Mohon tunggu...
Salma Sakhira Zahra
Salma Sakhira Zahra Mohon Tunggu... Freelancer - Lahir di Jakarta, 28 Februari 2002. Alumni TK Putra III (2007/2008), SDSN Bendungan Hilir 05 Pagi (2013/2014), dan SMPN 40 Jakarta (2016/2017). Kini bersekolah di SMAN 35 Jakarta.

Nama : Salma Sakhira Zahra TTL : Jakarta, 28 Februari 2002 Agama : Islam Jenis Kelamin : Perempuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Calm Sis (Sister)!

4 Desember 2020   08:45 Diperbarui: 4 Desember 2020   09:31 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Halo Bro, Sis, nama gue Halimah. Bukan Halimah tu'Sadiyah. Gue kelas 2 SMA unggul tapi swasta. Gue masuk dan harus berjuang menggunakan uang tabungan sendiri sedangkan teman-teman gue dibiayai orangtua. Gue harus keluar dari rumah karena perasaan sudah tak enak apalagi orangtua gue pekerja keras, pemarah, dan sedikit semena-mena waktu bareng gue.

Gue masuk ekstrakurikuler vocal group, satu kelas belum ada yang tahu bahwa gue anggota ekstrakurikuler itu. Alhamdulillah rapor gue waktu kelas 10 dengan jurusan IPS memuaskan semua ditambah semester 1 dan 2 memegang peringkat 1. Alhamdulillah lagi gue bisa mengatasi itu semua diselang kesibukan gue yang betul-betul tak diketahui pihak sekolah apalagi pihak keluarga. Bahkan pihak keluarga tak ada yang satupun bertanya perihal gue (hm... kok sedikit sedih dibawa drama ya).

Jadi begini, waktu kelas 3 SMP, gue punya perasaan bahwa hanya gue saja yang hidup kesusahan. Apalagi watak SMA di mata orangtua gue tuh pukulannya langsung ke gue. Dari segi ilmu sampai kehidupan sehari-hari pasti ada saja halangannya di SMA. Gue memang ingin jadi pribadi mandiri tapi masa iya ada sesuatu yang membuat gue sakit hati?

Dari kelas 2 SMP gue memutuskan untuk banyak jalan-jalan saat kelas 3 SMP. Ya... terkabul deh. Gue jalan-jalan ke seluruh wilayah tempat yang gue tinggal. Sebenarnya sudah satu wilayah provinsi gue jelajah. Tapi setiap pulang, gue berpikir, kok kesusahan itu dimulai dari gue masuk SMA? So, pendidikan dan hidup gue bagaimana? Ditambah orangtua hanya 'menganggap' gue sebagai anak.

Suatu hari gue melihat sekolah swasta yang bagus dan muridnya ada yang cerdas sampai kritis, ada murid yang bicaranya sampai pulang ke rumah ilmu semua dan itupun kelepasan. Murid disana cinta ilmu semua tapi gue lihatnya mereka manja. Masuk kesana dengan jalur tulis susah Bro, Sis, ada soal ilmu dari kampus pula. Hm... jauh sih letaknya dari rumah, akhirnya, gue bersikeras harus sekolah disana dan memutuskan...

Untuk pergi dari rumah tanpa seizin orangtua dan entah pulangnya kapan.

Gue harus kuat tak tahu kabar orangtua gue, demi masa depan yang dirasa akan didramakan. Gue tak mau itu terjadi. Jadi gue belajar lebih keras dari kelas 3 SMP. Alhamdulillah diterima di SMA itu dengan jurusan IPS dan kos dekat sekolah. Akhirnya gue punya kesibukkan berwirausaha dan kuliah dengan lulus durasi di luar dugaan waktu kelas 1 SMA. Sekarang? Gue kelas 2 SMA dan sibuk dengan ekstrakurikuler dan wirausaha? Sangat sibuk bukan.

Masuk SMA sana gue kira akan tenang karena guru dan murid sibuk dengan pendidikan. Ternyata guru dan murid punya masalah dan mendebatkan gue dengan kasus antara murid dan gue. Gue cantik, dibanggakan guru muda, ditunggu waktu ekstrakurikuler vokal group dan dibujuk pulang bareng guru muda dengan motornya, ditraktir guru muda, dan berakhir gue dibilang miskin.

So, itu penggencetan sekali!

Ya memang jarang sih, tapi gue rasa gue harus memilih diam walau tingkat penggencetan mereka sudah sampai level tinggi.

"Halimah, Sayang, sabar ya, Pak Guru tidak menyukaimu. Jadi jangan panik!" tuh, guru muda sampai bilang begitu.

Waktu menjelang jadwal remedial Ulangan Akhir Semester, gue bersyukur nilainya tak ada yang remedial. Jadi mengerjakan tugas yang diberikan guru. "Saya bangga padamu!" ucap guru muda baru yang menggantikan ibu guru tua favorit gue karena pensiun. Jadi begini, guru muda itu pengertian, suka anak-anak, tegas, dan cinta sekali pada gue. Kutipnya cinta murid dalam aturan sekolah. 

Nah, guru muda ini disukai satu murid di sekolah tapi dia sangat bangga pada gue dan tiap saat lihat gue di jam yang tak mengganggu, dia menghampiri gue. Satu lagi, murid waktu itu berkesimpulan bisa saja seorang Halimah membuat bapak guru muda membawanya ke pernikahan. Ya mereka iri dan tak terima saja.

"Bapak cinta padamu Halimah. Kamu berjuang dari TK sampai sekarang dan hidup menyendiri? Kamu kuat di usia muda. Bagaimana Bapak tak cinta pada murid yang berjuang keras?" hm, mungkin itu yang buat mereka gencar menggencet gue. Apapun bentuknya, pasti mereka melakukan itu. Ada saja alasan mereka tak suka gue.

Ada satu kejadian dan semua berakhir di luar dugaan. "Halimah, pulang sekolah ada acara?" tanya bapak guru muda itu waktu lagi baca buku di perpustakaan. Aku menggeleng. "Bapak tunggu kamu ekstrakurikuler vocal group, nanti Bapak ajak ke suatu tempat. Tidak Bapak culik!" aku tertawa. "Serius Pak? Baiklah!".

Di ekstrakurikuler, status gue asing tapi diandalkan pelatih ekstrakurikuler. Tak ada teman, ya kegiatan gue baca buku atau latihan meningkatkan suara vokal. Saat latihan, gue serius tentu mengikutinya. Bapak guru muda lihat gue tak kedip, gue rasa kok sukanya sudah ke dirinya sendiri. Nah lho, ya itu yang gue rasa tiap lihat guru muda tunggu gue. Tapi kali ini kok hampir masuk ke perasaan.

"Eh Halimah!" gue sempat lihat guru muda lagi mendengarkan musik dengan headset serta membelakangi sekolah dan gue sudah duga pasti mau digencet murid. "Apa!" jawab gue. "Dih, dari dulu masih saja ya tak punya pikiran. Lihat dong itu guru muda kesukaan kita sampai senyum lihat kamu. Kamu apakan?".

"Kamu enak sekali dibanggakan, sumpah, perhatian bapak guru sudah berlebihan!".

"Ya sudah kamu harusnya tahu itu saja!" , "Aku tak terima!" gue tak tenang dengan semua ini. Mereka kok jadi caci maki gue dan semua kata kotor keluar. Mereka mau lukai tapi aku lawan. Aku menyalimi guru muda, "Mah, kamu tak apa?" tanya guru muda khawatir sambil pegang bahu gue. Aku menggeleng. Guru muda langsung beri isyarat untuk naik ke motornya.

Sumpah, itu gencet buat gue tak tenang, tapi berusaha mau tenang. Gue sampai di sebuah taman dan itu sedang sore hari. Bapak guru muda ajak gue ke danau dan duduk di bangku kosong. Beliau tanya keadaan sekolah gue dan hidup gue. Tak lama beliau beri sekuntum mawar merah, "Pak, apa tak berlebihan?" Ia menggeleng, "Halimah, kamu mau terima?" aku menggangguk. Kami mengobrol dan tak tahu mengapa gue tenang tapi gue teriak dalam hati, "Calm Sis!" ya perasaan harus ditegaskan Saudara.

Ada satu hari lagi guru muda ajak gue ke suatu tempat. Selesai dari ekstrakurikuler gue digencet lagi, kali ini gue sudah tahu itupun tak sengaja dengar kelucuan mereka tentang cara gencet gue. Sampai di hadapan gue, dia mau sengkat tapi gue menghindar. "Eh, bisa berhenti gencet aku? Kamu kira sekolah untuk tempat bermain dan menghajar? Cukup ya bahas guru muda itu!" , "Tapi aku tak suka ditambah alasan aku dari dulu sampai sekarang. Bagaimana tak bersikeras menggencetmu!". 

Kelucuan mereka untuk menyengkat gue yang menjadi sebuah rencana menjadi harapan didengar gue. Ya kesimpulannya, lucu bukan gencet gue? Waktu itu gencet gue dengan serius, sekarang gencet gue dengan lucunya atau dibawa lucu.

"Sekarang masalah kamu apa? Dikira murid yang kena gencet harus takluk!" mereka pergi setelah mendengar perkataan gue. "Halimah, kamu tak apa?" guru muda itu langsung peluk gue. Gue kaget, guru muda belum pernah memeluk murid walau itu pria dan tak pernah perhatian serinci itu. "Hm... apa Bapak antar dulu ke kos baru Bapak ajak ke suatu tempat?" aku menggeleng keras. Guru muda itu senyum, buat gue saja?

Tempat yang sama dan waktunya sore hari, gue dibawa ke tempat itu lagi. Calm Sis, hatimu dibawa damai saja. Bapak itu bertanya gue waktu di sekolah dan keceplosan cerita secuil kehidupan serta galau. "Hah, galau? Kenapa Pak?" , "Galau memikirkan kamu!" sumpah, aku langsung cengo. 

"Kamu istimewa di mata Bapak!" guru muda itu senyum dan memberi sekuntum mawar merah. Gue terima seperti waktu itu. Beliau ajak mengobrol lagi dan akhirnya bagaimana? Pertama memang di luar dugaan karena guru muda dengan mudahnya mengobrol keseharian dan menurut gue sepertinya janggal untuk guru dan murid. Nah, ini yang kedua.

"Halimah, kok Bapak mau bawa kamu ke jenjang pernikahan?" guru muda itu cemas. "Bapak cinta kamu sebagai guru kok, sumpah!" dan beberapa waktu dia tidur di bahu gue. Terkejutnya gue dia mengeluarkan semua karakter dia sampai gestur dan postur. Ada satu hal yang membuat gue mau tanya mengapa tapi sebaiknya jangan, masa guru muda tak tahan mau menatap gue yang lagi lihat danau dalam jarak sangat dekat dari samping wajah gue. Itu... hampir mau dekat.

Gue pergi tinggalkan dia?

"Halimah, Bapak cinta padamu. Maaf jika perkataan Bapak menyinggung perasaanmu. Kenapa pergi?" gue terkejut. "Pak, saya hanya mau beli es krim!" , "Ya sudah Bapak ikut!" gue lihat rona bahagianya, tapi gue rasa hanya bersama gue dan gue rasa akan berpengaruh dalam hidupnya.

Entah berakhir seperti apa antara gue dan guru muda yang disukai murid di sekolah tapi gue tetap mantap bahwa gue akan bertahan menjadi murid dalam pandangan guru seperti peraturan sekolah.

Jadi, Calm Sis, baik lingkup pendidikan maupun dalam kehidupan. Calm Sis!

SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun