Perebutan tiket konser band asal Amerika Serikat, Coldplay, sedang menjadi perbincangan hangat di media sosial. Ada yang berbahagia karena berhasil mendapatkan tiket tempat duduk incarannya tetapi ada juga yang bersedih hati karena kehabisan. Mereka yang masih berusaha mendapatkan tiket tidak jarang mengambil jalan pintas dengan bertransaksi via pihak ketiga berupa jasa titip ataupun calo. Hal ini mengakibatkan banyaknya korban penipuan tiket dengan harga fantastis.
Tidak ada salahnya memperjuangkan tiket konser idola yang telah diidam-idamkan sejak lama. Meski begitu, banyak pula yang ikut berburu tiket hanya karena takut ketinggalan momen walaupun tidak kenal - kenal amat dengan artis yang akan manggung. Bahkan, tidak jarang ada yang mengaku tidak tahu lagunya sama sekali. Kalau begitu, mengapa mereka rela berebut tiket dan bahkan merogoh kocek yang tidak sedikit?
Fenomena ini sering disebut dengan FoMO atau fear of missing out. Istilah ini sebenarnya bukanlah hal baru dan sudah muncul sejak tahun 2004. Meski begitu, FoMO baru secara luas digunakan pada tahun 2010 untuk mendeskripsikan sebuah fenomena yang diamati di berbagai situs jaringan sosial.Â
Dikutip dari kamus Oxford, FoMO didefinisikan sebagai ketakutan yang meluas bahwa orang lain memiliki pengalaman berharga yang tidak bisa didapatkan oleh seseorang. Fenomena ini dicirikan dengan keinginan untuk terus terhubung dan melakukan sesuatu yang mayoritas orang lakukan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa gempuran sosial media menyebabkan meningkatnya fenomena FoMO di masyarakat. Mudahnya berkomunikasi serta berinteraksi membuat hasrat akan validasi serta pujian kian menggebu. Akibatnya, mayoritas orang berbondong - bondong untuk melakukan tren karena takut tertinggal. Tidak heran bahwa FoMO diasosiasikan dengan masalah penggunaan sosial media.
Aspek kognitif fenomena ini terlihat dari sikap secara terus menerus memeriksa dan memperbaharui laman sosial media demi menunggu pemberitahuan dan notifikasi terbaru. Lebih jauh, perilaku ini dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental karena meningkatkan level kecemasan bagi para pelakunya. Sebuah studi yang dilakukan di Belgia menunjukkan bahwa dari 1000 orang yang diteliti, 6.5% subjek yang menggunakan sosial media secara berlebihan memiliki kestabilan emosi, keramahan, kesadaran, kontrol, serta harga diri yang lebih rendah. Hal ini bisa menjadi faktor risiko untuk gangguan afektif.
Dari sisi kesehatan, orang dewasa dengan FoMO lebih mungkin untuk bereksperimen dengan obat-obatan dan alkohol untuk menyesuaikan dengan pergaulan di dunia maya. Tingginya penggunaan media sosial juga membuat istilah "kaum rebahan" kian santer dibicarakan. Padahal, gaya hidup ini, yang dalam dunia medis dikenal dengan sedentary lifestyle, dapat mengakibatkan obesitas khususnya pada anak muda.
Pada akhirnya, fenomena FoMO sebenarnya sah-sah saja ada di masyarakat. Namun, perlu diingat, apabila telah mencapai tahap tidak wajar sampai mengganggu kesehatan mental dan fisik, segera berhenti dan lakukan refleksi diri, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H