Ibrahim a.s. tampak begitu piawai dalam memilih diksi dan menggunakan terminologi. Istilah Tuhan dia hadirkan dengan logika deduktif (Rab kemudian Allah). Namun, ciri dan sifat kuasanya dipaparkan dengan fakta logika induktif (Tuhan itu, yang menetapkan tempat dan proses terbitnya matahari. Jika tidak mampu, maka pasti bukan Tuhan). Namrudz begitu bersemangat menemui Ibrahim a.s., karena dia yakin bahwa di situlah kiprah Ibrahim a.s. akan berakhir. Kemudian akan disiarkan sebagai headline berita utama nasional. Bahwa Ibrahim a.s. adalah penganut aliran sesat, dan penebar berita hoax. Namun ternyata, sebaliknya. Namrudz-lah yang demikian. Hidup tanpa legitimasi keberagamaan yang memadai. Dia memang di istana kerajaan. Itu bukan karena pendiriannya yang benar, tapi lebih karena dukungan komunitas yang sangat menggantungkan kehidupannya pada insentif kekuasaan.
Getar nurani mesti terunggah di lini masa. Setelah mengorbankan hewan, bisakah eksis lebih manusiawi dengan martabat insani??? Anda adalah apa yang anda yakini. Harkat manusia adalah nilai yang ditunaikan. You are is your faith; you are is what you do !!!. Olehnya itu, Kutub Ideologi adalah sebuah keniscayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H