlibat adalah anak muda, menjadi pelajaran bagi warga masyarakat sekitar terhadap pentingnya penerapan parenting sebagai peran orang tua, untuk membentengi anak-anak mereka ketika berhadapan dengan dunia luar, apalagi ketika bergaul dengan berbagai lingkup pertemanan sebab lingkungan juga berperan penting dalam pembentukan karakter seseorang. Hal tersebut juga disampaikan oleh pak Hari sebagai orang tua bahwasannya, "Menurut saya, perlu kita ketahui bahwa lingkungan akan membangun kepribadian setiap orang. Dan penciptaan kepedulian warga itu juga penting bagi setiap karakter orang-orang yang ada didalamnya. Karakter anak itu harus dibangun dari kecil melalui lingkup keluarga, kita tanamkan prinsip untuk bekalnya ketika berhadapan dengan lingkungan sosial diluar (yang jauh dari pengawasan kita sebagai orang tua). Khusunya di era sekarang (pesatnya teknologi informasi), membentuk karakter anak sekarang menjadi tantangan tersendiri bagi orang tuam karena berbeda zaman berbeda juga cara mendidik", tutur Pak Hari. 

5. Menerapkan Strategi yang Tepat bukan Cepat

Mungkin bagi beberapa orang, menghadapi adanya kerusuhan dan konflik yang dilakukan oleh kelompok etnis tersebut adalah dengan melaporkan ke polisi untuk ditangkap dan ditindak-lanjuti. Namun, bagi para narasumber kami itu mungkin cara 'cepat/simple'nya tapi kurang bijaksana. Kenapa? Mungkin jika mau diajak berpikir, kita harus ingat bahwa bagaimanapun mereka (kelompok etnis) tersebut adalah saudara kita sebagai sesama warga negara Indonesia. Kita paham bahwa apa yang mereka lakukan salah, tapi kurang bijaksana jika kita serta-merta menyalahkan mereka. "Mereka seperti itu bukan tanpa alasan, Mbak. Pasti ada faktor yang melatarbelakangi. Misalnya, budaya membawa parang/golok itu memang sudah menjadi budaya di lingkungan kampung halaman mereka. Salahnya memang, mereka membawa budaya mereka 'yang belum tentu bisa diterima' ketika mereka merantau ke daerah lain, terlebih kayak Jogja begini. Padahal hal tersebut, bisa jadi karna faktor pendidikan dari lingkungan atau orang tua mereka yang tidak mengajarkan untuk 'ber-etika' ketika masuk ke daerah lain, menghargai budaya lain dan sebagainya", tutur Pak Ari Ketua Keamanan Babarsari. Pak Ari juga menambahkan, bahwa tidak semua orang dari kelompok tersebut itu seperti itu (suka rusuh dsb), jadi ada faktor yang melatarbelakangi. Oleh karena itu, beliau-beliau ini (para narasumber kami) membuat strategi yang tepat dan bijaksana dengan cara 'merangkul' mereka, sebagai saudara dan keluarga yang menasehati dan menegur ketika mereka berbuat salah, serta menolong mereka ketika mereka kesulitan dan sebaliknya. "Untuk konflik di Babarsari, sebetulnya kampung kami ini aman, Mbak. Ketika banyak terjadi kerusuhan di kampung sebelah, kampung kita tetap aman. Karena senior mereka memberi pesan : "Jangan sampai kalian membuat onar di Babarsari, kalau sampai buat onar disana kubelah kepala kalian!" - mereka seperti itu, karena mereka kenal baik dengan kami. Hanya saja memang ada beberapa keributan yang terjadi di kampung lain, yang mungkin saja karena minimnya interaksi", tutur Pak Hari. Strategi-strategi bijaksana seperti inilah, yang dapat menjadi solusi untuk bisa diterapkan oleh para warga dari kampung lainnya yang menghadapi masalah yang sama. 

Begitulah, cerita singkat fakta sebenarnya yang terungkap dari hasil wawancara kami kemarin. Bahwasannya, tidak semua dari kelompok mereka memiliki karakter seperti itu (suka mabuk-mabukan, nakal, tawuran), jikalau iya itupun pasti ada faktor yang melatarbelakangi. Dan tentunya ada faktor-faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya kenakalan remaja seperti itu, misalnya karena faktor sosial atau budaya dan sebagainya. Kita boleh mengatakan itu 'salah', tapi bukan berati kita kemudian mengolok mereka, menjauhi mereka, bahkan membiarkan mereka begitu saja ketika butuh pertolongan karena alasan 'tidak suka, takut dsb'. Mereka tetap manusia dan mereka juga warga negara Indonesia, kita keluarga dan kita sama. 

Sumber : Pribadi (Wawancara bersama Narasumber)
Sumber : Pribadi (Wawancara bersama Narasumber)

Sumber : Pribadi (foto bersama Narasumber)
Sumber : Pribadi (foto bersama Narasumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun