Konflik antara Pakistan India hingga kini masih terjadi serta menarik perhatian dunia
sehingga  konflik  ini  dikatakan  sebagai  salah  satu  dalam  isu  internasional.  Konflik  ini
semakin  memanas dikala
Realisme klasik merupakan teori yang menekankan bahwa negara adalah aktor utama dan tujuan utama dari negara adalah untuk mempertahankan keamanan nasional sebagai tujuan kelangsungan hidup. Realisme menungkapkan bahwa sifat manusia untuk memaksa negara dan indivudu mengutamakan kepentingan di atas ideologi sudah ada dari dulu.
Konflik antara India dan Pakistan dalam memperebutkan wilayah Kashmir hingga kini masih menjadi perhatian dunia sehingga  konflik  ini  dikatakan  sebagai  salah  satu  isu  internasional.  Konflik  ini semakin  memanas dikala kedua negara yakni India dan Pakistan  mengadu kekuatannya dengan melakukan  pelancaran  deterrence  melalui uji coba senjata nuklir. Kashmir  merupakan  wilayah  yang  strategis  untuk  pertahanan  negara, selain itu Kashmir berbatasan dengan Afghanistan, Tibet, dan China.Dilihat dari letak geologis Kashmir ini membuat geopolitik Kashmir memiliki keuntungan tertentu sehingga posisi Kashmir yang seperti ini membuatnya menjadi wilayah yang diperebutkan. Dengan mengetahui kondisi dan letak geologis Kashmir ini membuat partai Kongres menginginkan Kashmir menjadi  wilayah  bagian  negara  India.  Masyarakat  India  beranggapan  bahwasanya  jika Kashmir  bergabung  dengan  mereka,  maka India dikatakan memiliki  peluang  untuk dapat mempengaruhi  negara  lainnya  dan  Kashmir  dianggap  bisa  dijadikan  sebagai  benteng pertahanan yang strategis bagi militer India
Pendekatan realisme menekankan pada pola kecurigaan dan adanya ketidakpercayaan antar negara untuk mencapai perdamaian kecuali jika kedua negara memiliki kekuatan  militer  yang  kuat  untuk  menghindari  terjadinya  perang. Hal ini  dikarenakan kedua  negara  saling memahami kekuatan dan posisinya pada masing-masing negara, sehingga adanya keinginan untuk melakukan perang akan dipikirkan kembali. Machiavelli, seorang tokoh realisme mengatakan bahwasanya  suatu  negara  apabila  ingin  mempertahankan  kedaulatannya  serta  kekuasaannya, maka negara tersebut dapat melakukan segala cara bahkan apabila diperlukan  dengan cara yang jahat sekalipun.  Pernyataan  tokoh  realisme  tersebut  memberikan gambaran terhadap apa yang terjadi antara India dan Pakistan dalam memperebutkan Kashmir. Bahkan negara India masih bersikap keras terhadap Pakistan walaupun diantara kedua negara sudah menjalin perjanjian  kerjasama  yang disepakati oleh kedua negara.
Fakta bahwa kedua negara melakukan perang secara terang-terangan menunjukkan bahwa begitu pentingnya wilayah tersebut bagi kedua negara, terlebih India. Penggalangan kekuatan  ditunjukkan  oleh  India  dengan  fakta  bahwa  setelah  mendapatkan kemerdekaannya, banyak negara memilih untuk bergabung dengan mereka. Contoh lain dari Realisme dalam kasus ini yaitu ketika India mendukung Hari Singh (Mahraja kerajaan Jammu dan Kashmir di India). Ketika pasukan Pakistan muncul di Kashmir dan mencoba mengambil alih wilayah tersebut, India mendukung Hari Singh dan melakukan sikap menentang terhadap Pakistan. Namun, India memiliki alasan di balik dukungannya itu, bahwa dengan sikapnya tersebut mereka akan bereputasi baik dengan Hari Singh. Hari Singh akhirnya menandatangani Kashmir kepada India segera setelah itu. Ini menunjukkan bahwa India hanya masuk untuk keuntungan pribadi mereka sendiri, dan seperti yang dikatakan seorang Realis, untuk "struggle to power" bagi diri mereka sendiri. Sementara pada saat Pakistan ingin menyelesaikan konflik  Kashmir  di  Perserikan Bangsa-Bangsa.  India  memilih  untuk bernegosiasi  serta  menyerahkan  kembali keputusan tersebut kepada  masyarakat  Kashmir.  Hal  ini menunjukkan sikap kepedulian India terhadap orang-orang Kashmir dengan membuat reputasi mereka terlihat lebih baik dimata PBB. Ini menunjukkan  sudut  pandang  Realis  dalam  melakukan  apa  pun  yang  diperlukan  untuk perebutan  kekuasaan.
Perspektif Neorealisme Ofensif Terhadap Penembakan Senjata Anti-Satelit China Tahun 2007
Neorealisme ofensif adalah aliran dalam teori hubungan internasional yang berasumsi bahwa semua negara di dunia internasional yang anarki bertujuan sama yaitu memastikan keberlangsungan hidup mereka, yang mana akan menuntun pada terjadinya konflik dengan negara lain. Pada 11 Januari 2007, China menghancurkan satelit cuaca Fengyun-1C miliknya pada ketinggian sekitar 530 mil di orbit bumi rendah (LEO) luar angkasa. China menghancurkan satelitnya tersebut dengan menabrakkan roket kinetik anti-satelit (ASAT) sehingga satelit tersebut hancur menjadi ribuan keping sampah luar angkasa atau debris. PLA (People Liberation Army) atau tentara nasional China melakukan tes di dekat Xichang Space Center di Provinsi Sichuan. Seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat,mengeluarkan tanggapan publik yang menyatakan bahwa pengembangan dan pengujian senjata China tersebut tidak konsisten dengan semangat kerjasama yang kedua negara cita-citakan untuk area sipil luar angkasa. Dia menyatakan bahwa RRC menggunakan, rudal balistik jarak menengah berbasis darat. Dia juga mencatat bahwa Amerika Serikat dan negara-negara lain menanggapi dengan protes resmi ke China, Â Australia, Kanada, Inggris, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Uni Eropa dilaporkan juga mengeluarkan kekhawatiran, sementara Rusia meremehkan tes ini. China tidak memberikan peringatan sebelum peluncuran terlebih dahulu dan Kementrian Luar Negerinya tidak mengeluarkan pernyataan publik hingga 23 Januari 2007 yang mengatakan bahwa China menyerukan penggunaan damai luar angkasa dan bahwa tes itu tidak ditujukan pada negara manapun.
.Peristiwa ini tentunya merupakan salah satu dari rentetan persaingan antara Amerika Serikat dengan China yang memanas. Kedua negara merupakan negara kuat yang sama-sama memiliki persenjataan nuklir layaknya anggota Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang lain. Selain itu, kekuatan ekonomi kedua negara tidak dapat diragukan lagi. Luar angkasa pun, kini akhirnya, menjadi salah satu medium unjuk kekuatan di antara keduanya
Neorealisme Defensif Dalam Kebijakan Jepang Terhadap Pemberlakuan Zona Identifikasi Pertahanan Udara Cina